SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 29 April 2007

10 Hari di Manado

Manado, 29 April 2007

Saya baru saja tiba di Makassar dari Manado tanggal 29 April 2007 setelah 10 hari di sana. Beberapa hari lalu saya diundang oleh Yayasan Lestari Manado untuk menjadi Juri pada pengarugerahan LESTARI AWARD 2007. Selain saya, Zohra A. Baso juga diundang.

Setiap kali ke Manado, saya selalu terkesan dengan jutaan pohon kelapanya yang tak pernah letih melambaikan nyiurnya. Itu pula mengapa setiap menjelang mendarat (take on) di Bandara International Sam Ratulangi, Manado, saya tak pernah ragu melahap dengan mata lambaian nyiur itu dari balik jendela pesawat. Pohon-pohon itu seakan menyerukan kepada tetamu kota Tinutuan di dalam pesawat yang hendak mendarat ini: "Selamat datang".

Kali ini, saya mengunjungi banyak tempat. Salah tempat yang sangat mengesankan saya adalah pulau Bunaken. Tepatnya adalah Taman Nasional Bunaken. Saya sendiri memilih menyebut kawasan itu sebagai hutan Terumbu Karang dengan segala kemolekannya yang belum saya temukan di tempat lain seperti Takabonerate. Kawasan ini betul-betul menyuguhkan suasana extraordinary. Sebuah taman laut yang kira-kira akan dibenci oleh monster perusak lingkungan hidup seperti pengusaha atau investor.

Manado termasuk kota yang lalai dalam pelestarian lingkungan hidup. Hampir seluruh panjang pesisir pantainya yang seindah Losari Makassar telah tiada. Saya masih ingat, kira-kira enam tahun silam, kota Manado betul-betul Water Front City. Setelah kemarin di Manado, saya harus mengeluarkan kocek untuk menyaksikan Sunset di tepi pantai Kota Manado. Sepanjang pesisir itu saat ini telah dipagari oleh kawanan Rumah Toko (Ruko) dan kawasan Mall.

Kalau saya ingin gratis, maka saya harus meninggalkan menuju keluar kota yang kira-kira jaraknya tiga kilo meter arah barat. Di kawasan luar kota itu, beberapa ruas masih bisa disinggahi untuk duduk-duduk menanti sunset ditelan gelap malam. Hanya saja, saya juga mesti rela berkalang sampah yang berserakan di pesisir. Saya kagum miris atas kota ini sebab perluasan kawasan bisnis justru meluas menutupi kawasan laut dan pantai. Reklamasi pantai menjadi sesuatu yang lazim di kota yang berjuluk TINUTUAN ini.

Menurut saya, kota Manado telah melangkah lebih jauh dalam soal pluralisme. Memang rumah ibada gereja lebih banyak ketimbang rumah ibadah agama lainnya seperti mesjid. Di kota ini, saya dapat mendengar suara azan mesjid dari kejauhan, meski jumlahnya sangat sedikit. Sangat lain dengan di Rantepao, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, di mana suara azan tidak boleh kedengaran di luar dinding mesjid. Di kota ini juga, saya tidak menemukan adanya fanatisme yang mencolok antara Kristen Protestan yang mayoritas terhadap Katolik yang minoritas. Pemandangan seperti yang tidak saya temukan di Ambon, Maluku.

Rio Ismail, kawan sesama juri Lestari Award 2007 yang berasal dari Solidaritas Perempuan (SP), kerap memberikan pernyataan unik soal agama di Manado. Pria yang pernah bermukim di Manado selama 12 tahun hingga 2002 ini menyuguhkan jawaban atas pertanyaan saya dan jawaban itu sungguh di luar dugaan. Ketika kami melintas di Kota Tondano, saya mencoba mengapresiasi motto BERIMAN kota pesisir danau Tondano ini. Kota ini penduduknya mayoritas Protestan.

"Kira-kira apa artinya BERIMAN itu, Rio?"

"Ya, kalau masyarakat Sulawesi Utara itu, BERIMAN itu lebih banyak dilihat sebagai sinonim. Kepanjangannya: BERI aku minuMAN," jawabnya.

Suatu hari juga pada hari Minggu berkeliling kota Manado menumpang mobil Yanti, direktur Yayasan Lestari. Saya berujar, "Kota Mando betul-betul sepi pada hari Minggu!"

"Asal Bul tahu bahwa di Manado ini, pada hari Minggu, orang jahat dan orang baik sama-sama masuk ke gereja. Bedanya, orang jahat setor muka sedangkan orang baik setor doa. Jadi Bul, gereja tidak membedakan mereka," kata Rio menimpali.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim