SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 03 Desember 2008

Maqbul Halim ke KPU Makassar Lagi? (2)

Makassar, 03/12/08

Saya membubuhkan tanda tangan pada setiap jenis formulir yang ada di hadapanku, pada siang 3 Nopember 2008 itu. Hati kecilku ketawa. Ketika saya membubuhkan tanda tangan itu, berarti saya telah mendustai diriku secara sadar dan sempurna. Itu berarti juga saya mendustai orang-orang yang telah mendengar sendiri pengakuanku bahwa saya tidak akan mendaftar lagi di KPU Kota Makassar.

Kelihatannya, saya memang sangat lucu. Tangan saya bergerak lincah menggoreskan tintah di atas setiap tempelan materai Rp 6 ribu yang melekat di atas tulisan namaku pada formulir-formulir pendaftaran itu. Saya bertanda tangan seperti tidak ada masalah sebelumnya. Dari cara bertanda-tangan seperti itu, seakan-akan ini adalah keputusan yang menggembirakan, atau keputusan yang tidak memerlukan perdebatan sebelumnya.

Anca Darmawangsyah (anggota PPK Kec. Rappocini) dan Jus (satu-satunya anggota PPK Kec. Ujung Tanah), duduk di depan meja kerja menunggu kepastian, apakah saya betul-betul sudah bertanda-tangan dengan benar pada formulir pendaftaran. Anca telah menyusun dan melengkapi formulir saya, sehingga siap untuk diserahkan kepada panitia pendaftaran pada hari itu.

Pada sisi lain, saya meyakini suatu hal. Saya mendapatkan nasihat terus menerus sehingga saya kehilangan alasan untuk hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Anwar Wahab, senior saya di Jurusan Komunikasi Unhas, kerap menuding saya terlalu mementingkan diri sehingga merasa tidak penting untuk mendaftar lagi di KPU Kota Makassar. Beberapa kawan dan sahabat saya lainnya juga menudingku bersikap terlalu mementingkan diri, tanpa mempertimbangkan bahwa mejadi anggota KPU Kota Makassar juga sekaligus menjadi kepentingan banyak orang. Saya tidak tahu, apa yang ia maksudkan dengan itu, yakni kepentingan banyak orang!

Itulah yang saya yakini, bahwa meskipun saya ternyata mendaftar menjadi calon anggota KPU Kota Makassar, tetap saja saya memiliki pijakan motivasi. Setiap orang menyarankan gagasan yang berbeda, tetapi maksudnya tetap sama: saya jauh lebih baik bila mendaftar kembali menjadi calon anggota KPU Kota Makassar. Apalagi, kata Suwarno Sudirman, senior dan alumni Pertanian Unhas tahun 80-an, saya tidak mempunyai agenda besar atau agenda lain yang bakal menghalangi niatku mendaftar kembali. Ia pernah menanyakan hal itu secara tidak langsung. Saya menjawab, bahwa saya tentu saja tidak punya agenda khusus sehingga saya beralasan akan lebih baik mencari kegiatan lain selain di KPU Kota Makassar.

Saya juga kadang berpikir, apa yang mereka pikirkan tentang kepentingannya bila saja saya terpilih menjadi anggota KPU Kota Makassar? Mereka yang kusebutkan tadi, tentu berbeda dengan saran-saran yang telah diberikan oleh para staff sekretariat di KPU Kota Makassar. Mereka, seperti Anwar atau Suwarno itu, sebenarnya menuntut saya agar tidak mementingkan diri. Akan tetapi, mereka itu juga tidak sadar bahwa desakan yang terus-menerus dari mereka adalah juga sikap yang mementingkan diri yang tidak memikirkan kepentingan saya. Bisa jadi, mereka berharap saya akan menjadi juniornya yang bisa dibanggakan bila kembali lagi menjadi anggota KPU Kota Makassar. Semoga hanya itu saja kepentingan mereka terhadap pendaftaran saya.

Kawanan staf sekretariat setali tiga uang dengan mereka. Saya telah mengetahui, mereka mungkin telah mengoleksi berbagai pengalaman tentang bagaimana kami berlima bekerja, termasuk Pak Andi Dirga yang bergabung dengan kami di akhir periode. Saya salah satu di antara lima orang tersebut, dan Pahir Halim, yang sangat direkomendasikan untuk mendaftar kembali. Alasan mereka cukup sederhana. Mereka tidak begitu yakin jika semua orang baru, sementara tidak ada komisioner lama yang tinggal. Yusuf Pani sebagai contoh, Kasubag Umum KPU Kota Makassar, mengaku lebih senang bila Pahir Halim dan saya tetap bertahan di KPU Makassar. Ketika saya tanyakan alasannya, Yusuf mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa bekerja secara tim dengan orang baru.

Bagi saya, alasan itu hanyalah kekhawatiran saja. Saya ingat pada lima tahun silam. Saya tiba di KPU Kota Makassar bersama empat anggota komisi lainnya yang juga baru. Kami hadir sebagai orang baru, dan juga mereka yang bekerja sebagai staf sekretariat juga adalah orang baru bagi kami. Akhirnya dalam waktu tidak sampai setahun kemudian, yaitu 2004, mereka dan kami ternyata bisa saling beradaptasi. Kami berlima sebagai anggota memang tidak memerlukan cara khusus karena memang merekalah yang harus aktif beradaptasi.

Pola hubungan anggota terhadap staf sekretariat memang kelihatan partiarkal. Meski demikian, kami berlima pada saat itu berusaha menghindarkan diri agar tidak larut pada pola hubungan itu. Setiap hari saya merasakan adanya sikap yang berlebihan dari mereka sebagai staf yang melayani pekerjaan anggota, dan sekaligus dimana saya dan teman yang lain diperlakukan sebagai atasan yang harus dilayani pekerjaannya. Sampai beberapa waktu kemudian, kami mampu meninggalkan pola itu, dan secara perlahan mereka tidak lagi dibebani dengan sikap sebagai yang harus diperagakan oleh ajudan terhadap bupati atau walikotanya.

Kata, Sabaruddin (sekretaris KPU Kota Makassar), dirinya tidak bisa berbuat banyak kalau saya meninggalkan KPU Kota Makassar. Ia mengatakan seperti itu juga kepada Pahir Halim. Saya percaya saja karena memang dia tidak cukup kompetensi dan kapasitasnya untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin kantor sekretariat. Karena itu, saya justru berpikir sebaliknya ketika Sabaruddin mengajak saya untuk tetap bertahan di KPU Makassar. Saya berpikir bahwa keterbatasannya akan tertutupi dengan kehadiran saya dan Pahir. Mungkin saja Sabaruddin tidak perlu lagi bekerja keras sebagai sekretaris berkat kehadiran kami kembali.

Sampai saat ini, saya sendiri masih ragu tentang harapan Sabaruddin atau Yusuf Pani itu. Saya selalu bertanya pada diriku sendiri, benarkah harapan mereka wajar menjadi motivasi bagi saya untuk mendaftar lagi? Kalau itu masalahnya, tentu ini sangat sederhana. Dan, bisa saja juga menyebabkan keputusan saya untuk mendaftar lagi adalah hal yang sederhana pula.

Sakka Pati, seorang kolega dari Panwas Kota Makassar untuk Pemilukada Kota Makassar 2008, juga pernah memberiku semangat. Ia mengaku bahwa dirinya akan ikut bertarung dalam pencalonan bila ada jaminan bahwa saya memang akan mendaftarkan diri. Ia mengatakan bahwa energinya untuk mempersiapkan diri, ditentukan oleh komitmen saya untuk mendaftar juga. Ia sampaikan itu ketika usai berlangsung Debat Calon Walikota dan Wakili Walikota di Clarion Hotel Makassar, 25 Oktober 2008. Hingga saya berpisah dengannya, saya tidak memberi tanggapan yang memuaskan baginya. Apa yang mestinya menjadi tanggapan saya saat itu, betul-betul tidak ada. Setelah pertemuan itu, saya tak pernah lagi mendapatkan hubungan telepon dari Sakka Pati.

Ria Azharia Harun, istri saya, menyerahkan sepenuhnya pengambilan keputusan kepada saya. Saya berkonsultasi dengannya mengenai rencana mendaftar di KPU Provinsi Sulsel di awal Februari lalu. Ia memberi tanggapan berupa pertanyaan, apakah saya betul-betul punya peluang. Waktu itu saya jawab bahwa inilah peluang saya dan saya betul-betul sudah siap. Ketika itu, saya berpikir bahwa peluang tidak datang dua kali, dan hanya mampir pada orang yang siap dengan kesempatan itu. Ria beranggapan, adalah lebih baik memikirkan yang lain jika memang pendaftaran di KPU Sulsel itu bukan peluang saya. Apa yang dipikirkan Ria waktu itu, betul-betul membuat saya semakin terpacu untuk menembus persaingan itu.

Ternyata kemudian, Ria yang benar: saya gagal. Ia sebenarnya mungkin ingin bercerita tentang itu lagi ketika saya berdiskusi mengenai rencana pendaftaran saya di KPU Makassar. Tetapi, saya mendahului dengan mengakui keunggulan nasihatnya pada saya ketika itu. Ia pun urung mendebat rencana saya. Kami mengakhiri diskusi dengan bersama-sama membangun persiapan saya meninggalkan KPU Kota Makassar begitu bulan berjalan menginjak pertengahan Desember 2008. Ia juga tidak menyesalkan bila memutuskan untuk meninggalkan KPU Kota Makassar. Ia memang tidak senang keputusan yang ia juga dukung ini, karena secara finansial, status keanggotaan saya di KPU Kota Makassar akan sangat membantu melewati hari-hari berikutnya pada rumah tangga kami. Saya bangga, karena Ria memikirkan yang jauh lebih besar dari itu: apalah arti menjadi anggota KPU Kota Makassar kalau hanya memberi kepuasa finansial belaka. Ucapan Ria itulah menguatkan hati dan semangat untuk meninggalkan KPU Kota Makassar. Andaikan bisa selekas mungkin, juga pasti lebih baik.

Saya memang pada akhirnya mendaftarkan diri juga. Motivasi, nasihat, dan gagasan dari kawan-kawan tetap tidak mampu membuatku percaya bahwa itulah sebabnya sehingga saya merasa penting untuk mendaftar kembali menjadi calon anggota KPU Kota Makassar 2009-2014. Saya akan tetap mengingat semua itu, tapi bukan sebagai alasan pembenar bagi keputusanku membubuhkan tanda tangan di formulir pendaftaran. Saya membiarkan pendaftaran saya itu melaju tanpa alasan, tidak jelas berasal dari mana. Saya melupakan apapun dan siapa pun.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim