SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 28 Januari 2008

Handuk Ayah

Kemarin, 27 Januari 2008, saya di Bandara International Hasanuddin, di salah satu restoran fastfood. Saya didampingi Sabaruddin, staf saya di KPU Kota Makssar. Waktu di telepon selulerku sudah menunjuk pukul 14.20 wita ketika inbox menunjuk adanya pesan baru yang masuk. Saya tidak sempat membacanya karena sedang mencicipi hindangan makan siangku di salah satu restoran kawasan Bandara Hasanuddin, Makassar. Saya memang sangat lapar karena telat makan, tetapi saya sungguh penasaran dari siapa gerangan pesan baru ini. Beberapa saat kemudian, lagi-lagi pesan baru masuk kembali ke inbox telepon selulerku.


Saya akhirnya tidak sempat menuntaskan santap siangku. Dengan tangan yang belepotan, saya meraih telepon selulerku dan membuka inbox-nya. Beberapa pesan baru memang baru saja masuk. Saya buka pesan pertama dan mengejutkanku luar biasa. Salah satu pesan itu adalah dari adikku sendiri, Nurul Ulumi, “Alhamdulillah, Soeharto sudah meninggal pukul 13.15 wib di RSU Pusat Pertamina.”

Saya pun melanjutkan santap siangku, agak terburu-buru memang. Sembari menyelesaikan santap siang, saya kabarkan kepada Sabar, sapaan akrab Pak Sabaruddin, bahwa HM Soeharto telah meninggal. Sabar, sapaan akrab Sabaruddin, pun terperanjat kaget. Di sekeliling kami, pengguna jasa bandara tengah berjubel antri menunggu giliran di depan front desk restoran fastfood. Tetamu mungkin belum tahu kalau Soeharto telah mati, mereka umumnya tidak mempercakapkan itu.

Usai makan siang, saya langsung masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Saya keluarkan kembali telepon selulerku dan mengetik satu pesan mengenai matinya Soeharto dan kemudian saya kirimkan ke kawan-kawan dan kolega saya. Sebagian besar mereka yang kukirimkan itu adalah kawan seperjuangan saya pada masa perjuangan reformasi, Mei 1998. Bunyi pesan singkat (SMS) itu adalah sebagai berikut:

“H.M. Soeharto tewas di RSU Pertamina. Bangkainya masih di sana.”

Demi keamanan bersama, pramugari mengajurkan kepada penumpang pesawat Lion Air yang akan menerbangkan kami ke Surabaya agar me-non-aktifkan HP. Saya perkirakan, sudah ada sekitar 20-an SMS masuk ke inbox telepon selulerku sebelum saya off-kan (status idle). Selama sejam waktu perjalan dari Makassar ke Surabaya di kabin, saya membaca sms-sms itu. Bahkan saya sempat beberapa kali tertawa sendiri membaca sms respon terhadap smsku yang sebelumnya dari kawan-kawan.

Begitu tiba di Kota Pahlawan, Surabaya, setelah sejam mengambang di udara, saya langsung hidupkan telepon selulerku. Nada sms telepon selulerku bertalu-talu memberi tahu. Kurang lebih 30-an sms masuk dan hampir semua adalah respon atas smsku sebelumnya. Hingga saya sudah di Bus Pariwisata yang mengantar saya dari bandara Juanda ke kota Surabaya, SMS masih terus mengalir masuk di telepon selulerku.

Saya mendapatkan tanggapan bermacam-macam dari beberapa teman atas isi pesan singkat itu. Dari Amir Madjid, pengurus PDIP, “Koq bangkai,” dari Asri (teman pada Mei 1998), “Soeharto itu juga manusia biasa seperti kawanku Makbul. Saya tidak tega suatu ketika harus mengambil bangkai temankuu di rumah sakit.”; dari Thamzil Tahir, “Saya sangat memahami kata2 yang ada gunakan. Saya memahami, sangat, sangat.”; dari Asmawati (teman kosan waktu kuliah), “Koq begitu bos. Kasihan pak Harto.”; dari Yasser Latif (Ketua KPU Parepare), “Thanks. Selamat menyumpahi HM Soeharto, bapak pembangunan itu telah wafat dengan tenang.....”; dari Selle (teman di Ornop), “He3..., ada saat2 tertentu sesama hamba Allah penting bertegur sapa dg kalimat yg saling memanusiax dan memuliax, roh manusia hakekatx satu!”; Ahmad Yani (junior saya di Unhas sekarang dosen di sana), “Akhirnya, tewas juga dia.”; Andi Irwansyah (senior saya di Unhas), “Tanya ki pak ones, dpt sppd kalau kita mau besuk bangkai soeharto?”; Sandy (teman di Elsim), “Bangkainya masih utuh nggak ya..?”; Iwan Taruna (wartawan SCTV), “Hehehe kejamnya.”; Irfan AB (Aktivis BM PAN), “Hehehe..Kt maafkanlh dia.”; Akbar Endra (Aktivis Pro Reformasi 98), “Mari bacakan Al Fatihah, agar arwahnya diterima disisi Allah dan dosa2nya diampuni. Allah maha pemaaf & pengampun. Allah menyukai orang yg mau memberi maaf kpd sesamnya.”; Wahyu (wartawan), “Tega skali kodong bos ini sms ttg suharto,......”; dan masih banyak lagi.

Saya terus mengirim SMS. Dan juga, SMS dari teman-teman terus mengalir masuk di inbox telepon selulerku. Naskah SMS-ku selanjutnya berubah setelah keramaian berpaling dari RSU Pusat Pertamina ke Jln. Cendana. Bunyi naskah SMSku, “H.M. Soeharto telah tewas di RSU Pusat Pertamina. Bangkainya sudah diamankan di Jln. Cendana. Besok baru ditanam.”

Saya memang dikecam banyak teman-teman karena SMS itu. Saya sendiri mengakui, tidak mampu memilih kata-kata yang lain. Hanya kata itu yang kumiliki, yang berasal dari masa silam. Sebuah kata, yang sebenarnya adalah jeritan, yang tersusun dari derita orang-orang yang tidak beruntung selama Orde Baru. Ia memang bisa disebut negarawan yang baik. Tapi ia juga disebut-sebut sebagai bapak bangsa yang bengis, biadab, dan agak psikopat.

Sepekan silam, Asri pernah mengirim pesan agar H.M. Soeharto dimaafkan. Saya jawab bahwa dia tidak bisa dimaafkan karena ia tidak bersalah. Bagi saya, soal bersalah atau tidaknya seseorang, itu adalah kewenangan hakim peradilan. Sementara Soeharto sendiri tidak berhasil diadili dengan tuntas, ia hanya sempat dituntut di muka hakim tanpa kehadirannya. Saya meyakinkan Asri bahwa Republik Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Silaturrahmi atau Negara Halalbihalal.

KIRA-kira tahun 1987, saya pernah mengkritik handuk ayahku, H. Abdul Halim. Handuknya sudah lusuh, dan sebagian besar bulir-bulir kainnya sudah rontok. Tinggallah handuk itu menyerupai kain biasa. Sudah tidak layak disebut handuk, dan lagi pula sudah tembus pandang. Pertama kali ia menggunakan handuk itu kira-kira tiga tahun silam. Seingatku, handuk itu juga sudah dikukus berkali-kali. Beberapa dekil permanen tampak pada tepian kain, dekil yang sudah tidak mungkin terangkat dengan sabun atau mesin cuci apa pun. Handuk itu lebih mirip kesek (lap kaki).

Saya bertanya, “Kenapa handuk itu tidak diganti?” Ia menjawab, “Saya akan ganti handuk ini setelah Soeharto diganti sebagai presiden.” Waktu itu, terus terang saya menjadi dongkol mendengar jawaban itu. Masa depan jabatan Soeharto dipertaruhkan dengan handuknya yang sudah hancur. Handuk dan kekuasaan Soeharto tentu dua hal yang tidak hanya berbeda, tetapi juga berada di ruang dan sifat yang berlainan. Bahkan mungkin, keduanya tidak akan pernah terkait dalam situasi apa pun dan kapan pun itu.

Saya mengakui, taruhan itu menjadi inspirasi bagiku dan ikut membentuk karakterku di masa mendatang, terutama karakter dalam memandang kekuasaan Soeharto. Ayahku bisa saja membeli handuk yang sederhana, sekalipun kondisi finansial keluarga kami jauh dari cukup. Namun, saya justru menemukan prinsip yang kuat, terutama pada usia dan kemampuan handuk itu untuk digunakan. Saya juga menemukan bagaimana mengetahui sosok Soeharto dari taruhan itu: dari handuk yang lusuh dan dekilan itu.

Mulai ketika itu, saya berpikir lain mengenai Soeharto dan kekuasaan yang ada di tangannya. Saya belum mengetahui dengan persis siapa itu Soeharto selain dari buku-buku yang disodorkan oleh sekolahku, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), dan berbagai buku referensi lainnya. Meski demikian, saya tetap yakin bahwa Soeharto berasal dari sesuatu yang tidak betul. Saya betul-betul meyakini hal itu. Kalau pun ia orang yang baik, mestinya tidak sebaik yang dikira sebagian besar orang. Sangat betul-betul ingat handuk ayahku itu.

Tahun 1984, seorang tante saya yang bermukim di Jakarta bercerita tentang pembantaian manusia yang dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok. Belakangan saya ketahui bahwa Soeharto tidak bisa dibebaskan begitu saja perannya dari persitiwa itu. Dari semua cerita itu, tak sedikit pun disebut-sebut nama-nama Soeharto. Saya justru banyak mengetahui Soeharto dari Laporan Khusus TVRI setelah rubrik Dunia Dalam Berita yang ditayang setiap pukul 21.00 wib itu. Saya selalu mendapati Soeharto, misalnya, dalam acara Kelompencapirnya Departemen Penerangan setiap Soeharto berkunjung ke desa-desa (daerah).

Suatu ketika di masa SMP, saya bersedih karena semua kisah-kisah di atas ternyata tidak mampu mengimbangi citra buruk Soeharto dalam pikiranku. Saya selalu ingat handuk ayahku. Saya selalu ingat tanaman palawija petani yang baru berusia sebulan, dicabut tanpa ampun atas perintah camat, lalu kemudian batangan pohon palawija itu dibakar. Saya betul-betul mengerti pada saat itu, bahwa semua dalam rangka program Padi Inpres yang dicetus Soeharto. Saya juga tidak bisa melupakan tetanggaku yang harus menderita selama sisa hidupnya enam tahun karena alat kontrasepsi yang salah. Ya, rangkaian program Keluarga Berencana (KB) cetusan Soeharto yang digerakkan di bawah pengawalan binatang-binatang Koramil yang ada di tiap desa/kelurahan.

Saya juga ingat sewaktu SD tahun 1982, ketika PPP berkampanye di area lapangan pusat Kecamatan Belawa, kampung kelahiranku, semua murid sekolah harus berkemah di tempat yang jauh dari wilayah kecamatan, lima kilometer dari lapangan. Lokasi perkemahan kami dijaga ketat oleh kawanan tentara dan polisi. Dua hari setelah itu, semua murid sekolah diwajibkan datang ke lapangan kecamatan ketika Golkar berkampanye. Dalam kampanye Golkar, diputar film Janur Kuning, film buatan Orde Baru yang mengisahkah kehebatan Soeharto dalam “Serangan Umum 1 Maret” ke Kota Yogyakarta. Saya ingat, para pemilik lahan di Kab. Wajo Sulawesi Selatan dicap melawan pemerintah oleh koramil setempat hanya karena menuntut ganti rugi atas lahan peternakan sapi keluarga Soeharto di daerah itu.

Di hotel Weta, tempat kami menginap selama dua malam di Surabaya, saya bercakap dengan seorang tamu hotel lainnya di ruang lobby. Ia bernama Joko (kira-kira ia berusia 50-an tahun). Dari aksen bicaranya, saya tahu ia berasal dari Madura. Ia mengenang kepemimpinan Soeharto sebagai presiden ketika kutanyakan pasal meninggal Soeharto.

“Dulu, masyarakat Indonesia tidak pernah kehilangan minyak tanah, minyak goreng, terigu, dan sebagai di pasar. Banyak pakaian. Sampean tahu, harga-harga barang umumnya murah. Coba sampeyan lihat (bandingkan—pen) sekarang,” tuturnya dengan gerakatan tangan untuk meyakinkan.

Mas Joko tidak salah. Ia hanya berpikir untuk hal-hal yang menyenangkan dari Soeharto. Banyak hal yang ia utarakan. Ia fasih memaparkan program Sapi Bampres, misalnya. Selama ia bercerita, ia seperti menghayati berbagai kesenangan dan ketenangan hidup yang ia alami selama Soeharto menjabat presiden. Menurutku, ia juga tahu sejumlah derita dan tindakan-tindakan despotis selama itu. Tapi, doktrin terhadap kebaikan Soeharto telah menjadi ideologi yang kokoh di kepalanya. Ia, sepertinya, sulit bergeser. Saya sadar, mas Joko tidak sendiri. Ia adalah bagian dari orang-orang yang ikut menangis duka ketika mendapat kabar tentang kematian Soeharto. Mereka, seperti Joko, adalah bagian dari komunitas yang telah “tersihir”.

Saya justru yakin, mereka itu pernah melihat berbagai hal yang biasa tetapi sesungguhnya menyedihkan. Di samping swasembada pangan dan harga-harga barang yang murah, ada juga peristiwa lain bisa membuat “nilai” harga murah dan keberlimpahan pangan itu beranjak ke titik nol. Ruang “di sebelah” itu sangat luas dan menampung berbagai peristiwa. Di ruang itu, kita bisa mengetahui orang-orang yang tertembak misterius selama tahun 1980-an; mahasiswa yang dikerangkeng tanpa diadili setelah Peristiwa Malari 74; orang-orang kecil yang dipaksa merelakan lahannya tanpa ganti rugi demi pembangunannya Soeharto; orang-orang kecil yang tidak bisa melawan secara hukum ketika berhadapan dengan aparat-aparat kekuasaan Soeharto di segala sektor dan tingkatan; polisi dan tentara bebas menangkap orang-orang tanpa surat penangkapan atau perintah dari hakim; dan sebagainya. Soeharto masih presiden ketika semua itu terjadi.

Mas Joko tidak berpikir bahwa banyak orang yang dianiaya oleh aparat birokrasi, polisi dan tentara tapi tidak bisa melawan. Ketika mereka melawan, ia ditafsirkan oleh Barkorstranasda atau Bakosustranal sebagai melawan negara dan pemerintahan yang sah. Ia mungkin tidak pernah berusaha berempati pada derita orang-orang yang diculik oleh tentara Indonesia ketika ia sedang tidur di rumahnya, di samping istri dan anaknya. Mas Joko tidak pernah tahu bahwa ketika Soeharto membasmi gerakan PKI, ada ratusan orang yang kubur massal di semak belukar dan dikubur di samudera Hindia, hanya karena orang itu adalah simpatisan PKI. Hidup mereka dirampas secara tidak beradab oleh aparat Soeharto tanpa peradilan dan perlindungan hukum. Semua itu terjadi ketika Soeharto masih presiden.

Mas Joko tidak berpikir tentang mayat-mayat hasil pembantaian tentara Indonesia itu, dipungut oleh mobil loader dan kemudian dituang ke bak mobil dum truck. Jumlah mayat itu tak terhitung dan lokasi pembantaian di kawasan Tanjung Priok itu pun bersih setelah beberapa mobil pemadam usai menyiram bekas-bekas darah di dalam maupun di pekarangan mesjid. Ketika itu, Soeharto masih presiden.

Mas Joko mungkin tidak mengerti dengan peristiwa Kedungombo, peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 2007. Geger Talangsari, dan seterusnya. Orang-orang jelata dipaksa menjadi pahlawan. Mereka dipaksa merelakan harta dan tanah kehidupannya demi Pancasila, dan Pembangunan. Mereka didoktrin agar keyakinannya tentang hak untuk hidup menjadi runtuh, dan seterusnya meragukan ide-ide tentang hak. Akhirnya, mereka tidak memerlukan lagi keamanan fisik dan ketenteraman jiwa, sebab Pembangunan Soeharto dituntut oleh puluhan juta rakyat Indonesia. Mas Joko tidak mampu menumbuhkan empatinya pada derita itu, dan sekaligus bahwa berbagai jerita memang tidak mampu menembus telinga dan hati Mas Joko.

Saya tinggalkan Mas Joko. Ia masih terus ngelantur, dan juga beberapa satpam hotel masih tetap tertarik menyimak celotehan Mas Joko itu.

“Silakan lanjut, Mas. Saya akan istirahat,” ucapku sembari beranjak berdiri dari tempat dudukku. Ia hanya menganggukkan kepala ke arahku. Saya pun berlalu dari hadapannya. Ia tampak seperti menemukan ruang hidupnya yang telah lama terhimpit. Ada rentang waktu yang terpilah, dimana alam berpikir dan pandangan hidup Mas Joko sangat terbatas, meski dirinya sudah berada di zaman yang tidak lagi menghendaki kebaikan semu Soeharto. Pada malam itu, Mas Joko seakan ingin memanggil masa silam itu. Kesannya memang sedikit absurd, karena Mas Joko berhasil menggapai masa silam itu ketika Soeharto tidak lagi suatu wujud yang bisa memaksa atau menyerah.

Sebelum saya berbaring pada malam itu, saya masih berpikir, bertapa picik masa lalu Mas Joko itu. Namun, saya juga berpikir, betapa lihai Soeharto membangun kebaikan untuk menutupi kejahatannya.

Senin, 28 Januari 2008, hari ini, ia pergi ke Astana Giribangun membawa serta keburukan sekaligus kebaikannya. Ia diiringi doa dan makian, yang terucap maupun yang terngiang. Orang-orang dan negara berduka, tapi juga ada yang bersuka. Ia pergi untuk selamanya, meninggalkan republik yang terluka, yang ia lukai. Ia selalu senyum, namun tetap mencekam bagi sebagian besar orang. Ia ramah dan berhati kuat, tapi tentu tak bijak memberinya gelar terhormat. Ia mematikan dan menyakiti, cukup lama: 32 tahun.

Hari ini juga, orang-orang dan keluarganya—dengan sederhana dan gampang—memohon kepada rakyat dan bangsa Indonesia agar memaafkannya. Padahal, Soeharto masih hidup sejak 22 Mei 1998 hingga 4 Januari 2008. Selama itu, Soeharto tak pernah jujur tentang dirinya sebagai manusia biasa. Ia lebih banyak membiarkan dirinya sebagai mantan orang terkuat di Indonesia (presiden) selama 32 tahun, jenderal besar militer berbintang empat, seseorang dengan anak kandung yang berkekayaan nyaris tanpa tepi, tokoh kontroversial dengan jejaring loyalis bijak tapi pendendam. Karena itulah, dalam 10 tahun sejak 1998 itu, ia merasa tidak perlu menagih maaf dari siapa pun. Ia bukan manusia biasa, jadi tak butuh dimaafkan.

Kemarin, ia mati tanpa pernah membuat proposal maaf. Ia tahu, ia telah melukai republik. Suatu republik, dimana di dalamnya, saya sedang memantau 11 stasiun TV selama seharian dalam kamar, hanya untuk mengetahui perkembangan kematian Soeharto. Dan betul, saya tidak bermimpi. Saya menelepon seorang rekan ketika masih di HMI, Kamru, yang tengah berada di Astana Giribangun. Ia menyaksikan sendiri mayat Soeharto sudah tertimbun di samping pusara istrinya pada sekitar pukul 12.30 wib. Setelah semua menjadi pasti, bahwa Soeharto betul-betul mati, barulah saya bisa lega melenggang meninggalkan kamar hotel menuju Tunjungan Plaza bersama Sabaruddin. Kami menyeruput kopi di salah satu kafe di bilangan plaza itu, tempat yang tidak menunjukkan kesan duka dan sedih untuk kematian Soeharto.

Seperti lainnya, saya juga berusaha ingin menangis. Tapi betulkah saya menangis? Saya sendiri tidak tahu: saya gagal. Saya hanya biasa menagis untuk hal-hal yang penting.

Selamat jalan Jenderal Besar.

Selamat jalan Sang Diktator.

Selamat jalan Bapak Pembangunan

Surabaya, 28 Januari 2008.

2 komentar:

thamzil thahir mengatakan...

ha..ha....!
Aku membaca sebagian isi tulisan
"Handuk Ayah"
diskriptif,refleksionist,and showup your hate desire with Pak Harto.
Tapi...
Ternyata, saya baru tahu, SMS anda di hari kematian Pak Harto, ternyata untuk inspirasi tulisan ini.. (he..he..)
tapi bagaimana pun saya salut
thanks anyway

thamzil thahir mengatakan...

ha..ha....!
Aku membaca sebagian isi tulisan
"Handuk Ayah"
diskriptif,refleksionist,and showup your hate desire with Pak Harto.
Tapi...
Ternyata, saya baru tahu, SMS anda di hari kematian Pak Harto, ternyata untuk inspirasi tulisan ini.. (he..he..)
tapi bagaimana pun saya salut
thanks anyway

sekadar berbagi:
http://thamzilthahir.blogspot.com/2008_01_01_archive.html

follow me @maqbulhalim