SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 27 November 2007

Tidak Dipercaya, Tidak Realistis

Oleh Maqbul Halim

Di Asrama Menteng nomor 31 tanggal 16 Agustus 1945, Syahrir, Chairul Saleh, Adam Malik dan AM Hanafi menggeliat seperti cacing kegerahan. Mereka gelisah dan cemas. Karena saat itu momen merdeka telah tersaji. Tetapi Bung Soekarno dan Hatta masih mempelajari situasi. Lantaran itu, kedua orang ini dianggap lamban, dan mungkin kedua orang ini adalah antek-antek Jepang. Sementara mereka yang cemas dan gelisah sangat yakin bahwa kesempatan tidak datang dua kali, dan kesempatan hanya mampir pada orang-orang yang siap.


Kesempatan itu telah datang untuk Indonesia, dan orang Indonesia dianggap telah siap. Mereka mendengar bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu? Maka, nyatalah perbedaan pendapat antara Pemuda dan Soekarno-Hatta. Buntutnya, kedua orang ini pun diculik-evakuasi ke Rengas Dengklok oleh Pemuda yang tengah dirundung kegelisahan dan cemas itu.

Sekali seorang mempersepsi diri “muda”, dia mungkin dengan sendirinya gelisah dan cemas. Bayang-bayang orang tua dilihat sebagai aral dan kalangan muda selalu lebih memilih menyingkirkan aral ketimbang menghindarinya. Kalaulah interaksi kalangan muda dan orang tua adalah sebuah “perang”, maka itulah “perang” yang hampir seusia dengan peradaban manusia. Dalam “perang” itu, pemenang dan yang kalah tidak pernah jelas—mungkin silih berganti.


Bagi dunia patriarkal, orang tua dipredikatkan sebagai simbol hegemoni (dominasi juga?). Simbol yang mewujud itu berarti mengatur, mendikte, dan bahkan nyaris sempurna. Tangan orang tua, lazimnya, penuh otoritas yang kursif. Di situlah kalangan muda terlilit tali otoritas orang tua, terjerat tanpa jalan keluar.


Penyair Muda

Dalam kerangkeng itu, pikiran pemuda terpenjara. Memberontak menjadi alternatif yang paling menjanjikan. W.S. Rendra, sebelum mengganti agama tahun 1970, juga adalah seorang seniman pemberontak. Syair-syair pemberontakan Rendra dalam dramanya Orang-orang di Tikungan Jalan tahun 1954, kata Syu’bah Asa (2001), betul-betul sastrawan muda yang memberontak dengan sajak pembelaan orang-orang kecil.


Sastrawan muda adalah kata yang betul-betul tak pernah diucapkan Rendra untuk mengapresiasi predikat kepenyairannya. “Pembelaan orang-orang kecil” adalah nafas yang dihembuskan Rendra melalui sajak-sajaknya. Ia melakon pada nafas itu dan mendapat apresiasi berkat nafas itu. Karena itu pula, pemberontakan dan kegelisahannya menjadi hidup. Ia menciptakan dan memulai teksnya sendiri, bukan melanjutkan teks dengan cara memisahkan teks itu dari pemiliknya.


Hanya saja, ruang publik sastra di kemudian hari mengapresiasi Rendra sebagai sastrawan muda yang memberontak. Bukan karena ia sastrawan muda sementara sebagian besar sastrawan besar ketika itu adalah manusia berbau tanah. Tetapi sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan seterusnya yang tidak berniat membela kaum papa—yang sekaligus mereka adalah orang tua, menempatkan Rendra di ruang publik apresiasi sastra tepat pada klaster penyair muda. Sebuah perbedaan yang kedengarannya alamiah.


Sajak-sajak Rendra bukanlah kampanye curiga terhadap peran-peran penyair tua karena tokh keduanya berada dalam ruang teks yang berbeda. Pemberontakan justru ditujukan pada zaman sebagai sebuah teks, bukan pada pemilik teks itu. Rendra, dalam hal ini, berbeda dengan Ortega y Gasset, seorang konservatif di kerajaan Spanyol akhir abad ke-19, yang dengan terang merumuskan indikasi-indikasi kegagalan generasi tua di Spanyol.


Nafas Ortega adalah transisi besar dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, industrialisasi, urbanisasi, demokratisasi politik dan kekuatan sosial yang tengah membuat demam masyarakat Eropa saat itu. Oleh karena transisi itu, Ortega memberi tempat istimewa bagi para generasi muda cendekiawan.


Cara yang ditempuh Ortega adalah menghubungkan konsepsinya tentang cendekiawan dengan “pemuda” (Ron Eyerman, 1996: 95-95). Ortega menaruh kesadaran khusus mengenai peran-peran sosial cendekiawan muda, khususnya transisi besar itu. Bukan pada kondisi sosial cendekiawan itu—termasuk aspek komunalnya.


Pemuda Infifada

Generasi Muda kerap menyilaukan kekaguman. Tahun 1992, Ikhrima Shabri, Imam Madjidil Aqsha, memuji pemuda-pemuda Palestina. “Anda bisa melihat seorang pemuda yang hanya membawa batu atau pisau, maju menghadapi peluru dengan dadanya, ..... Para pemuda itu—pemuda Intifada—berlomba-lomba menyonsong maut,” puji Shabri.


Pemuda Intifada tentu saja bukan sempalan kelompok FATAH atau HAMAS. Pemuda Intifada hanya sebutan Shabri untuk memperjelas subyek kalimatnya, yakni “Para Pemuda itu, Pemuda Intifada”. Pemuda dalam kalimat ini hanya mendeklarasikan sebuah tanda alami tentang generasi dengan menunjuk periode kelaharian yang persis dapat dibedakan dengan periode kelahiran orang-orang tua.


Sejak pecahnya Intifada yang memuncak pada 1987, Palestina tidak penah memperkenalkan perbedaan generasional antara Tua dan Muda. Di sana, di Jalur Gaza dan Tepi Barat sejak 1967, perasaan senasib lebih kental dari pada perbedaan generasional itu. Perbedaan hanya menjadi nyata ketika tujuan atau persepsi berbeda, sebuah perbedaan yang selalu berbias politis.


***


Orang tua sering tanpa sadar memuji pemuda dengan berbagai adegium” "pemuda harapan bangsa", "pemuda pemilik masa depan", atau "pemuda sebagai generasi penentu dan tulang punggung bangsa". Beberapa saat sebelum tamat di Mahameru 18 Desember 1969, Soe Hok Gie masih sempat mengenang belaian Soekarno “Tua” pada generasi muda, Beri aku sepuluh pemuda progresif revolusioner maka dunia akan berubah. Jika ada 9 pemuda lagi maka Indonesia pasti berubah! Tapi bukan karena adagium itu lalu Syahrir, Chairul Saleh, Adam Malik dan AM Hanafi, WS Rendra lantas berderak. Kisah mereka menembus zaman karena pokoknya, bukan oleh simbol “muda”-nya yang natural itu.


Dalam aras yang bersilangan itu, setidaknya, sejarah telah melahirkan tesisnya: Orang tua selalu bicara banyak dan sedikit yang bisa dipercaya. Anak muda terlalu banyak berkeinginan dan sedikit yang realistis.Setelah itu, tak ada ruang bagi kita untuk memihak karena usia terus berlari dari titik “muda” dan berakhir di garis “tua”.


Makassar, 22 Agustus 2007

Pernah dimuat pada Jurnal RESOLUSI, "Nasionalisme"
Edisi 04 Tahun III Mei - Juli 2007. Diterbitkan oleh DPD KNPI Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim