SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 26 September 2007

Tenri Naik Kelas


Senin, 24 September 2007, saya telat bangun. Suhu di kamar tidurku kira-kira memberitahuku bahwa hari sudah menjelang siang. Gerah dan cahaya matahari di luar rumah sudah terik. Sebagian tidur pulasku memang harus saya sumbangkan untuk berhelat sahur dalam rangka puasa Ramadhan 1428 H. Apalagi, saya juga baru lepas dari belitan perbaikan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Sulsel 2007 yang nyaris tidak memberiku momen istirahat selama lebih sepekan berturut-turut.

Pagi itu, saya menyempatkan diri membersihkan mobil dari debu dengan sapu bulu. Suara cekikikan Ato dan Abi (anak saya yang kedua dan pertama) kedengaran sedang bermain dengan anak tetangga. Ketika mendengar mesin mobil menderu karena dipanasi, mereka langsung menghambur datang menyerbu masuk ke dalam mobil. Mereka berlomba memencet yang bisa mereka pencet di kabin mobil. Meski begitu, saya masih meragukan kemampuan mereka meng-"switch on"-kan handphone GSMku yang masih berstatus "idle". Seperti biasa, kantor KPU-ku selalu menyerbuku melalui HP GSMku setiap hari Senin.

Pukul 11.00 siang itu, saya mengantar Uminya Abi belanja di toko ritel Hypermart, Panakkukang Mas. Padahal, HP GSM-ku masih terus meraungkan alarmnya, menandakan bahwa pada hari itu Tenri sedang menjalani tahapan Fit and Proper Test untuk mengisi kursi lowong di KPU Propinsi Sulsel yang ditinggalkan oleh Aidir Maret 2007. Tapi, saya juga harus mengantar Uminya Abi belanja. Saya tidak mengerti kemudian, saya ternyata memutuskan mengantar Uminya dan sekaligus memutuskan tidak menghadiri proses tes yang dijalani Tenri pada hari itu. Setelah proses test itu, saya mendapatkan beberapa kabar bahwa saya diduga tidak menghendaki Tenri menanjak menjadi anggota KPU Sulsel. Bagi saya, dugaan itu beralasan karena sayalah satu-satunya anggota KPU Kota Makassar, kolega Tenri, yang tidak hadir pada proses test yang berlangsung di KPU Sulsel Jl Pettarani itu.

Sembari menyetir mobil meninggalkan Hypermart Panakkukang Mall, HPku berdering menerima SMS dari Syahrir Makkuradde. Uminya Abi yang membaca isi SMS itu: Innalillahi wa Innailaihi Rajiun, telah berpulang ke Rahmatullah bapak Prof. Dr. Zainal Abidin Farid". SMS itu kuforward ke Wahuddin Halim (Kakak kandukungku). Wahyu berkomentar singkat: "Kita telah kehilangan seorang filosof besar dari Sulsel. Kehilangan kita kali ini, sulit tergantikan." Hari itu, saya tetap tidak bisa melayat karena mengantar Uminya Abi.

Dalam perjalanan pulang ke rumah menembus terik sinar matahari yang menyengat, tubuh saya masih terbebani rasa letih, dan terjangan kantuk masih sesekali datang. Saya terus berpikir tentang proses tes yang tengah dijalani Tenri. Bagaimana ia selanjutnya bila betul-betul lolos dan lansung dilantik pada hari itu? Bagimana dengan peran-perannya yang "non-interchangeble" di KPU Makassar selama ini? Setelah menurunkan belanjaan dan Uminya Abi di rumah, saya segera balik menuju kantor. Pikiran-pikiran tentang kemungkinan Tenri mengenai tes itu masih terus berkecamuk.

Setelah beberapa saat di kantor menyelami hawa dingin AC ruang kerjaku, Kak Pahir masuk. "Maqbul, Tenri sudah jadi anggota KPU Propinsi Sulsel. Ia dilantik tadi setelah dinyatakan lolos dalam Fit and Proper Tes," kata Kak Pahir sembari melipat kedua tangannya di dada.

Saya termangu mendengar kabar itu, sekaligus sumriga. Saya menemukan, sepertinya diriku tidak siap mendengar kabar itu. Dan memang. Saya memang kerap mengabaikan niatan Tenri ini, dan memilih berpikir lain.

Dulu, empat bulan silam, Tenri bertanya kepada saya: "Bul, setujukah kau kalau saya mendaftar untuk menjadi calon pengganti Pak Aidir di KPU Sulsel?"

Tenri mendatangi ruanganku ketika itu, hanya untuk menanyakan niatannya itu. Suaranya pelan, dan juga parau. Ia setengah berbisik, tetapi seperti juga memohon. Saya memang sempat bingung memberi jawaban, karena ia tidak jelas: bertanya atau memohon. Dari sekian jenis kabar yang mampir, saya sebenarnya telah mengetahui beberapa hal. Tenri telah memulai dan tentu ia tidak ingin kembali. Ia telah memberi pengakuan, baik kepada saya dan teman-teman di KPU Makassar, maupun koleganya di Jakarta yang saban hari sangat penting bagi Tenri untuk mengalahkan pesaingnya. Ia telah menyelesaikan pernyataannya, sekaligus memasukkan berkasnya. Ya, Tenri sudah jauh dan kemudia ia datang bertanya.

"Saya sangat ingin, Bul ikhlas menjawab," kata Tenri berusaha meyakinkan.

Tapi, hematku ketika itu, jawaban apa gerangan yang ia butuhkan? Bukankah ia telah melaju dan juga telah jauh? Jika ia ingin membatasi dirinya dengan jawabanku, bukankah ini sudah terlambat. Lantas, akankah ia urung ketika saya bersungut, tanda bahwa ia sebaiknya menyelesaikan pekerjaannya di KPU Makassar? Tapi, ketika itu, saya yakin bahwa apapun yang hendak kukatakan di hadapan pertanyaannya, Tenri akan terus berjalan. Saya tiba-tiba ingat serangan Margaret Thacher di parlemen kepada kalangan oposisi, "Please turn if you want to. But the ladies, not for turning."

Dan. Saya memberi jawabanku yang berasal dari kebutuhannya. Ia mangut dan berterima kasih. Ia girang meninggalkan ruanganku, seperti baru pulang dari sebuah kemenangan, seperti sedang mengusung harapan. Ia juga tidak tahan mengatakan bahwa dirinya sangat bangga pada saya sebagai kawan yang sangat memahami. Saya memang tahu, ia lebih butuh dipahami ketimbang dibantu. Setelah itu, ia mungkin terus melaju. Mungkin ia juga tidak merasa perlu tahu apa jawabanku yang sesungguhnya. Sama halnya, saya tidak mengerti mengapa Tenri sangat membutuhkan saya untuk menjawab.

Sekarang, Tenri akhirnya dilantik. Air muka Kak Pahir pun juga datar ketika mengabarkan pelantikan Tenri.

Saya bangga, temanku sekantorku, teman seperjuanganku di Ornop, temanku sebagai jurnalis, dan sebagainya, akhirnya berhasil menapak menjadi anggota KPU Sulawesi Selatan. Tapi saya juga bersedih. Tenri sangat berarti bagi saya sebagai anggota KPU Kota Makassar. Mungkin ia lebih sangat berarti bagi Ketua KPU Kota Makassar, Zulkifli Gani Ottoh. Saya jadi berpikir bahwa ada beberapa hal tak dapat kami lakukan segera di KPU Makassar setelah Tenri harus berpindah tempat kerja. Ia tidak hanya sekadar hadir, tapi memberi arti. Ia tidak mampir, melainkan membangun kehidupan.

Tenri kadang-kadang radikal ketika berhadapan dengan suatu masalah di KPU Kota Makassar. Ia tidak pernah lelah mengejar sesuatu hingga suatu permasalahan betul-betul dikenali dengan baik. Ia mampu berpikir dalam situasi yang paling rumit, meski pun pertimbangan-pertimbangannya kerap simplistis. Ia memang jarang memasuki area perdebatan karena ia gampang lumpuh ketika harus mengurai masalah-masalah yang sifatnya teoritis dan konsepsional. Karena itu pula, ia lebih banyak memilih lebih banyak bekerja. Saya pernah mencatat keluhan Tenri:

"Menurutku tidak usalah banyak bicara. Semua ini saya tidak mengerti," keluh Tenri pada suatu rapat di KPU Kota Makassar yang membahas penggantian tiga calon terpilih dari Partai Golkar untuk DPRD Kota Makassar.

"Lebih anda-anda berterus terang, maunya anda ini apa? Saya tidak mengerti politiking," kata Tenri memotong setelah perdebatan alot selama setengah jam.

Waktu itu, saya dan teman-teman di KPU Makassar sedang berdebat mengenai beberapa rujukan hukum yang dimungkinkan menjadi acuan dalam proses penggantian calon terpilih tersebut. Akselerasi Tenri untuk mengikuti perdebatan itu rupanya rupanya tidak mumpuni. Ia kemudian kalut dalam pikirannya mendengar berbagai argumen. Ia hanya bisa berpihak kepada mereka yang tertindas, kepada tiga orang yang akan digantikan itu. Tenri hanya mengerti bahwa yang menginginkan penggantian itu adalah kawanan penindas. Ia tidak ingin berpikir rumit dan nyelimet. Ia ingin praktis tapi tidak menindas. Ia ingin saya dan teman tidak banyak menyusun alasan untuk menutupi berbagai hal. Padahal sebenarnya, kami tidak menutupi suatu hal. Kami hanya hati-hati karena ini masalah hukum. Di "ruang hukum" inilah Tenri tidak masuk.

Selebihnya, ia mampu bekerja dengan konsentrasi yang terpecah. Saya biasa berpikir, untuk bergerak seperti Tenri, saya mesti membagi diri saya menjadi lima, paling tidak.

Ia juga kerap mengekspresikan tanggung jawabnya melebihi dari yang ia miliki. Di akhir kegiatan verifikasi entry data pemilih DPT di KPU Makassar untuk Pilgub Sulsel 2007, saya sempat bersitegang dengannya. Ia terlalu banyak menjalankan kewenangan saya sebagai ketua Pokja Pemutakhiran Data Pemilih, sementara saya tidak penah memberinya mandat untuk melakukan itu. Kalau ada sikap pembiaran dari saya, itu sesungguhnya adalah siasa rasa tenggang yang memang kusiapkan untuk sikap-sikap yang Tenri yang sudah sering seperti itu.

Tapi, Tenri sebenarnya tidak mengembail kewenangan orang lain, atau kewenangan saya. Ia sangat gampang dirundung cemas ketika masalah timbul. Ia tidak bisa berdiam diri ketika ia memastikan bahwa ada satu atap, tempat dimana kita bernaung bersama. Atap itu bernama KPU Makassar. DPT KPU Makassar paling dikenal rumit dan gemuk. Saya sendiri mengakui, saya banyak menghadapi masalah dalam pemutakhiran DPT: organisasi kerja, dukungan sekretariat, tenaga ahli IT, sampai peran lurah dan camat se Kota Makassar yang mengecewakan. Di tengan situasi ini, Tenri rupanya tidak bisa berdiam diri. Ia tidak lagi memikirkan kewenanganku sebagai ketua Pokja. Yang ia pikirkan adalah nasib KPU Makassar dalam soal pemutakhiran DPT. Lalu, ia pun bergerak dan jauh lebih cepat. Kantor pun berjumpalitan.

******

Tadi malam, saya menemuinya di Pizza Ria (Boulevard, Panakkukang Mas), di pesta ulang tahun Yuri, putri pertamanya. Ia sedikit berubah. Ia berusaha bersikap lazim terhadap saya seperti halnya ketika masih di KPU Makassar, tapi sikap gugub masih sesekali terselip dalam gerakan-gerakan tubuhnya.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim