SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 05 Januari 2009

Mereka Jadi Anggota KPU

Makassar, 05 Januari 2007

Waktu itu, saya selalu berpikir tentang KPU Kota Makassar sebagai lembaga yang membutuhkan orang terampil dan siap mendedikasikan diri. Saya sendiri menyerahkan diri untuk mendaftar lagi pada waktu itu. Pendafataran itu juga bukan sebagai ambisi pribadiku. Pendaftaran itu semata-mata karena panggilan pekerjaan. Mereka meminta saya untuk mendaftar lagi, agar kesinambungan pekerjaan dapat terjamin. Mereka pun mendaftarkan diriku pada hari terakhir waktu pendaftaran.

Saya masih yakin waktu itu, bahwa saya tidak membutuhkan lagi jabatan anggota KPU Kota Makassar itu. Itulah sebabnya, saya tetap memikirkan peluang orang lain untuk lolos pada seleksi ini. Ketika proses seleksi mengantarku masuk ke 20 besar, saya bertemu dengan calon lain yang masih asing bagiku. Calon seperti Pahir Halim dan Andi Dirgahayu Lantara, tentu saja tidak asing bagiku karena masih sedang bersama-sama di KPU Kota Makassar yang akan berakhir sebulan lagi. Waktu itu, saya melihat calon-calon lain itu dengan pandangan yang unik. Saya hanya menemukan sedikit dari mereka itu yang raut wajahnya mewakili sebuah ketulusan, serta kerelaan untuk menjadi anggota KPU Kota Makassar pelanjut saya dan teman-teman. Saya tahu, mereka sangat membutuhkan jabatan sebagai komisioner tersebut.

Sebagian dari mereka yang saat ini sudah menjadi anggota KPU Kota Makassar 2008-2013. Mereka adalah pejuang. Sebagian dari mereka mungkin sedang terlilit hidup yang luruh dan dengan nasib yang tak kunjung berubah. Harapan yang paling terang dengan jabatan sebagai anggota KPU Kota Makassar yang mereka sandang itu adalah bahwa saya dan sejumlah anggota KPU Kabupaten lainnya mengalami perubahan kehidupan finansial berkat jabatan itu sejak 2003. Orang seperti saya pada masa-masa awal di jabatan itu, memang berasal dari derajat berharta "nol". Meski ada peningkatan derajat sosial dari jabatan waktu itu, saya tidak peduli karena bukan itu orientasi saya. Saya terang saja kepada kawan-kawan waktu itu, gengsi sosial dari jabatan itu tidak begitu penting bagiku. Jadi waktu itu, saya betul-betul menemukan diriku sedang menyerupai orang yang miskin rupiah. Selain itu, saya juga dipandang lugu dan lucu karena tidak mengerti betapa penting dan strategisnya derajat sosial yang diberikan oleh jabatan itu.

Menjelang proses seleksi dimulai waktu itu, saya sadar bahwa diriku telah berubah. Wawasan dan pengalaman yang telah mengajar diriku selama di KPU Kota Makassar lima tahun lebih, membuat diriku bukan lagi Maqbul Halim pada 2003 silam ketika mendaftar pada Pansel Calon Anggota KPU Kota Makassar periode 2003-2008. Akibatnya, saya kerap gelisah ketika masa jabatan saya di KPU Kota Makassar bakal berakhir dalam sebulan ke depan, yaitu pada 23 Juni 2008, namun diperpanjang lagi oleh KPU Sulsel. Saya tidak membutuhkan lagi jabatan itu, apalagi jika hanya untuk mengangkat derajat sosialku seperti halnya pada lima tahun silam.

Saya lebih memilih bahwa jabatan tersebut lebih cocok dilanjutkan oleh mereka yang lebih kuat dan lebih kompeten dari saya. Ketika itu, saya juga berpikir bahwa saya akan gembira jika mereka yang akan melanjutkan jabatan tersebut adalah mereka yang tidak lagi bermotifkan perbaikan hidup seperti saya sebelumnya. Ia atau mereka bukanlah pencari kerja, laiknya para pendaftar PNS. Tentu mereka itu tidak berprinsipkan motif bahwa, dengan keanggotaan KPU Kota Makassar, hidup menjadi lebih sejahtera. Saya pernah memunculkan harapan seperti itu kepada tim seleksi. Saya bermaksud bahwa tim seleksi tidak dimuati oleh agenda untuk membantu perbaikan taraf hidup beberapa peserta yang mungkin saja sudah digadang-gadang menjadi pemenang.

Harapan saya itu ternyata perlu. Saya sendiri sangat menyesalkan karena beberapa anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 lebih mengedepankan perbaikan nasib hidup kerabat dan keluarganya ketimbang nasib Pemilu 2009. Setidaknya, maksud itu juga yang diagregasi oleh para tim seleksi calon anggota KPU di kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan yang ditempatkan oleh KPU Sulsel 2008-2013, yang dua orang di antaranya adalah petugas perpanjangan tangan kepentingan anggota-anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulsel itu, berhasil menutup diri dalam mengambil keputusan untuk memilih. Mereka tidak gugup atau risih mengekspresikan kegamangan dan kejijikannya dalam memutus yang kontroversial dan cenderung mempermalukan akal sehat. Saya lihat, mereka malah cenderung atraktif dalam hal itu. Mereka justru mendalilkan kemuliaan dan kecerdasan nuraninya setelah mereka menjatuhkan pilihan-pilihannya yang kontroversial dan cenderung mempermalukan akal sehat itu.

Mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulsel itu, agaknya sudah terlatih mengorbankan yang baik demi untuk sesuatu yang belum tentu baik. Banyak pihak yang tidak berhasil memahami cara dan logika berpikir mereka. Mereka berasal dari masa silam, yang sama sekali tidak bisa dibaca jejak keburukan maupun kebaikannya. Itulah sebabnya, pihak-pihak lain pun sulit berdiskusi secara sehat dengan mereka. Saya sendiri sudah mengumpul berbagai pengakuan kekecewaan terhadap mereka: ekspektasi publik tidak berarti di mata dan pikiran mereka. Mereka betul-betul mandiri dan independen dari masukan dan saran yang konstruktif dan produktif. Mereka juga terkesan menghindarkan diri untuk belajar dan mengetahui lebih jauh tentang sebuah resiko pemilu.

Boleh jadi, status intelektual mereka yang terhormat sudah terlacurkan oleh kekerdilan jiwa mereka. Saya menyebut status intelektual mereka yang terhormat terlacurkan karena mekanisme kerja mereka, tim seleksi dan anggota KPU Sulawesi Selatan itu, sangat tertutup, tidak patuh pada standar-standar logika dan akal sehat, dan argumen-argumen mereka cenderung mewakili persoalan yang mereka ingin jelaskan, bukan mewakili maksud kiritikan publik. Setiap orang yang menjadi peserta seleksi tidak bisa memastikan, apakah diri mereka gugur karena tidak patut dan layak atau mereka memang tidak dikehendaki. Sebagai contoh, ada beberapa dosen yang bergelar doktor yang dilibatkan oleh KPU Sulsel untuk menjadi anggota tim seleksi. Harapannya adalah agar kewibawaan akademik yang ada pada tim seleksi yang mereka tunjuk dapat mempengaruhi proses seleksi sehingga prosesnya dapat diaudit secara akademik, baik metodenya maupun dasar-dasar penilaian yang kemudian merekomendasikan sebuah hasil. Bagi saya, semua maksud itu hanyalah pepesan kosong, pernyataan munafik.

Hasil yang direkomendasikan, baik calon 10 besar dari tim seleksi maupun lima calon terpilih dari KPU Sulsel, sama sekali tidak merefleksikan kesan-kesan akademik. Prosesnya tertutup, penetapan calon terpilihnya tetutup. Standar penilaian tidak dibakukan sejak awal sebelum kegiatan peniliaian dimulai. Beitu pula, standar etik dan moral tidak dibelakukan sama bagi semua peserta. Akibatnya, seorang kawan saya tidak lolos karena istrinya menjadi calon legislatif Pemilu 2009 sementara seorang calon lain lulus meski saya menjadi saksi hidup bahwa ia pernah memimpin pertemuan di Partai Golkar pada 2006. Pontensi lulus antara peserta yang keterampilannya hanya tukang sate dan mereka yang pernah menjadi anggota KPU di deaerah selama lima tahun, adalah sama. Saya akhirnya tergelitik melihat semua itu dan berpikir bahwa itukah yang disebut proses akademik yang dipergakan oleh kaum-kaum terpelajar di tim seleksi dan para anggota KPU Sulsel itu.

Oleh karena itu, anggota KPU terpilih bukanlah hasil riset atau penelitian. Saya sendiri punya alasan. Sebuah penelitian mensyaratkan landasan teori, metode untuk mengoperasikan konsep tentang data dan fakta sesuati teori, serta referensi penelitian sebelumnya (tinjauan pustaka). Setelah itu, barulah peneliti memfatwakan kesimpulan. Dalam hal ini, kesimpulan menjadi bukan titik sentral nafas proses akademik. Titik sentralnya justru pada konfigurasi dan kronologi proses yang mencakup tujuan penelitian, maksud penelitian, focus penelitian, teori, metode, unit analisis, dan sebagainya, yang kemudian mencerminkan “logical frame” proses yang disebut akademik. Apalagi, sebuah kesimpulan dalam penelitian akan selalu terkoreksi, sebagai tanda bahwa bukan hasil yang prioritas, melainkan standar-standar dari proses-proses itu.

Saya pernah berpikir dan kemudian berkesimpulan seperti itu. Tapi saya kembali berpikir bahwa tim seleksi dan anggota KPU Sulsel mempunyai potensi untuk menilai subyektif. Saya sadar bahwa cara menilai seperti itu tidak bertentangan undang-undangan atau peraturan yang ada. Menurut Pahir Halim, teman saya di KPU Makassar yang juga gagal masuk ke 10 Besar, mereka itu mempunyai hak untuk berkehendak apa pun yang mereka inginkan. Ia mengatakan itu menanggapi ketidaklulusannya. Apalagi, saya juga sudah tahu sebelumnya, bahwa proses ini rentan dengan pengaturan. Ibaratnya lelang pengadaan barang atau lelang kontrak, pemenang sudah ditentukan sebelum pembukaan lelang. Hanya saja, saya dan Pahir Halim tidak tahu waktu itu, apakah saya dan Pahir atau salah salah satunya saja sudah digandang-gadang sebagai calon pemenang. Pahir Halim dan saya kandas di tangan tim seleksi.

Saya pun menjadi sadar bahwa subyektivitas selalu membutuhkan kekuasaan. Bukankah, setiap proses menjadi, selalu ada kekuasaan yang diperlukan. Kekuasaan tim seleksi dan anggota KPU Sulsel, yang saya rasakan ketika itu, bukanlah kekuasaan yang possesive, occupative, atau governing. Kekuasaaan yang mereka miliki adalah kekuasaan yang erat kaitannya dengan cita rasa. Kekuasaan itu tidak untuk membatasi kekuasaan lain di luar dirinya, atau kekuasaan yang rawan oleh ancaman resiko. Kekuasaan yang mereka miliki adalah peluang untuk memilih posisi subyektif. Posisi itu juga sekaligus lebih mengukuhkan kekuasaan itu.

Cita rasa dari proses kekuasaan itu bukan ketika mengagendakan bentuk dan isi hasil dari proses itu, melainkan kepuasaan yang diberikan oleh proses itu. Saya menyebut itu sebagai cita rasa. Saya lantas mencatat posisi cita rasa itu pada kekuasaan yang ada di tangan tim seleksi dan anggota KPU Sulsel. Cita rasa yang paling puncak dari kekuasaan mereka sebagai tim seleksi dan atau anggota KPU Sulsel adalah ketika mereka berkemampuan mempermak yang salah menjadi benar dan mempermak yang benar menjadi salah. Seperti sebagian orang ketahui, kemampuan mempermak seperti itu pada proses seleksi calon anggota KPU Makassar 2008, betul-betul nyata dan terbukti. Cita rasa kekuasaan mereka tentu bukan bermanfaat kalau hanya membuat yang patut menjadi memang patut, atau mempertahankan yang layak karena memang kelayakannya betul-betul nyata.

Jika betul proses seleksi ini demikian adanya, tepat jika disebut bahwa ini bukan proses akademik atau proses yang dapat diaudit oleh metode-metode akademik. Saya melihat proses ini lebih banyak dikendalikan oleh naluri kemanusiaan yang paling dasar, yaitu didorong oleh rasa lapar dari perut. Sebuah proses yang tidak memerlukan nalar. Ya, cukup dengan naluri. Dengan dorongan itu, bisa jadi mereka sekarang sudah menjadi anggota KPU Kota Makassar 2008-2013. Selamat.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim