SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 27 Juli 2022

Australia Krisis Juru Parkir



Kebetulan di Australia (2)


Maqbul Halim


Jelang petang di Blue Mountains, NSW, Selasa 12 Juli, rombongan Danny Pomanto baru saja selesai menikmati panorama lembah sekitar bukit Three Sisters yang membentang kebiru-biruan. Ketua KKSS Kota Sydney Firdaus Muis telah menyiapkan hidangan siang di Taman Lilianfels Park, kawasan Three Sisters Lookingout Point. 


Di pojok taman itu, saya mengamati Kambie berdiri membelakangi lembah Three Sisters, menatap area pakir yang tidak separuh lotnya terisi kendaraan. Matanya tertuju pada Mesin Car Parking Payment berbentuk kotak segi panjang, tegak di ujung pembatas klaster lot parkiran, dan seseorang sedang berurusan dengan mesin itu. 


Orang itu terlihat kesal karena ia mungkin tidak bisa meneyelesaikan pembayaran pakir kendaraanya melalui kartu secara singkat seperti biasanya. Sesaat kemudian, akhirnya keluar struk dari mesin itu. Mungkin pembayarannya berhasil, lalu ia berjalan cepat 100-an meter ke kendaraanya. Dan, Kambie sendiri sedari tadi tidak bergeser mengamati. 


Saya melangkah mendekatinya. Saya bertanya, mungkin ada masalah. Ia hanya menggeleng kepala sekali, lalu mengeluarkan kedua tangannya tanpa sarung dari saku jaketnya. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Mungkin untuk menghangatkan. Kambie pun memberikan komentar lirih. 


"Saya heran di sini. Area parkirannya berbayar. Tapi tidak ada portal pintu keluar-masuk. Kalau begini, pengendara bisa membawa pergi kendaraannya dari parkiran tanpa membayar, karena tidak ada portal. Tidak ada juga petugas." 


Saya pun juga berpikiran sama dengan Kambie. Kota-kota di Australia yang telah kami kunjungi, tak sekali pun saya melihat portal atau gate pembayaran parkir. Bisa saja ada, hanya saya mungkin tidak melihatnya. Jika pun ada area parkir kendaraan disiapkan, kondisinya sama seperti tadi. Hanya ada mesin pembayaran parkir, tanpa portal pintu keluar-masuk.  


Kakak saya, Wahyudddin Halim pernah tinggal di Kota Canberra selama tiga tahun bersama istri dan tiga anaknya. Ia memiliki satu kendaraan sedan roda empat. Ia bercerita bahwa ketika hendak kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan program studi PhD-nya di Australian National University (ANU) 2016, ia disurati oleh pihak berwenang di Australia. Intinya, ia diingatkan bahwa ia mempunyai tagihan denda kerena melebihi kecepatan di jalan tol dan tagihan parkir di saban waktu. 


Mengenai Kambie, ia tetap merasa belum memahami apa pun: kenapa tidak ada portal pintu keluar-masuk parkiran! Saya yakin, ia menuntutku untuk menjawab itu. Tentu saja tidak mudah menjawabnya. Saya bukan an Australian. Juga bukan permanent resident. Satu-satunya bentuk jawaban yang tersedia adalah perbandingan dengan Indonesia atau kota Makassar: lebih praktis, lebih mudah, serta presisi benarnya sangat lebar. 


"Di Australia, mungkin saja yaa, negara dan penyelenggara jasa sangat mempercayai rakyatnya. Sangat mempercayai pelanggannya. Untuk apa membuat portal parkiran jika pelanggan dipercaya pasti membayar. Jadi portal parkiran itu adalah simbol ketidak-percayaan negara kepada rakyatnya, ketidak-percayaan penyedia jasa kepada pelanggannya."


Saya memberikan gambaran singkat kepada Kambie. Saya mengajaknya menghitung jumlah lokasi parkiran di Kota Makassar yang menggunakan portal pintu keluar-masuk. Itulah gambaran ketidak-percayaan penyedia jasa parkir kepada pengguna jasa parkir. 


Hanya parkiran di badan dan bahu jalan di Kota Makassar yang tidak dipasangi portal pintu parkir. Tapi tunggu dulu. Itu bukan seperti di Australia tadi. Bahu dan badan jalan di Kota Makassar itu dijaga ketat oleh Juru Parkir (Jukir) yang bekerja seperti sipir di gedung penjara, mengawasi dengan mata elang kepada pengendara seperti halnya mengawasi napi atau tahanan yang bisa kabur sewaktu-waktu. 


"Jadi pak Ustad Kambie, hubungan antara Jukir dan pengendara di Kota Makassar itu adalah hubungan khusus yang saling mencurigai. Jukir curigai pengendara akan kabur tidak bayar parkir, sementara pengedara mencurigai jukir tidak setor pungutan parkir ke kas negara/pemerintah."


Mendegar jawabanku, Kambie terlihat sinis. Ia mendebat saya, bahwa premis itu tidak cukup untuk menggambarkan ketidak percayaan negara/pemerintah kepada rakyatnya. 


Saya mengajak Kambie duduk di bangku kayu Ulin di pinggiran taman. Untuk menghindari kesan kami punya hubungan khusus sesama jenis, saya memilih duduk di bangku seberang meja. Kami pun saling berhadapan. Dengan posisi ini, saya bisa bercerita lebih apik kepada Kambie soal hubungan antara negara/pemerintah dengan rakyatnya. 


"Oh ya, Pak Ustad. Di Indonesia, hubungan antara pemerintah dengan ASN itu sudah sangat parah. Ketidak-percayaan pemerintah kepada ASN, makin waktu berjalan, makin meningkat. Pemerintah mengasumsikan para ASN itu adalah pembohong, pendusta, penipu." 


Itulah sebabnya, setiap ASN masuk kantor pada pagi hari, harus ceklok dengan sidik jari. Selain sidik jari, dilengkapi juga pemindaian retina mata. Setelah dua pemeriksaan itu, ASN harus pula menandatangani absensi manual dengan pulpen. Tidak cukup dengan itu, sang ASN juga harus check ini di kantornya melalui aplikasi gadget yg harus terhubung dengan Wifi kantor, agar GPS gadgetnya terbaca di lokasi kantor. Terakhir, sang PNS harus dilihat langsung oleh pimpinannya.


Kambie berdecak kagum menyimak sistem pengamanan berlapis oleh pemerintah republik +62 menghadapi ASN-nya. Saya mempertegas bahwa banyak hubungan-hubungan sosial di negeri +62 ini yang dilandasi oleh kecurigaan-kecurigaan seperti itu. Kambie mulai memahami, mengapa lokasi-lokasi jasa parkiran di Australia tidak menggunakan portal pintu keluar-masuk. 


"Yang saya heran, Pak Ustad, kenapa tidak ada jukir-jukir di jalanan-jalanan di kota-kota Australia seperti di Kota Makassar!" 


Kambie yang masih duduk, bergerak menegak-luruskan punggungnya. Kedua tangannya kemudian memijit bagian belakang kepalanya. Saya curiga, ia tidak siap dengan pertanyaanku itu. Tapi ia akhirnya mendapatkan inspirasi waktu itu. Ia mengarahkan wajahnya lurus ke wajahku. Matanya agak memicing, lalu menyembulkan sunggingan senyum di bibirnya. Saya penasaran. 


"Pak Maqbul sudah punya penjelasan sebelumnya tentang ini. Bukankah seperti Pak Maqbul katakan bahwa di Australia tidak ada ormas. Dari mana datangnya cinta? Yaa, dari mata turun ke hati. Dari mana datangnya Jukir, dari ormas turun ke bahu jalan."


Saya geli mendengar respon Kambie ini. Ceruk pikirannya masih menyimpan tema Ormas. Memang salah satu kekurangan jalanan-jalanan Australia adalah tidak dilengkapi jukir. Tapi wajarlah jika tidak ada jukir, karena tidak ada ormas. 


Di sinilah peluang Kota Makassar jika memang tidak ada Ormas di Australia. Yakni, Kota Makassar bisa mengekspor jukir ke Australia. Salah satu potensi kota Makassar saat ini adalah jumlah jukirnya yang sudah hampir sama dengan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat di Makassar. 


Bahkan, Australia bisa juga mengimpor ormas dari Kota Makassar. Tujuannya apa? Ormas-ormas yang diimpor tesebut dapat mengembangkan bisnis budidaya jukir di Australia.**


Makassar 27 Juli 2022




Kebetulan di Australia (1) 

 



 






Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim