SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 26 Juli 2022

Kebetulan di Australia (1)





Maqbul Halim


Awal bulan ini, saya mendapatkan kesempatan menyertai Walikota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto mengunjungi berbagai kota di Australia. Selain saya dan pejabat Balaikota Makassar, ada juga AS Kambie dalam rombongan. 


Kambie dikenal sebagai jurnalis nyentrik di Makassar, yang belasan tahun terakhir ini bekerja sebagai wartawan Tribunnews Network. Danny, sapaan akrab walikota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto, meminta secara pribadi agar Kambie bersedia ikut dalam rombongannya ke benua Kanguru ini. 


Sepanjang kunjungan di Ausie selama 7 hari, Kambie kerap rewel dengan pertanyaan yang anomali, enteng, unpredictible. Untuk menjawabnya, hanya satu jenis jawaban yang tersisa, yakni komparasi. Yaa, membandingkan kehidupan sosial di Indonesia dan di Australia. Saya lah yang repot, karena pasti menjadi tanggung jawabku untuk menyiapkan jawaban. 


Hari pertama Rabu 6 Juli di Sydney, sembari melawan hawa 5-7 derajat celcius sore hari di teras pintu masuk Stasiun Centre yang beranjak remang, Kambie melontarkan pertanyaan. Kenapa warga di kota Sydney ini berperilaku rapi, tertib, teratur, bersih, meskipun tidak ramah? Saat itu, Kambie sedang mengamati jalan rakyat, pedestrian, zebra cross, yang tengah hiruk-pikuk sore itu. 


Saya berdiri tepat di sampingnya, saya melihat embusan asap keluar dari mulutnya ketika berbicara. Tidak jelas juga, kepada siapa dia bertanya, wajah dan tatapannya tidak mengarah kepada saya.


Tidak banyak yang dapat saya pikirkan waktu itu untuk menjawab pertanyaan itu, meski saya tidak wajib menjawabnya. Rama dan Yuyun, yang melengkapi kami berempat dalam group, juga tidak berinisiatif untuk menjawab.   


Menanggapi pertanyaan itu, akhirnya saya buka suara untuk menjawab.


"Keadaan sosial ini ada karena di negeri ini tercipta karena tidak ada ormas, organisasi masyarakat, dan pilkada. Kalau di negeri duplikat Inggris ini ada ormas dan pilkada, Indonesia dan Australia pasti sama saja: tidak rapi, tidak tertib, tidak teratur, tidak bersih." 


Kambie terperanjat mendengar jawaban dan penjelasanku. Saya merasa, dia tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengelus dagunya yang jumlah janggotnya bisa selesai saya hitung dalam waktu lima detik.


"Australia bisa mencoba buat ormas dan mengadakan pilkada untuk membuktikan kebenaran jawabanku atas pertanyaanmu."  


Untuk menutupi kebingungannya atas jawabanku, Kambie menolehkan wajahnya sambil melontarkan senyum, sejenak. 


Dalam sistem politik Australia, pemerintahan menganut sistem Parlementer. Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang menguasai mayoritas kursi parlemen. Kedaulatan negara ada di tangan Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh Ratu Inggris. Pemimpin pemerintahan negara bagian ditunjuk oleh pemerintahan pusat (federal). 


Jadi, jelaslah kenapa Australia tidak mengenal Pilkada, sekali pun pelopor pemilu 'satu pemilih satu suara' (one man one vote) dalam sejarah demokrasi dunia. Artinya apa! Tidak ada konsultan pilkada. Tidak ada pengerahan massa kampanye politik. Tidak ada musda partai atau pengurus partai di daerah yang menampung kawanan jobless. Tidak ada dukun pilkada. Tidak ada bligo dan spanduk yang mengotori keindahan jalan. Dan lain-lain.


Selain itu, dunia internasional juga memandang masyarakat sosial Australia sebagai pekerja paling keras di dunia. Paling banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dalam sehari. Kalaupun mereka ada waktu setelah bekerja, itu dimanfaatkan untuk kegiatan olah raga atau seni. Nah, wajar jika tidak ada waktu untuk ber-Ormas atau mendirikan Ormas. 


"Jadi ustad Kambie, untuk apa ada ormas di Australia kalau masyarakatnya sibuk berkerja! Jika masyarakatnya sibuk tidak bekerja, mungkin ormas-ormas akan tumbuh dengan sendirinya seperti cendawan di musim hujan. Seragam loreng non tentara, akan lebih banyak jumlahnya dari pada tentara itu sendiri." *


Makassar 26 Juli 2022


 

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim