SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 02 Desember 2008

Kisah Trio Bom Bali dari Majalah SABILI

Assalamu alaikum

Saya share dari mailing list tetangga...
Mungkin berguna untuk melihat kematian dari sebuah perspektif

Wassalam,
Yani


Kejaksaan Agung bakal mengeksekusi trio terpidana bom Bali I akhir Ramadhan nanti. Ketiganya kini tinggal menunggu hari, kala sang maut tiba. Akankah eksekusi mengakhiri segala misteri?

Alhamdulillah, di Sabtu siang yang cerah itu, (30/8), saya berkesempatan menjenguk trio 'pelaku' bom Bali I di Nusakambangan, juga sempat berbicara empat mata dengan tiap orang dari ketiganya. Saya berhasil masuk ke dalam Lapas Klas I Batu Nusakambangan dan bertemu mereka dengan mengaku sebagai sepupu Imam Samudera yang datang dari Jawa Timur. Tentu saja semua ini karena pertolongan Allah jua, dan atas kebaikan hati seseorang yang mau mengizinkan saya ikut dalam rombongannya.

Liputan tentang kunjungan TPM (Tim Pengacara Muslim) dan keluarga 'bomber' itu memang luarbiasa besarnya. Puluhan jurnalis dari berbagai media tumpah ruah di Dermaga Wijayapura, pintu masuk menuju Nusakambangan. Tampak hadir pula, sesosok jurnalis kawakan dari Metro TV yang sering saya temui ketika liputan di beberapa daerah bencana dan konflik, Desi Fitriani.

Entahlah, saya sudah lupa berapa kali bertemu dengan wartawan yang satu ini, mulai di Aceh, Yogyakarta, Jawa Timur hingga Poso. Namun, kami tidak pernah bertegur sapa, karena memang tidak saling kenal. Yang saya heran, ketika para wartawan lain, sibuk mengambil gambar atau wawancara dengan TPM maupun para keluarga ketiga terpidana, si Desi malah kelihatan santai saja. Tidak terlihat kesibukan yang mencolok dari sikapnya sebagai seorang wartawan jagoan. Tentu saja hal ini mengundang tanya di benak saya. Ada apa dengan (mu) Desi?

Ternyata semua ini bermuara pada satu hal, yaitu, liputan ekslusif Metro TV dalam Lapas ketika trio bomber bertemu para keluarga. Kebetulan beberapa kali, gambar saya dengan Amrozi maupun dengan Imam Samudera terekam jelas dalam sorotan ekslusif itu. Ketika Imam Samudera membacakan surat wasiat di depan saya juga terekam jelas, -dan kebetulan memang surat itu dititipkan lewat saya untuk disampaikan kepada kaum muslimin..

Saya salut dengan teman-teman Metro yang berhasil masuk Lapas dan lolos dari pemeriksaan ketat aparat keamanan, baik ketika masih Dermaga Wijayapura maupun ketika masuk ruang Lapas Batu. Sekali lagi salut, dan acungan dua jempol buat mereka. Padahal saya sendiri telah berupaya semaksimal mungkin menyelundupkan kamera atau alat perekam, tetap saja tidak berhasil.

Ternyata itulah jawaban atas 'kesantaian' seorang Desi di Wijayapura, karena memang ia telah punya 'orang' di dalam Lapas. Walau ia menyiarkan Live di dermaga, tetap saja Metro menayangkan "Desi laporan langsung dari Lapas Nusakambangan". Padahal Wijayapura beda dengan Nusakambangan. Keduanya dipisahkan selat kecil yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Letak Lapas sendiri masih jauh dari pintu masuk Nusakambangan, yaitu Dermaga Nusakambangan.

Begitu kapal fery Pengayoman II berlabuh di Dermaga Nusakambangan, kami tidak serta-merta melanjutkan perjalanan ke Lapas, karena masih menunggu keluarga lain yang belum terangkut. Maklum, kapal kecil itu tak mampu memuat semua penjenguk yang berkendara dalam sembilan mobil. Waktu menunggu ini digunakan istirahat oleh anggota TPM maupun keluarga yang telah menyeberang. Ada yang merekam area dermaga dengan handycam, ada juga anggota keluarga yang berfoto di sekitar pulau penjara yang konon paling seram se-Indonesia itu.

Di kawasan dermaga kecil ini memang masih diizinkan membawa dan menggunakan kamera atau handycam. Hanya terdapat sebuah pos pemeriksaan kecil di bibir dermaga dan beberapa warung penjual aneka makanan dan minuman yang terletak beberapa meter di belakangnya. Sebuah tugu 'proklamasi' setinggi kurang-lebih sepuluh meter bertuliskan Nusakambangan tegak menjulang di depan pebukitan yang mengitari pulau. Tugu ini menjadi tempat pavorit para pembezuk untuk melakukan foto bersama atau merekam diri lewat handycam.

Tak sampai dua puluh menit, rombongan kedua yang dijemput kembali oleh Pengayoman II pun tiba. Tanpa perlu menunggu lama, ketika semua rombongan telah lengkap, iring-iringan mobil lantas berarak menuju Lapas yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Dermaga Nusakambangan. Laju kendaraan dengan kecepatan sedang membelah aspal mulus Nusakambangan di siang menjelang Zuhur itu. Baru beberapa putaran roda mobil berjalan, rombongan dicegat dua polisi yang berjaga di sebuah pos kecil di pinggir jalan. Mereka meminta salah seorang perwakilan pembezuk turun dan meminta daftar nama seluruh anggota rombongan. Hati saya sempat deg-degan, walau berhasil lolos pemeriksaan di pintu Wijayapura, saya agak ragu dapat lolos dalam pemeriksaan polisi kali ini.

Tak mau berpusing-pusing, Koordinator TPM Achmad Michdan segera turun mobil dan melakukan negosiasi dengan petugas tersebut. Namun, mereka tetap ngotot meminta daftar rombongan. Michdan pun memanggil salah seorang anak buahnya yang memang membawa daftar itu dan menyerahkannya. Setelah melihat-lihat ke dalam tiap mobil, Pak Polisi itu pun mengizinkan kami melanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, kali ini lolos lagi.

Gerbang Wijayapura merupakan tempat masuk yang cukup ketat. Selain memeriksa daftar nama para pembezuk, petugas Lapas juga menatap tajam ke setiap anggota rombongan. Kebetulan nama saya yang tercetak dalam daftar itu memang bukan dalam cetakan resmi yang disetujui Kejagung, namun berupa coretan biasa saja. Saya menggantikan salah seorang keluarga Imam Samudera yang tak turut serta karena sakit. Jadi, namanya dicoret diganti nama saya.

Begitu tiba di depan bangunan Lapas Batu, beberapa petugas menyambut rombongan. Sebuah papan berwarna putih bertuliskan "Departemen Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Jawa Tengah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan No. Telp/Fax (0282) 542XXX" yang berdiri kokoh di sebelah kiri pintu masuk, seolah-olah turut serta menyambut pengunjung. Tampak pula beberapa orang yang mirip intel berada di lokasi. Bahkan salah seorang bertampang intel itu dengan leluasa merekam segala gerak-gerik pembezuk yang baru turun dari kendaraan maupun ketika berada dalam ruang depan Lapas. Rekaman orang inilah yang sebagian muncul dalam liputan langsung dan ekslusif Desi Fitriani dari Lapas Batu.

Ketika saya menanyakan salah seorang anggota TPM, siapa orang yang merekam dengan kamera mirip wartawan itu? Ia menjawab, orang itu adalah intel Densus 88. Darimana ia tahu? Jawabnya, sudah berulangkali dia menemui yang bersangkutan setiap datang ke Lapas Batu. Dan kebetulan, kata anggota TPM ini, komandan yang bersangkutan kenal juga dengan Achmad Michdan. Oh, jadi begitu ceritanya. Michdan juga tak menampik status orang itu. "Yang penting, ia tidak boleh merekam pertemuan dengan Amrozi nanti," ujarnya. Namun, tetap saja rekaman pertemuan keluarga itu lolos dan disiarkan Metro TV. Makanya, saya salut atas keberhasilan mereka menembus rintangan yang demikian ketat, hanya demi sebuah gambar bergerak.

Begitu masuk ke dalam bangunan Lapas, petugas melakukan absensi. Setiap orang yang dipanggil harus menghadap untuk dilakukan pemeriksaan. Kali ini rasa deg-degan kembali menggeranyangi. Saya hanya berdoa berulang-ulang, "Ya Allah mudahkanlah. Jangan Kau persulit." Setelah turun anak tangga dan melewati pintu jeruji besi, si petugas dengan seksama menatap raut wajah saya, mencocokkan dengan daftar nama yang dibawanya. Setelah yakin bahwa nama saya tercantum -walau hanya berupa coretan-, saya diizinkan masuk.. Begitu lega rasanya di dada. Namun ternyata, pemeriksaan itu bukanlah yang terakhir. Setelah memasuki sebuah pintu besi yang merupakan pintu utama ruang Lapas, pemeriksaan kembali terjadi.

Di sini, semua yang berbau metal, alat komunikasi, kamera, maupun handycam harus dititipkan. Setelah menyerahkan semua itu ke petugas, setiap orang diperiksa kembali dengan metal detector, dan pemeriksaan badan. Setelah lolos scanning, barulah yang bersangkutan diizinkan masuk. Alhamdulillah, pemeriksaan terakhir ini juga saya lolos. Saya pun dapat bergabung dengan para pembezuk lain yang sebagian telah menunggu di ruangan berukuran sekitar 5 x 7 meter. Sebagian ruangan ini ditutupi tembok kaca yang tembus pandang. Dua buah tiang penyangga berdiri kokoh di tengah-tengah. Sebuah kipas angin putar ukuran sedang bertengger pada tiang kedua dari pintu masuk. Di ruangan inilah para pembezuk menunggu dengan sabar kedatangan keluarga tercinta mereka, yang sebentar lagi dijemput ajal.

Suhu udara di terik hari itu terasa kian panas dalam ruang yang disesaki enam puluhan orang lebih. Kipas angin yang terus berputar pelan tak mampu meredam sumuk yang dirasakan pembezuk. Dari dinding kaca tembus pandang yang terletak di sebelah kiri, tampak lapangan sepak bola berukuran mini. Di belakang dan samping lapangan terdapat bangunan yang mirip rumah-rumah petak yang dikontrakkan pemiliknya. Konon cerita, di dalam kamar-kamar petak itulah para terpidana menikmati sisa hidupnya, dalam kesendirian dan keterasingan. Wuih....puitis amat.

Suasana siang itu tampak sepi. Tak seorang pun Napi yang terlihat lewat atau berjalan. Penasaran rasanya ingin melihat seperti apakah manusia-manusia 'buas' yang dikurung di kawasan penjara yang telah ada sejak zaman Belanda ini? Hampir sepuluh menit menatap kehampaan, akhirnya lewat dua orang Napi. Sayang, gambaran kedua orang itu tak seperti bayangan saya tentang Napi Nusakambangan; besar, berotot, brewokan dan sangar. Salah satu orang itu kurus tinggi -mirip gambaran Habe Arifin, sory lho Cak, gak nuduh sampeyan Napi, he...he- dengan kumis tipis di bibirnya. Satunya lagi, pendek, kecil dan terlihat culun –sama seperti saya mungkin, yang kecil dan pendek. Sempat ragu juga, apakah benar mereka Napi kelas berat hingga harus di-Nusakambangan- kan. Namun tak jadi soal, toh mereka tetap saja Napi, peduli amat dengan postur dan bentuk tubuh. Sayang, sekian lama menanti dan penasaran melihat Napi Nusakambangan, yang nongol dua orang itu. Sementara, yang
'tiga serangkai' belum juga muncul.

Saya bergabung dengan pembezuk lain, duduk dan ngobrol ngalor-ngidur, ngabuburit waktu menunggu. Kurang lebih dua puluh menit menit kemudian, 'tiga bintang' itu pun hadir. Ali Ghufron alias Mukhlas menjadi orang pertama yang masuk ruang bezuk, disusul Amrozi dan Imam Samudera. Para pengunjung pun serentak berdiri, menyalami dan memeluk mereka satu persatu secara bergantian. Giliran salaman dengan saya, Mukhlas sempat kaget, maklum wajah baru dalam rombongan. Saya bilang, saya Chairul dari Sabili. Ia nampak kaget, namun saya katakan sambil berbisik bagaimana saya masuk dan untuk apa saya datang berkunjung. Ia pun tersenyum penuh arti, "Nanti kita ngobrol banyak." Ekspresi yang sama juga muncul pada Amrozi dan Imam Samudera ketika kami bersalaman. Tak lupa pula, kata-kata yang sama saya ucapkan pada mereka, dan mendapat sambutan yang sama pula. Wah, benar-benar pertemuan yang mengesankan.

Setelah bersalaman dengan seluruh anggota rombongan yang berjumlah sekitar 64 orang, ketiganya kemudian asyik-masyuk dengan keluarga masing-masing. Amrozi bercengkrama dengan ibunya (Tariyem), kedua istrinya; Khoiriyana dan Ria Rahmawati serta anak-anaknya. Imam Samudera juga demikian, ia bermesraan dengan anggota keluarganya, ibunya Embay Badriah, istrinya Zakiah Darajad, adiknya Lulu Jamaludin serta keempat anaknya. Mukhlas hanya bersalaman dan sungkem sebentar dengan Tariyem lalu berbaur dengan pengunjung lain. Maklum, bininya lagi di Negeri Jiran, Malaysia.

Setelah itu Mukhlas menghampiri saya dan beberapa saudaranya yang lain. Ia pun bercerita tentang kehidupannya di penjara. Tentang mimpi-mimpinya, tentang kesiapannya menghadapi eksekusi kapan saja itu terjadi, karena itu baginya adalah takdir Allah SWT. Di sela-sela waktu berbincang itu, saya mencuri waktu Mukhlas sebentar, mengajukan sebuah pertanyaan yang selama ini mengganjal di hati, benarkah ia dan kawan-kawannya yang melakukan pengeboman di Kuta Bali? Mukhlas menjawab benar, namun efeknya tidak pernah mereka bayangkan bisa sedahsyat itu.

Pengeboman itu mereka lakukan sebagai bentuk pembalasan atas tindakan negara-negara thagut macam AS dan sekutu-sekutunya terhadap kaum muslimin di Afghanistan dan negeri-negeri Muslim lainnya. Aksi itu adalah bentuk jihad dan pembelaan mereka terhadap Muslim lainnya yang teraniaya. Pertanyaan yang sama saya ajukan pada Amrozi dan Imam Samudera, dan mereka menjawab dengan jawaban yang sama. Efek ledakan bom -yang berupa bahan-bahan mercon- itu tidak pernah mereka bayangkan akan memakan korban jiwa dan bangunan sebanyak dan separah itu. Mereka memang sempat 'bersyukur' atas keberhasilan bom yang sangat dahsyat tersebut. Tak heran jika mereka mengaku karena memang benar demikian. Dan mereka pun siap menerima segala konsekuensi hukum atas tindak pidana itu.

Bertahun-tahun lamanya ketiga sekawan ini 'mensyukuri' hasil bom yang mereka racik, dan menganggapnya sebuah 'keberhasilan' yang gemilang. Hingga datang suatu masa, ketika keyakinan itu mulai goyah. Masukan dari beberapa pakar dan ahli bom, yang disampaikan melalui TPM, maupun dari sumber lain, mengusik keyakinan mereka yang terpendam lama. Bahwa, bom yang mereka gunakan itu tidak akan mampu meledakkan Legian sedemikian parahnya, hanya dari bahan-bahan kimia yang sebagian besarnya adalah bahan baku petasan.

Oleh karena itu, TPM selaku kuasa hukum mereka telah berulangkali melakukan upaya agar pemerintah mau melakukan rekonstruksi dengan racikan bom yang mereka gunakan, namun tidak pernah mendapat tanggapan. Hal ini untuk membandingkan, benarkah bom yang mereka buat itu, ataukah ada bom lain yang juga turut meledak? Sayang, upaya rekonstruksi ini ibarat menggantang asap. Karena pemerintah tidak mau boroknya ketahuan.

Jauh sebelum peledakan terjadi rencana mereka memang telah bocor duluan. Bocornya dari orang dekat sendiri, yaitu Natsir Abbas, yang katanya mantan tokoh JI (Jemaah Islamiyah) dan juga kakak ipar Mukhlas. Si Natsir ini adalah intel yang memang disusupkan untuk mengawasi gerak-gerik dan rencana ketiga serangkai dan rekan-rekan mereka yang lain. Bahkan Natsir pula yang membentuk mantiqi-mantiqi JI yang tersebar di beberapa wilayah di tanah air. Hingga kini, hubungan Mukhlas dan Natsir masih memburuk, walau adik Natsir adalah istri Mukhlas. Ledakan bom di Bali juga turut meledakkan hubungan kekeluargaan kedua orang yang berbeda suku dan kewarganegaraan itu.

Sadar bahwa dampak ledakan ternyata bukan karena hasil murni mereka, ketiga sekawan itu pun sempat 'dongkol'. Merasa dikibulin gitu. Secara konyol pula, dan oleh orang dekat pula. Namun, vonis memang telah jatuh, dan mereka kadung telah dicap sebagai pelaku. Dan memang iya, walau juga ditunggangi pihak lain. TPM pun terus berupaya meminta pemerintah melakukan rekonstruksi walau tak mendapat tanggapan. Sedangkan hari-hari eksekusi kian dekat menjelang. Karena putusan peradilan telah dinyatakan inkracht (berkekuatan hukum tetap) dan sulit berpaling dari eksekusi, maka ketiganya mengaku siap. Namun, TPM meminta eksekusi dilakukan berdasarkan syariat Islam, yakni dengan cara dipenggal atau dipancung. Sesuai dengan hukum syariah, yang diyakini ketiga terpidana. Walau ketiganya sendiri tidak pernah meminta secara eksplisit untuk dieksekusi dengan cara pancung atau gantung.

Hal ini ditegaskan ketika saya bertemu mereka. Mukhlas berkata, "Saya tidak pernah meminta dieksekusi dengan cara apapun. Kalau memang itu terjadi, itu merupakan takdir Allah SWT. Kami yakin akan mati syahid. Kami tidak pernah meminta disuntik mati, dipancung atau dipenggal, karena kami memang tidak mengakui hukum thagut yang berlaku. Kalau kami bersalah secara syar'i, maka akan berlaku hukum qishash..."

Qishash yang dimaksud Mukhlas adalah, kalau memang ia terbukti bersalah secara peradilan Islam (syariah) maka ia mestinya dibunuh juga. Nah, dalam Islam qishash ini dipahami dengan cara pancung atau penggal. Inilah yang memunculkan wacana, bahwa mereka meminta dihukum secara qishash -pancung atau penggal-, bukan dengan cara ditembak mati. Masalahnya adalah, negara kita memang bukan negara Islam dan tidak ada pemberlakuan hukum qishash. Oleh karena itu, TPM setelah berdiskusi dengan ketiganya juga dengan para dokter ahli, menyimpulkan bahwa hukum pancung lebih minimal sakitnya ketika meregang nyawa ketimbang ditembak. TPM pun mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No.2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Proses ini termasuk bagian dari upaya hukum, oleh sebab itulah kenapa eksekusi selalu ditunda. MK sendiri belum memutuskan apakah menolak atau menerima judicial review ini karena masih dalam proses
persidangan. Namun, rupanya Kejaksaan Agung telah keukeuh menetapkan eksekusi usai lebaran.

Hampir senada dengan Mukhlas, Amrozi juga mengaku tidak pernah meminta dieksekusi. "Orang-orang luar saja yang sibuk ngurusin eksekusi kami. Padahal kami di sini tenang-tenang saja. Media-media banyak yang memutarbalikkan fakta (mlintir) tentang kami. Kami tidak pernah ngomong tentang sesuatu, di luar ada beritanya. Kami diisukan sudah diisolasi karena akan dieksekusi, padahal sejak pindah dari penjara di Bali, sel kami di sini ya di situ itu. Tidak pernah pindah kemana-mana. Memang sel itu beda dengan sel Napi biasa karena terpisah. Tapi bukan merupakan tempat isolasi khusus menjelang eksekusi," tuturnya.

Amrozi merupakan sosok yang paling disegani di kalangan Napi maupun petugas sipir di sana. Ia juga disebut-sebut galak dan suka memukul orang kalau yang bersangkutan berbuat kemungkaran. Suatu ketika mantan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awwaluddin datang ke Lapas Batu dan bertemu ketiga tersangka. Oleh Amrozi, Hamid dipegang kepalanya dan didoakan, "Kamu akan dicopot, karena kamu berlaku zalim terhadap sesama Muslim!" Karuan saja Hamid kaget dengan tindakan Amrozi itu, namun ia diam saja. Para petugas yang mengawal juga hanya terdiam. Tak berapa lama, doa Amrozi terkabul. Hamid dicopot SBY dan digantikan Andi Mattalata. Hingga kini, kabarnya si Andi tidak berani menemui Amrozi. "Takut disumpahin Amrozi," ujar salah seorang sipir Lapas Batu, mengutip kata-kata Andi Mattalata.

Petugas keamanan Lapas juga tampak begitu hormat kepada Amrozi. Bahkan kepala keamanan Lapas Batu, EW, tampak takzim mendengarkannya tausiyah. Di depan saya, dengan entengnya Amrozi menepuk-nepuk pundak EW dan menasihatinya, "Mau Ramadhan, perbanyak shalatmu, ibadah ditingkatkan lagi!"

Ajaibnya, si EW manggut-manggut dan berujar, "Iya Ustadz, iya Ustadz, terima kasih atas nasehatnya." Kepada saya dan yang lain EW berkata, "Tausiyah beliau selalu saya dengarkan dan lakukan." Kami semua pun manggut-manggut saja.

Suatu ketika pada persidangan kedua kasus bom Bali I, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, I Made Karna SH, pernah 'disemprit' Amrozi. Ketika maju ke meja hakim untuk menandatangani berkas perkara, Amrozi berkata kepada Made Karna, "Liat nanti, kamu yang mati duluan ketimbang saya!"

Akhirnya, si hakim yang memvonis mati Amrozi dkk, memang mati terlebih dahulu ketimbang yang divonis. Ia meninggal dunia hari Minggu pukul 19:00 tanggal 28 Oktober 2007 di Denpasar, Bali. "Kematian hakim itu (Made Karna) adalah takdir Allah SWT, bukan karena kesaktian saya," kata Amrozi sambil memamerkan senyum khasnya.

Begitu pula dengan Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjebloskan Amrozi cs ke penjara. Amrozi pernah mendoakan Urip ketika disidang dulu, "Kamu juga akan masuk penjara dan dihinakan." Dan ternyata si Urip akhirnya masuk penjara juga, karena kasus suap-menyuap.

Kata-kata Amrozi yang 'manjur' inilah yang juga membuat sebagian petugas dan sipir Lapas Batu segan dan hormat. Padahal pria dua istri itu bergaul biasa-biasa saja dengan mereka.. Dengar-dengar –tapi ini belum bisa diverifikasi- , hal ini juga yang mempengaruhi rencana eksekusi sehingga terus-menerus ditunda dan ditunda. Para pejabat terkait takut kualat.

Bertemu dengan Amrozi akan membawa kita dalam suasana yang selalu santai, gayeng, gaul, akrab dan menyenangkan. Seperti bertemu dan ngobrol dengan FG gitu, tapi saya tidak menganggap FG itu teroris lho... Sory yo, Mas Farid...he.. .he! Ia termasuk pria murah senyum dan humoris, beda dengan kakaknya Mukhlas yang selalu serius dan Imam Samudera yang lebih serius dan 'galak'.

Pertemuan dengan Imam Samudera lebih mengesankan lagi. Dengan sorot matanya yang tajam, seolah-olah menembus jantung orang di yang dilihatnya, mantan mujahidin Afghanistan ini banyak berbicara tentang jihad. "Akhi (saudaraku) jika ana (saya) jadi antum (engkau), maka ana sudah tidak berada di sini (Indonesia) lagi. Ana akan pergi ke Afghan, Irak, Kashmir, Moro, Pattani, Chechnya, Sudan dan bumi jihad lainnya. Antum masih muda ya akhi, masih banyak jalan menggapai jihad dan syahid," katanya dengan suara tegas, bergetar sambil menepuk-nepuk paha kanan saya. Ia terus saja bertausiyah tentang keutamaan jihad, apalagi menjelang bulan Ramadhan. "Syahid adalah cita-cita tertinggi setiap mukmin sejati, dan itu hanya dapat dicapai dengan jihad di medan perang," tegasnya.

Jujur saja, kata-kata Imam ini begitu terasa di hati. Membekas dan menjelma menjadi kekuatan yang memberontak untuk segera mendapatkan pelampiasan. Semangat jihad saya sontak muncul dan seolah-olah diri telah siap berperang di medan laga. Imam sangat ahli dalam memberikan tausiyah (baca: doktrin) terhadap orang lain. Kepiawaiannya merangkai kata disertai mimik, gesture dan sorot mata yang tajam, seolah mampu membuat lawan bicaranya bertekuk lutut.

Sebagaimana Mukhlas, Imam juga menyinggung pemberitaan media tentang eksekusi yang mereka minta hendaknya dilakukan dengan cara pancung atau gantung. "Ana dan ikhwan-ikhwan (saudara) tidak pernah berkata, ngomong, bicara atau meminta kami dipancung atau disuntik mati. Bagaimana kami mau menuruti hukum yang bukan hukum Allah?"

Munculnya wacana pancung-memancung ini, kata Imam, adalah ketika seseorang menanyakan pada dirinya bagaimana Islam mengatur tentang vonis hukum pidana. Maka ia menjawab, yang paling shahih adalah dengan hukum gantung atau pancung. "Itulah yang dijadikan dasar oleh mereka bahwa kami meminta dipancung atau digantung. Kami tidak pernah meminta eksekusi. Walau demikian kami juga tidak takut mati. Kami siap dieksekusi kapan saja dan dimana saja," tandasnya.

Imam kemudian membacakan sebuah surat yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk dimuat di Sabili. Di sela-sela pembacaan surat itu, seorang petugas sipir mengumumkan bahwa waktu berkunjung telah usai. Para pengunjung hendaknya bersiap-siap kembali ke rumah masing-masing, dan para terpidana tentu saja harus kembali ke sel masing-masing.

Begitu bersalaman terakhir kali dengan Imam Samudera, ia menanyakan alamat email saya. Katanya, dia mau mengirim email. Tentu saja saya kaget, bagaimana ia bisa mengirim email lewat jeruji besi angker seperti Nusakambangan ini? Ia hanya tersenyum, "Allah pasti akan memberikan jalan jika kita bersungguh-sungguh menjalin silaturrahim, apalagi demi kebaikan," ujarnya.
"Insya Allah, ana tunggu email antum," kata saya lalu beranjak keluar ruangan. Mengikuti para pembezuk yang keluar teratur menuju dunia bebas, dunia tanpa jeruji besi.

Dalam mobil yang berjalan menuju Dermaga Nusakambangan, Michdan berujar, "Jadi begini saja Rul, nanti kita katakan pada teman-temanmu di luar sana, bahwa bagaimanapun dan dengan cara apapun eksekusi itu adalah sebuah kezaliman."
Saya hanya mengangguk dan menjawab lirih, "Iya, Pak."

Hampir tiga jam di Pulau Nusakambangan itu, telah membuka banyak tabir yang selama ini tersaput misteri. Setidaknya untuk saya pribadi.

[Non-text portions of this message have been removed]

From: Chairul Akhmad (chairulakhmad@yahoo.com)

2 komentar:

insidewinme mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

jual mesin las mengatakan...

nice info, thanks

follow me @maqbulhalim