SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 06 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (4)

Makassar, 06 Desember 2008

Waktu itu, awal April 2008, saya mendapat pesan singkat dari Rachmat Noer, anggota tim seleksi calon Anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan periode 2008 – 2013. Saya tidak langsung membacanya ketika telepon selulerku mengeluarkan bunyi peringatan pesan singkat. Apalagi waktu itu, saya sedang sibuk menyusun draft outline materi serial diskusi sebagai rangkaian kegiatan Milad Muhammadiyah Sulawesi Selatan di Makassar yang tinggal beberapa hari lagi. Kru panitia milad yang sedang berjibun di kantor akademik Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar lantai dua, mendesak agar saya segera membaca pesan singkat tersebut. Saya tetap belum membacanya hingga tak ada lagi teman panitia yang mendesakku untuk membacanya.

Pesan singkat Rachmat hanya satu kata: “Selamat.” Saya membacanya dan kemudian tersenyum. Saya bahagia waktu itu karena saya sendiri yakin bahwa ucapan Selamat itu merupakan pertanda kelulusan saya ke peringkat 10 besar seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Sehari setelah saya terima pesan singkat itu, saya mengetahui bahwa Rachmat mengirimkan pesan singkat itu tidak lama setelah rapat pleno tim seleksi ditutup oleh ketuanya, Prof. Tahir Kasnawi. Rapat tim seleksi diaksanakan di Hotel Clarion and Convension Center, Jln. A.P. Pettarani.

“Saya betul-betul lolos ke peringkat 10 besar,” gumamku dalam hati. Jika ini sebuah prestasi, maka saya sangat bangga dan prestasil ini sangat berarti bagiku. Saya tentu berbangga karena ada 10 orang yang tidak lolos ke 10 besar seperti saya. Sekaligus, saya beruntung karena kompetensi, pengalaman dan wawasan kepemiluan tidak menjadi penentu lolosnya 10 orang mengungguli 10 orang lainnya. Sebelumnya, ada 20 orang peserta yang lolos tes tertulis, yang berhak ikut proses selanjutnya dari 20 Besar menjadi 10 Besar. Banyak juga mereka yang waktu itu masih sedang menjabat sebagai anggota KPU kabupaten/kota di daerah dan satu orang lagi adalah anggota KPU Sulsel tidak lolos masuk ke 20 besar.

Ada beberapa dari 10 orang yang lolos itu yang pengetahuan kepemiluannya betul-betul berangkat dari titik nol. Ironisnya, hingga sebulan sebelum pendaftaran calon anggota KPU Sulsel 2008-2009 dibuka, mereka, yang beberapa orang dari 10 orang tersebut, masih belum tahu apa persisnya pemilihan umum itu. Mereka tidak pernah bekerja sebagai penyelenggara seperti KPPS, PPS, PPK, pemantau pemilu, panitia pengawas pemilu, atau membicarakan topik-topik pemilihan umum, atau yang berkaitan secara tidak langsung pada pemilihan umum. Mereka juga tidak pernah terlibat sebagai peserta seminar, diskusi, atau pertemuan publik yang membahas atau mengkritisi masalah pemilu. Saya yakin, Lomba Sultan (Dekan fakultas Syariah UIN Alauddin), Syamsir (Dosen Unismuh), Hasnawati (dosen, dan pengasuh TK/Playgrup) adalah mereka yang star dari titik nol. Sementara Jayadi Nas, hanya bermodalkan gelar doktor dan sering jadi pembicara di seminar-seminar semata. Satu-satunya pengalaman pemilu Jayadi Nas adalah pernah gagal tes seleksi calon anggota Panwas Pemilu Pilgub Sulsel 2007, tepatnya adalah ia kandas berdasarkan rekomendasi hasil psikotes.

Setelah saya menemukan cerita itu, saya mengurungkan niat untuk membanggakan kelulusanku ke peringkat 10 Besar. Kompetensi dan pengalaman saya di KPU Kota Makassar selama lima tahun tidak menjadi pertimbangan sehingga saya lolos. Setidaknya, itulah modus yang berlaku pada tiga orang yang saya sebutkan sebelumnya. Ini bukan sebuah prestasi. Ini juga bukan pertanda kelemahan dan kekurangan dari 10 orang yang tidak lolos ketimbang 10 orang yang lolos.

Pesona kelulusan itu sesekali juga membutakan saya. Saya kerap tidak bisa mengendalikan diri untuk memuji prestasi itu di hadapan orang-orang dalam berbagai kesempatan. Saya misalnya melukiskan betapa ketatnya persaingan, betapa tidak sia-sianya integritas dan pengalaman kepemiluan yang saya bangun selama ini, betapa sulitnya tim seleksi memilih 10 dari 20 orang yang memiliki kualifikasi yang hanya berbeda sedikit, dan seterusnya. Saya biasa sesekali menyadari keliruan itu, tetapi kerap juga kembali lagi terbuai agar orang-orang membangun apresiasi yang tinggi terhadap diriku akibat proses seleksi yang tidak gampang itu. Itu semua adalah buaian yang sesungguhnya dusta yang membuat saya berbangga dengan cara menutupi yang sebenarnya.

Saya hanya beruntung. Jawaban itu lebih sering keluar dari mulutku ketika orang-orang memuji dan memberi hormat atas keberhasilanku menembus peringkat 10 Besar seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Bukankah semua keberuntungan selalu tidak bisa dikendalikan oleh orang-orang yang akhirnya mendapatkannya kemudian. Keberuntungan, bahkan, lebih buruk dari segi kepastian ketimbang peluang dalam teori-teori statistik. Ketika seleksi propinsi itu, saya memiliki keberuntungan itu. Prestasi ini tentu hanya sedikit berbeda dengan hasil perjudian. Atau, lolos menjadi anggota KPU atau lolos pada proses-proses seleksi itu dengan ornamen cerita-cerita buruk seperti itu adalah dusta yang kadang-kadang saya tidak sadar membanggakannya.

Ketika saya ditanya oleh wartawan atau pihak tertentu tentang prestasi itu, saya selalu menjawabnya bahwa saya hanya beruntung. Mungkin itulah sebabnya sehingga jurnalis Harian Berita Kota Makassar (BKM) menggelari saya “spesialis peruntung”. Saya enggan berbicara mengenai kelebihan saya dari mereka yang tidak lolos waktu itu. Tentu saja jika tetap membicarakannya, publik akan salah memahami dasar pertimbangan tim seleksi sehingga saya lolos. Resikonya, saya bisa dipersepsi sebagai orang hebat, orang luar biasa, orang khusus, dan seterusnya. Dan, yang lebih berbahaya adalah saya bisa salah memahami diriku sendiri: berlebihan, tidak proposional, atau melebihi fakta empiris. Sekali lagi, sangat sederahana jawabannya: saya beruntung.

Sebuah acara pada pertengahan Maret 2008 digelar oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) Sulawesi Selatan di Hotel Clarion. Saya moderator pada acara yang menghadirkan Nurpati (anggota KPU), Dr. Aswanto (Mantan Panwas Sulsel 2004), Fadjroel Rachman, dan Andrinof Caniago itu. Di sela-sela presentasenya, Aswanto memuji Nurpati jika memilih saya menjadi anggota KPU Sulsel karena itu bukan pilihan yang buruk, melainkan pilihan yang tepat. Saya grogi karena tidak menyangka Aswanto akan mengatakan itu di hadapan peserta. Saya berusaha memotong ucapannya itu, tapi gagal. Dengan sedikit munafik, saya menyelipkan sedikit sikap bangga setelah ucapan Aswanto itu. Waktu itu, hadir juga Jayadi Nas sebagai peserta. Saya melihatnya berkidik sambil memalingkan wajah ketika mendengar ucapan Aswanto itu. Saya betul-betul khilaf karena saya terbuai menerima pujian itu. Saya mestinya mencairkan kembali situasi sehingga masukan Aswanto kepada Nurpati tidak terkesan personal dan saya bukan lagi satu-satunya target penerima manfaat dari pujiannya.

Saya meyakini, proses yang saya lewati ketika itu untuk sampai ke peringkat 10 besar adalah adalah proses yang tidak memerlukan keahlian khusus. Atau, bahwa mereka yang lolos adalah hanya orang-orang khusus dari segi kemampuan khusus. Pikiran dan perasaan itulah sebenarnya yang melumuri pikiranku sehingga saya tidak tergerak mengekspresikan kegirangan atau rasa bahagia ketika mendapatkan SMS dari Rachmat Noer, anggota Tim Seleksi. Sekaligus, pikiran dan perasaan itu juga yang melemahkan semangatku untuk mendaftar lagi menjadi calon anggota KPU Kota Makassar 2008-2013 beberapa bulan kemudian. Peruntungan yang akan saya kejar dan raih pada proses itu, tentu saja, tidak mungkin akan kelihatan terang, laiknya sebuah hasil analisis. Peruntungan itu akan tetap gelap dan tidak mungkin diketahui atau diprediksi. Ketika datang, ia bisa putih atau hitam.

Saya tidak mengerti, kenapa beberapa bulan kemudian setelah gagal masuk ke peringkat Lima Besar calon anggota KPU Sulsel 2008-2013, saya melihat prestasi tembus ke 10 Besar dan kans yang kuat untuk masuk Lima Besar adalah sebuah kekuatan dari kompetensi, pengalaman, integritas, dan kapasitas yang saya miliki. Akibatnya, saya mencibir dan bersikap dingin ketika saya mendapatkan saran agar saya mendaftar lagi di KPU Kota Makassar untuk periode berikutnya. Setiap mendapat saran atau masukan tersebut, saya katakan bahwa saya ini terbukti pantas menjadi KPU Sulsel. Bukan lagi KPU kabupaten/kota. Sementara, yang mereka sarankan itu adalah level KPU level kabupaten/kota.

Beberapa sudut pandang bisa membenarkan alasan saya itu. Seperti, salah satunya adalah alasan di atas bahwa saya lolos sampai masuk peringkat 10 Besar dan sekaligus berpeluang besar masuk ke peringkat Lima Besar calon terpilih. Saya sendiri yang membuat pengandaian untuk menguatkan alasan itu. Beberapa peserta yang ikut tes tertulis adalah anggota KPU kabupaten/kota seperti saya dan satu orang adalah anggota KPU Sulsel yang masih menjabat. Mereka gagal masuk ke 20 Besar. Itu berarti, mereka mungkin hanya pantas untuk menjadi anggota KPU kabupaten/kota. Sebagian mereka yang tidak lolos itu, akhirnya terpilih kembali terpilih menjadi anggota KPU kabupaten/kota untuk periode selanjutnya. Mereka tidak menemui kegagalan pada proses rekruitmen di daerahnya masing-masing. Mereka hanya gagal pada seleksi di KPU Propinsi Sulawsesi Selatan, tetapi berhasil di daerahnya masing-masing.

Seleksi tahap selanjutnya menuju peringkat 10 Besar juga menguatkan alasan kepatutan saya agar tidak mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Andaikan saya gagal tembus ke peringkat 10 Besar, saya tentu yakin bahwa saya betul-betul hanya layak menjadi anggota KPU kota/kabupaten, termasuk menjadi anggota KPU Kota Makassar. Kenyataannya, SMS Rachmat Noer mengatakan bahwa saya lolos ke peringkat 10 Besar. Ada anggota KPU Sulsel dan anggota KPU kabupaten/kota gagal masuk ke Peringkat 10 Besar ketika itu. Waktu itu, saya betul-betul merasakan kebanggaan atas prestasi itu. Prestasi itu pula yang kerap mencegah saya untuk berpikir melangkah surut. Saya berpikir bahwa kalau pun nantinya saya tidak masuk ke peringkat Lima Besar calon terpilih, saya tidak boleh mendaftar kembali di KPU Kota Makassar. Setelah itu, saya memang berhasil membuang jauh-jauh pikiran untuk kembali mendaftar kembali di KPU Kota Makassar.

Akhirnya, segalanya menjadi ironis. Saya sendiri meyakini bahwa prestasi itu tidak lebih dari sebuah hadiah undian. Prestasi itu sendiri adalah keberuntungan, bukan hasil dari sebuah perjuangan. Kalau pun saya berjuang, prestasi itu bukan karena perjuanganku. Proses itu hanyalah sebuah hasil undian. Tenri Palallo, empat tahun menjadi anggota KPU Kota Makassar dan delapan bulan menjadi anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan, tidak lolos. Agustina yang pernah menjadi anggota Panwas Pemilu 2004 dan Panwas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2007, juga tidak lolos. Kedua orang itu tidak lolos ketika mereka berkali-kali mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak atas kinerja dan integritasnya dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Mereka tidak beruntung. Mungkin mereka sial.

Bandingkan dengan Lomba Sultan dan Syamsir, atau Jayadi Nas yang telah saya kemukakan pada bagian awal. Sebelum mendaftar, Lomba adalah dosen Syariah IAIN/UIN Alauddin dan sedang menjabat dekan Fakultas Syariah. Hingga beberapa minggu sebelum pendaftaran calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan dibuka, ia belum pernah mengkhayal tentang pemilihan umum atau dirinya menjadi anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Saya juga tidak pernah mendengar ia pernah menjadi peserta atau pemateri pada seminar atau diskusi tentang ikhwal pemilihan umum. Ia juga tidak pernah menjadi penyelenggara pemilu seperti petugas PPK, PPS, KPPS, Panwas dan sebagainya. Lomba betul-betul berangkat dari titik nol. Hal yang sama juga saya temukan pada diri Syamsir, peserta dosen Universitas Muhammadiyah Makassar.

Jayadi Nas adalah cerita yang berbeda. Saya pernah beberapa kali melihat Jayadi berbicara tentang politik dan pemilihan umum karena memang latar belakangnya adalah dosen ilmu pemerintahan dan mengajar di Universitas Hasanuddin Makassar. Ketika baru saja pulang menggondol gelar doktornya dari Univeristas Indonesia Jakarta, ia mendaftar sebagai calon anggota Panwas Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2007. Ketika itu, ia gagal. Menurut HM Darwis, mantan anggota KPU Sulsel 2003-2008, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari Ismarli Muis (psikolog UNM yang menyelenggarakan psikotes untuk rekruitmen panwas ketika itu), faktor utama kegagalan Jayadi Nas ketika itu adalah ditemukannnya kepribadian ganda pada dirinya. Meski demikian, Jayadi Nas lolos pada seleksi calon KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.

Nasib kelima orang ini, dua orang berpengalaman dan berbekal wawasan dan kompetensi kepemiluan tidak lolos, dua lagi yang tidak pernah menghayal tentang pemilihan umum namun lolos, dan satu lagi yang divonis berkepribadian ganda dan juga lolos, telah menggiring saya ke dua pilihan yang cukup dilematis. Apakah saya lolos ke peringkat 10 Besar karena kompetensi dan pengalaman kepemiluan saya atau bukan? Jika betul karena itu, mengapa Tenri dan Agustini tidak lolos? Saya betul-betul bersyukur dengan pertanyaan itu. Saya lolos bukan karena kompetensi. Saya lolos melalui cara seleksi yang paling gampang, yakni like and dislike tim seleksi. Saya menyebut hasil dari cara seleksi seperti ini sebagai keberuntugan. Keberuntungan bukanlah sebuah prestasi. Pada akhirnya, saya kerap meminta agar apa yang saya alami ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa, melainkan hanyalah keberuntungan belaka seperti yang diperoleh Lomba Sultan, Syamsir, dan Jayadi Nas. Seleksi tersebut adalah uji keberuntungan, seperti sebuah perjudian.

Berkat pertimbangan yang terakhir tersebut di atas, saya pernah mengubur niatku untuk mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Jika kemudian saya sukses terpilih kembali, saya tidak ingin karena keberuntungan. Demikian pula, ketika saya gagal, saya tidak ingin gagal karena sial, melainkan karena memang saya tidak patut menjadi anggota KPU Kota Makassar. Entah bisikan dari mana, akhirnya saya berubah orientasi lagi. Saya memutuskan untuk mendaftar lagi. Resikonya adalah harus melewati proses seleksi yang tidak dijamin kejujuran dan profesionalitasnya. Artinya, saya akan menghadapi proses yang sangat berpeluang menghacurkan reputasi saya yang pernah lolos ke 10 besar pada seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Segaligus juga menghacurkan reputasi yang telah saya ukir selama lima tahun lebih menjadi anggota KPU Kota Makassar. Kata teman-teman, saya rela untuk dipermalukan.

Saya pun akhirnya menyetujui permintaan dan pertimbangan beberapa kawan dan pihak agar saya mendaftar lagi di KPU Makassar untuk periode selanjutnya. Saya memulai dengan asumsi dasar bahwa seleksi ini adalah serupa dengan cara-cara seleksi beberapa bulan silam pada seleksi calon anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan 2008-2013. Intinya, lagi-lagi keberuntungan yang menentukan. Saya dan Pahir yang juga mendaftar kembali, punya peluang untuk dijahili alias bisa ketibang sial. Saya tahu waktu itu, saya kembali akan memasuki arena pertarungan yang tidak memberi jaminan kejujuran. Karena itu pula, saya tetap berpeluang juga untuk dipecundangi oleh ketidak-jujuran tim seleksi maupun anggota KPU Propinsi Sulawesi Selatan. Saya yakin dan tahu tentang itu. Tetapi, saya juga harus meneruskan pendaftaran ini karena langkah saya untuk mendaftar bukan ambisi pribadi saya.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim