SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 08 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (5)

Sinjai, 08/12/08

Akhirnya, saya tidak lulus. Namaku tak ada pada 10 orang calon yang akan dikirimkan oleh tim seleksi ke KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Pahir Halim, kolega saya sesama anggota KPU Kota Makassar yang lama, juga tidak lulus.

Tadi malam pukul 21.13 wita, saya mencoba hubungi Sabaruddin yang terus mendampingi tim seleksi sebagai sekretaris tim seleksi dalam setiap rapat. Panggilan telepon saya tidak dijawab. SMS dari Pahir untuk saya yang menyebutkan informasi terakhir tentang keputusan tim seleksi itu, juga saya teruskan kepada Sabar, sapaan akrab Sabaruddin. Ia tidak membalasnya. Saya juga menghubungi rumah saya di Tidung, bila saja ada pemberitahuan ke sana. Pada formulir pendaftaran, saya cantumkan nomor telepon rumah di sana sebagai alternatif kontak saya selain nomor selulerku yang sudah sebulan lebih ini tidak aktif. Adikku yang menghuni rumah itu sekarang, Nurul Haerul, mengaku belum menerima telepon dari siapa pun yang mencariku pada malam itu.

Sabar tidak merespon panggilanku hingga saya tidur kurang lebih pukul 01.00 wita dinihari. Saya yakin pada malam itu, saya tidak mempunyai tanda-tanda kelulusan. Saya keluhkan itu kepada Ria, istriku. Dia mengatakan bahwa lebih baik berpikir tentang ketidak-lulusan, meskipun katanya di hati kecilku tetap ada keinginan untuk lulus ke 10 besar. Saya heran karena dia tahu bahwa meski saya tidak peduli dengan proses pendaftaran ini, saya tetap memendam harapan untuk lulus. Mungkin saja Ria sudah memahami sikapku ketika setiap waktu saya tampak selalu menatap layar selulerku, menunggu SMS, entah dari Sabar, atau dari siapa pun itu. Tak ada kabar yang datang. Saya berniat menghubungi Anwar Wahab atau Joni, seorang senior saya di Komunikasi Fisip Unhas Ujungpandang ketika masih kuliah dulu. Joni pernah aktif di Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Sekarang ia menjadi calon legislatif di Partai Republika Nusantara (RepublikaN) untuk Dapil IV DPRD Sulawesi Selatan. Saya urung menghubunginya, karena saya pernah menyatakan bahwa saya tidak peduli apapun hasil dari proses ini. Jika saya menghubunginya, berarti saya tidak konsisten dengan pernyataan itu. Lagi pula, memang itulah adanya pendaftaran saya.

Larut malam sudah menunjukkan pukul 23.40 wita. Saya bergabung melarutkan diri bersama ayahku menonton film DVD tentang kisah terbunuhnya Hussein di Perang Karbala. Ettaku, sapaan untuk beliau dari kami bersaudara, menginap di rumah ketika itu. Ketika film sudah usai, saya betul-betul tidak memikiran apa yang telah dikerjakan oleh Tim Seleksi. Saya langsung membaringkan diri. Saya sendiri tidak tahu, pada saat kapan saya tertidur. Saya sempat menengok jam dinding ketika mengunci pintu belakang dan pintu depan, jarum jam sudah menunjuk pukul 00.55 wita. Ria sudah tidur bersama temannya yang menumpang di rumah untuk ujian PNS. Saya sibak tirai jendela depan rumah, saya melihat tetangga yang berkumpul masih bermain kartu di depan warung Pak Anshari. Tiga orang dari mereka sedang dihukum berdiri.

Keesokan harinya, kabar itu akhirnya menjadi terang. Pagi di Mugellona, embun masih membasah di dedaunan rumput dan Bunga Terkini. Beberapa meter arah Selatan dari rumah, saya dan Ettaku sedang larut mengobrol menghadap ke rumahku yang masih sementara proses pemasangan kusen dan batu merah. Kami mengobrol ikhwal teknis dan bahan rumah saya yang sedang dibangun. Sinar mentari pagi mulai menyelinap dari langit timur. Tak ada lagi yang remang di hadapan kami. Kami merasa sudah cukup dan kemudian berjalan kembali ke rumah kontrakan saya yang hanya berjarak beberapa meter itu, masih di dalam kompleks Taman Mugellona. Hanya satu kali belokan, kami sudah tiba di depan rumah kontrakan.

Di teras depan rumah, Ettaku memungut koran yang baru saja tiba. Beliau membawah masuk koran itu dan kemudian mengambil tempat duduk. Saya terus berjalan ke bagian belakang untuk membuka pintu keluar yang masih terkunci. Seperti biasa, saya periksa tempat sampah dekat kompor dan tempat sampah di dalam kamar mandi, mengangkat dan mengeluarkannya ke depan rumah, ke sebuah tong khusus untuk sampah sebelum di diangkut oleh petugas sampah. Sambil berlalu lalang di sekitar Ettaku yang sedang membaca koran, saya juga masih bisa mengintip berbagai judul pada koran itu dan tetap juga melakukan pekerjaan pagi. Pada halaman empat yang sedang hadapan Ettaku, tatapan mataku tersangkut pada judul yang tertera di sudut kiri atas: “10 Nama Lolos Seleksi”.

Saya penasaran dengan judul itu. Saya meletakkan kunci pintu di mejah dan menyandarkan gagang sapu di dinding. Saya mendekat melihat judul pada lembaran itu. Saya meminta kepada ayahku agar tidak melewatkan berita yang terpampang di sudut kiri atas itu. Ada kolom kecil di bawah judul dengan raster abu-abu yang memuat daftar 10 nama yang lolos seleksi. Nama demi nama saya periksa dengan detail. Namaku tidak ada di antara 10 itu. Sambil berdiri membungkuk memegang kedua lututku, saya memeriksa kembali nama-nama itu, dan tetap saja nama saya tidak ada. Ria yang sedang menyiapkan sarapan di dapur akhirnya penasaran hendak mengetahui apa yang sedang kami perbincangkan tentang salah satu berita di koran pagi. Ia bertanya apakah saya lolos. Saya dan Ettaku tidak menjawab. Tatapi, ia pun akhirnya tahu bahwa saya tidak lulus ke 10 besar seleksi.

Ettaku mengatakan bahwa saya tetap punya peluang besar untuk mendapatkan kegiatan lain. Ia memberiku semangat, dan sedikit mencoba menyabarkan saya. Ia katakan bahwa jika yang saya alami sekarang adalah kegagalan, maka inilah tahap yang mungkin harus saya lalui untuk mencapai sukses berikutnya pada hal lain. Saya berpendapat lain dan berbeda dengan apa yang beliau nasihatkan itu. Saya berprinsip bahwa semua kegagalan adalah hal yang betul-betul terpisah dari kesuksesan. Saya selalu muak mendengar adagium yang mengatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Adagium itu adalah dusta. Kegagalan adalah kegagalan itu sendiri, dan kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Kegagalan bukanlah syarat bagi kesuksesan, atau kesuksesan sebagai akibat dari kegagalan. Dua hal ini adalah sintesis yang berasal dari tesis yang berbeda. Jika sebelumnya saya gagal di KPU Propinsi Sulawei Selatan, lalu keberhasilan yang mana dimaksudkan saat ini? Barangkali keberhasilan yang dimaksudkan kegagalan itu adalah yang akan terwujud 10 atau 20 tahun yang akan datang. Bukankah dengan demikian, jaminan dari adagium tetapi meliputi lebih banyak ketidakpastian.

Ria memberi tanggapan datar dan tak ada penekanan tertentu terhadap kabar ini. Ia hanya mengulang apa pernah ia sampaikan sebelumnya ketika saya hendak mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Ia tidak risau atau panik dengan kegagalan ini karena ia mempunyai dua alasan. Pertama adalah bahwa ia sudah pernah mengajak saya memikirkan kembali langkahku untuk mendaftar kembali itu, meski akhirnya kami bersepakat, saya mendaftar kembali. Kedua, ia selalu meyakini potensi-potensi tidak independennya tim seleksi dalam memutus, sebagaimana halnya yang terjadi pada KPU Pusat ketika memutuskan lima besar calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Dua asalan itulah yang memberi kekuatan kepada Ria ketika pertama kali mengetahui kegagalanku lolos ke 10 besar calon anggota KPU Kota Makassar. Kabar kecewa ini tidak membuat Ria harus mengehentikan mesin pembakar roti di hadapanya. Kami bertiga juga tidak mengeluhkan roti bakar yang kami cicipi, apakah gosong atau masih mentah. Kabar koran pagi tidak mengusik sarapan pagi kami.

Setelah sarapan, saya mengetik SMS melalui nomor selulerku yang lain. Saya kabarkan bahwa saya akhirnya tidak lolos seleksi KPU Makassar. Pesan itu saya kirim ke nomornya Syamsu Rizal MI (teman saya di Komunikasi Unhas ketika masih kuliah dan akrab dipanggil Ical), Anca Darmawangsyah (juga alumni Komunikasi Unhas yang seangkatan dengan Ical dan selalu dipanggil dengan nama kecil Anca), Bang Joni, dan Farouk M. Beta atau Aru (sekretaris Golkar Kota Makassar). Mereka semua adalah teman warung kopi, kerap satu meja dengan mereka atau beberapa dari mereka.

Tak ada respon segera setelah itu. Sembari menungu respon mereka, saya membuat kegiatan merapikan bahan-bahan tukang yang sedang mengerjakan rumah. Beberapa barang saya pindahkan tempatnya, sedangkan barang-barang seperti kaleng dan kardus yang tidak terpakai, saya keluarkan untuk diangkut oleh tukang sampah.

Saya menelpon Pahir Halim untuk kali pertama hari itu. Pahir sedang berada di Pinrang. Panggilanku tidak tersambung ke selulernya. Saya mencobanya dua jam kemudian dan tersambungkan. Begitu pangilanku terjawab, Pahir langsung bertanya. Rupanya, ia juga sudah mendapatkan kabar tentang hasil Tim Seleksi. Saya jawab bahwa itulah posisi yang sebenarnya. Ia mengatakan, tak ada lagi yang bisa dilakukan, sudah diputuskan oleh Tim Seleksi. Saya sampaikan bahwa Ria sudah tahu kabar ketidak-lulusan ini. Ia sedang menyetir mobil ketika saya meneleponnya. Entah, apakah suara desingan angin berkendara atau suara tarikan nafasnya, Pahir lalu menjawab bahwa ia belum memberi tahu istrinya. Saya memahami bahwa istrinya termasuk motivator yang dominan sehingga ia mendaftar kembali seperti saya di KPU Kota Makassar. Saya masih ingat dan juga percaya, ia pernah menyatakan bahwa dirinya tidak lagi mendaftar di KPU Makassar ketika ia dinyatakan tidak lulus ke Lima Besar anggota terpilih KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Ia mendaftar kemarin pada hari terakhir penerimaan berkas. Kira-kira baru satu menit mengobrol, Pahir sudah meminta untuk memutuskan pembicaraan telepon. Saya bilang, nanti kita ketemu kembali di Makassar. Saya pun melanjutkan aktivitasku di lokasi pembangunan rumahku.

Aru menelpon ketika saya melupakan untuk sementara kegagalan itu. Panggilannya masuk tidak lama setelah saya menelpon Pahir. Kami mengobrol lama melalui telepon. Ia heran dan mengaku tidak mengerti bagimana cara kerja dan apa pertimbangan Tim Seleksi sehingga calon seperti saya dan Pahir tidak lolos. Ia bingung dan kalimat-kalimatnya kerap terputus. Kadang-kadang, terasa seperti kesulitan memilih kata-kata untuk mengemukakan maksudnya. Saya menggaris-bawahi apa yang paling ia perhatikan: terlalu berani Tim Seleksi mengambil keputusan seperti itu. Kata Aru, Pak Ilham Arief Sirajuddin juga tidak bisa memahami cara Tim Seleksi memutuskan 10 calon yang lolos seleksi itu.

Sore, pukul 15.30, saya terima telepon dari Pak Darwis, mantan anggota KPU Sulawesi Selatan 2003-2008. Suara saya terputus-putus di selulernya. Suara saya terputus di selulernya karena kendaraan saya sementara merayap di Basement Parkir Panakkukang Square. Saya kemudian menelponnya setetelah lepas dari basement mengarah keluar ke Jl Pengayoman. Kami bercakap tentang kondisi Tim Seleksi yang sedang mendapatkan sorotan dari beberapa kalangan. Pak Darwis berpikir, bagaimana bisa terjadi ada berita yang memuat nama-nama calon yang lolos 10 besar, sementara Tim Seleksi sendiri tidak mengeluarkan pengumuman tentang itu. Apalagi Tim Seleksi menyerahkan nama-nama itu untuk diumumkan sendiri oleh KPU Sulawesi Selatan. Pak Darwis menanyakan sumber informasi yang menerangkan nama-nama itu. Dia juga menanyakan alasan Tim Seleksi menggugurkan saya. Saya katakan kepadanya bahwa Tim Seleksi sesungguhnya tahu siapa-siapa yang layak disebut terbaik masuk 10 besar, dan juga sekaligus tahu tentang apakah pilihannya yang 10 orang itu adalah sudah betul-betul yang terbaik. Saya serahkan saja kepada Tim Seleksi, dengan moral yang mereka miliki, apakah mereka jujur atau tidak tentang itu.

Pak Darwis adalah salah satu teman saya yang tidak percaya orang-orang di KPU Sulsel pengantinya itu akan membantu saya dalam proses seleksi. Ia menyarankan kepada saya agar tidak mempercayai mereka. Ia pun mengatakan sesuatu sebelum saya putuskan sambungan pembicaraan. Saya lupa, sudah berapa menit saya berbicara. Tetapi kendaraank sudah melaju di depan SMA 5 Makassar. Saya merasa, ia mencoba mengajak saya melupakan semua itu. Ia keliru kalau ingin berempati pada kegagalanku. Kegagalan ini tentu bukan beban bagiku. Bebannya ada pada mereka yang telah beralasan sedemian rupa sehingga saya mendaftar kembali. Saya mengakui, saya juga memendam harapan atas hasil dari proses ini, tapi tidak cukup untuk mengalahkan alasan-alasan mereka yang telah mendorongku. Harapan itu hanya muncul setelah ada keputusan untuk mendaftar lagi. Sebelum pendaftaran, harapan itu berada persis pada titik nol. Pendaftaran itu betul-betul menipuku hingga saya meniatkan secuil harapan.

Andi Aso, anak kedua Pak Syahrir Makkuradde, menuding Tim Seleksi tampak pada sisi yang betul-betul sangat bodoh. Andi Aso, kata Pak Syahrir, menanyakan, kenapa Tim Seleksi memilih orang yang belum tentu bagus dan pada saat yang sama menyingkirkan orang-orang yang sudah nyata-nyata dan terbukti bagus dan lebih bagus dari yang telah dimuat pada berita-berita koran itu. Kali pertama saya bertemu dengannya setelah berita koran itu, Pak Syahrir tidak mengatakan apa pun kecuali langsung menirukan perkataan Andi Aso tadi. Pak Syahrir juga heran dan tidak mengerti jalan pikiran tim seleksi sehingga berkeputusan seperti itu.

Saya juga menelepon langsung Bang Joni, senior yang paling antusias dan bernafsu “memerintahkan” saya untuk mendaftar kembali. Ia sendiri tidak tahu hendak berbuat apa setelah mengetahui ketidak-lulusanku. Di telepon, suaranya tidak stabil. Selama dalam percakapan, saya sering menemukan jeda pembicaraan tanpa kata-kata ketika saya sendiri sengaja tidak bersuara untuk menunggu responnya atau memberi tangapan balik. Ia gugup. Ia mungkin merasa kegagalan saya ini tidak pernah ada dalam pikirannya. Ia bertanya kepada saya tindakan apa yang mestinya ia ambil. Saya pun tidak tahu karena sejak awal saya sudah menyatakan bahwa saya hanya menyerahkan diri. Kepadanya saya pernah katakan bahwa saya siap menjadi korban, tumbal, atau apalah namanya. Segala sesuatu yang tidak terkait dengan proses yang bersifat informal tapi menentukan, adalah bukan kegiatan saya. Melainkan, sudah disanggupi oleh Bang Joni sebelumnya.

Sejak kabar ketidak-lulusan itu saya ketahui pada pagi hari hingga sore hari, asumsi demi asumsi dalam pikiran silih berganti. Hasil psikotes, outbound, dan wawancara adalah dasar bagi tim seleksi menyusun penilaian. Atas dasar penilaian itu, Tim Seleksi lalu mengurutkan 20 nama calon peserta dari yang terbaik nilainya pada urutan pertama hingga ke yang terendah di urutan keduapuluh. Mestinya, saya tidak lolos karena penilaian dari hasil tiga jenis tes itu. Saya berpikir bahwa bukan ini masalahnya. Saya mungkin orang yang tidak baik dan tidak bersahabat bagi anggota Tim Seleksi. Bisa jadi, semua prosedur formal telah terpenuhi. Hanya saja, motivasi yang telah saya dapatkan dari beberapa orang itu tidak lain hanya pepesan kosong belaka. Mereka hanya sebatas mendukung atau menyarankan, tetapi mereka sendiri tidak berbuat. Tapi ketika saya terus berpikir, bisa jadi bukan itu masalahnya.

Mungkin saja masalahnya adalah bahwa ada pihak lain yang tidak menginginkan kehadiran saya kembali di KPU Kota Makassar. Pihak yang masuk akal berkepentingan seperti itu adalah para saingan saya. Secara proporsional, paling kurang 15 dan paling banyak 19 calon yang berkepentingan seperti itu. Dua di antaranya adalah teman sesama komisioner KPU Kota Makassar, Pahir Halim dan Dirgahayu Lantara. Tapi kedua orang itu sudah menjadi bagaikan saudara kami, saling membantu dan saling berdiskusi setiap kali akan menghadapi tahapan tes. Demikian juga, kedua orang itu saling mempercayai dengan saya ketika menghadapi masa-masa sulit Pemilu Walikota dan Wakil Walikota Makassar 2008. Pahir Halim adalah teman yang telah merasakan bagaimana baik dan buruknya berteman dengan saya, terutama dalam hal saling melindungi dalam pekerjaan. Karena itu, saya yakin bukan ini masalahnya.

Ical bercerita kepada saya pada siang hari edisi pemberitaan itu tentang salah seorang kawan saya di KPU Makassar. Menurut Hambali Talib, salah seorang anggota Tim Seleksi, kata Ical menceritakan, saya tersingkir setelah Tim Seleksieksi melakukan konfirmasi kepada salah seorang di KPU Kota Makassar. Anca Darmawangsyah juga mendapat informasi itu. Setelah saya menerima telepon dari Ical tetang itu di rumah, saya bergeser dan meraih tempat duduk. Saya menghela nafas dan kemudian memeriksa nama-nama satu per satu mulai dari anggota KPU Kota Makassar yang tidak ikut seleksi hingga seluruh staff dan pegawai kontrakan. Jantung saya berdegup keras. Beberapa nama, setiap orangnya, saya temukan berkait dengan berbagai peristiwa. Setelah mengetahui beberapa nama itu, saya tidak jadi memilih faktor ini sebagai penyebab kegagalan saya. Saya hanya mencatatnya dalam memori saya, dan saya berharap kontribusinya terhadap kegagalan saya itu akan hilang dari ingatanku dalam waktu singkat. Dengan demikian, padanganku terhadap orang ini akan kembali pulih dan tidak sedikit pun hal-hal yang negatif ketika saya berpikir atau berbicara tentang orang itu.

Inilah ujung perjalananku dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Lima tahun enam bulan usiaku saya gunakan untuk tugas-tugas kepemiluan. Segalanya ada akhirnya. Pengalaman lima tahun itu mengajarkan kepada saya tentang bekerja berdasarkan hukum. Kedewasaan saya dalam berbeda pendapat dan pandai-pandai menomor-duakan kepentingan dan persoalan pribadi dari kepentingan pekerjaan, telah menjadikan diriku siap mengemban amanah untuk menjadi anggota KPU Kota Makassar 2009-2014. Intinya, saya menemukan karakter sebagai komisioner Pemilu pada diriku. Semua tidak datang begitu saja, karena saya belajar dari peristiwa ke peristiwa. Saya bukanlah saksi dari masa silam, dan melintasi waktu begitu saja. Saya berinteraksi, berdiskusi dengan masalah-masalah, sehingga pikiran-pikiranku juga menjadi bagian yang penting dalam kerja-kerja komisioner tersebut. Serbuan kepentingan yang berbeda dari para politisi dan partai politik, memaksa saya agar tetap dalam tindakan yang benar, sekaligus juga tidak mengecewakan pihak-pihak yang kepentingannya tidak bisa dibenarkan. Saya diperintahkan oleh Tim Seleksi untuk meletakkan semua itu, sekaligus membawah pulang semua barang-barangku pada ruang kerjaku di kantor. Sebuah periode akan segera melaju, akan segera berpisah denganku.

Dari dua kegagalan yang saya alami, satu ketika gagal di seleksi calon anggota KPU Sulsel pada awal hingga pertengahan 2008, saya mendapatkan prinsip yang sangat bernilai ketika saya mengkonstruksi sejarah hidupku. Prinsip itulah yang menyebabkan saya tidak pernah mendapati diriku begitu rendahnya di hadapan orang yang berdaya dalam proses seleksi. Saya tidak pernah sibuk menampilkan diri sebagai orang yang seakan-akan baik di hadapan orang-orang yang punya pengaruh terhadap hasil proses seleksi. Saya tidak pernah menyerahkan diri dan kemudian sebagian kedaulatan saya menjadi agunan atas utang budi yang saya dapatkan dari mereka. Kegagalan memang akhirnya menjadi bayaran atas prinsip itu. Saya menyadari, inilah kekurangan saya. Tapi kedaulatanku yang utuh ketika berpendapat dan memutus adalah juga kelebihan. Kekurangan dan kelebihan ini, bisa saja dipertentangkan, dan bisa juga diperbandingkan. Salah satu memang meniadakan yang satunya, atau sebaliknya juga. Kenyataannya, saya hanya memiliki satu, bukan dua, yaitu: berdaulat dalam berpendapat atau memutus. Bukan berutang budi ketika berpendapat atau memutus.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim