SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 26 Maret 2007

Pilgub Sulsel

Pilkada langsung berguna untuk membebaskan rakyat menentukan pilihan-pilihannya. Tapi ternyata pilihan-pilihan itu dikendalikan oleh partai. Sementara, kepercayaan sebagian rakyat terhadap partai sangat memprihatinkan. Di parlemen, partai dengan congkak mementingkan kepentingan partai dan perutnya sendiri.

Oleh karena itu, apakah rakyat ingin terjerembap ke mulut buaya, yakni mulut partai yang tidak lagi dipercaya itu? Apakah warga Sulsel ingin memilih calon yang diusung oleh partai yang secara rutin dan sistematis membohongi mereka? Apakah tidak cukup derita rakyat yang dihasilkan oleh jalinan dusta antara legislatif dan eksekutif yang disponsori oleh partai?

Sebaiknya, rakyat bersatu meninggalkan perhelatan Pilkada Gubernur Sulsel 2007 yang hanya mengurusi kepentingan partai yang penuh aib itu. Rakyat tidak punya kepentingan pada Pilgub Sulsel 2007. Rakyat Sulsel tidak mungkin tertolong oleh Pilgub Sulsel 2007 karena pilihan mereka telah diamputasi oleh partai.

Tidak mungkin Pilgub Sulsel 2007 dipercaya karena hanya untuk memenuhi kepentingan partai yang terang-terangan melukai hati rakyat. Mereka bangga dengan memperkaya diri sendiri dengan PP 37/2006, sambil memandangi rakyat meradang kelaparan. Partai-partai telah menempatkan manusia berhati singa-lapar di legislatif dan eksekutif.

Pilgub Sulsel 2007 tidak memperkenankan rakyat mengusung calonnya sendiri. Meski rakyat menghendaki, mereka harus berhadapan dengan KPU Sulsel yang secara terang berperilaku sebagai abdi partai sesuai undang-undang 32 Tahun 2004. Rakyat harus mengambil tindakan darurat. Keserakahan partai harus dihentikan. Biarkan Pilgub Sulsel 2007 merana terlantar bersama partai yang dipenuhi politisi berbusana alim. Rakyat mestinya memutuskan untuk mengembalikan kartu pemilihnya ke KPU Sulsel.

Rakyat Rugi

Setiap pilkada menjelang digelar, rakyat atau warga selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh oleh politisi parpol, apalagi ketika ia menjadi kandidat. Mereka nekad menjual hampir semua miliknya untuk dibagikan kepada rakyat ketika pilkada, entah berbentuk beras, mie instan, dan seterusnya. Tetapi setelah ia terpilih, ia akan menjual harta rakyat dan sekaligus rakyat. Ia membagikan uang Rp 100 juta kepada rakyat, tapi kemudian merampok hak-hak rakyat sampai miliaran rupiah.

Mereka yang legislator tidak pernah jerah studi banding atau kunjungan kerja ke luar negeri. Ketika ia menginap di hotel bintang lima di Paris, London, Frankfurt, atau Amsterdam, ia tidak merasa bahwa biaya studi banding mereka itu setara dengan pembangunan infrastruktur yang pasti bermanfaat bagi kepentingan rakyat.

Calon Apes

Dalam Pilgub Sulsel, tak ada calon yang normal dan sehat secara finansial. Mereka semua sudah diperah tanpa ampun oleh partai-partai yang mengusungnya. Ketika seseorang keluar sebagai calon yang diusung oleh partai atau aliansi berberapa partai, ia sesunggunya sudah puyeng dan oleng: emosinya bergolak karena ia baru saja kemalingan dalam ajang penjaringan calon. Ia hampir kehilangan segala hartanya sebelum Pilgub Sulsel 2007 dimulai. Ia mungkin hanya makan nasi bungkus, ketika ia menyendiri.

Sang calon menggelontorkan pundi-pundi harta miliknya sendiri, keluarganya, dan teman-temannya. Ketika sang calon terpilih, seperti orang mabuk sekaligus kesurupan, ia berubah menjadi binatang buas dan tamak. Ia seperti kelinci bermulut buaya. Ia seperti musang bermulut harimau. Ia menjadi ustad pengumbar dendam. Ia menjadi orang alim berhati busuk. Ia kesetanan. Ia merampas, merampok, menodong. Tapi ia tetap sembahyang, berhaji, berzakat, membangun mesjid.

Situasi di atas adalah sesuatu yang niscaya setiap pilkada menghasilkan kepala daerah. Ini bukan ramalan, karena Pilgub Sulsel hanya mengulang fakta-fakta empiris hasil pilkada sebelumnya. Rakyat Sulsel tidak perlu menjadi sangat bodoh dan goblok untuk berpilkada. Bukankah semua sudah jelas: apapun Pilgub Sulsel 2007, semua hasil dan manfaatnya cuma menguntungkan kepentingan politisi dan partai politik.

Manfaat Pilgub Sulsel bagi rakyat hanyalah cerita yang selalu berakhir tangis dan kesedihan rakyat. Hasil Pilgub Sulsel tidak lebih dari sebuah kotak pandora. Tapi ia juga bukan buah simalakama: ikut pilkada mati ayah dan ibu, tidak ikut pilkada tidak dapat mie instan dan beras.

Dari mana sesungguhnya berasal untaian kekaguman kepada tokoh-tokoh sejenis Amin Syam, Syahrul Yasin Limpo, Agus Arifin Nu’man, Azis Kahar, M. Room, Mansyur Ramli, Tamsil Linrung, Jalaluddin Rahman? Apa gerangan dari mereka yang kira-kira berguna bagi saya sendiri, keluarga, tetangga, handaitaulan, dan lain-lain di Sulawesi Selatan? Mereka berasal dari keluar-biasaan apa? Mereka telah melakukan apa? Apa yang mereka pikirkan tentang dirinya? Apakah mereka pernah mendapatkan kejujuran tentang apa yang dialergikan orang-orang pada diri mereka? Apa mereka-mereka itu adalah orang yang demi Tuhan dapat dipercaya? Kapan dan dimana kepercayaan di tangannya itu pernah terbukti?

Mereka hanya mewakili kebuasan, keserakahan, ketamakan. Mereka berbaju kepalsuan, kemunafikan, penipuan. Ketika Pigub Sulsel menjelang tiba, mereka berubah jadi alim, dekat pada ulama-ulama, akrab dengan rakyat, memamerkan kesedihan menyaksikan kemiskinan dan pengangguran di Sulawesi Selatan, melancarkan senyum tanpa henti kepada siapa pun tidak kenal siang atau malam gelap atau terang, dan seterusnya. Mereka berubah sekejap menjadi manusia setengah dewa yang merasa “hidup di hati rakyat” Sulawesi Selatan. Mereka berlomba menjadi pembicara seminar tiada henti sepanjang hari. Hanya karena ingin jadi Gubernur Sulsel 2007, di antara mereka yang memerankan hampir semua predikat dan sifat hidup manusia. Dalam waktu yang singkat, mereka menjadi dermawan, musisi/penyanyi, ucapan-upannya selalau diklaim akademik, pakar, orang alim, merakyat, berteman dengan petani, sejiwa dengan generasi muda, tidak bisa dipisahkan dengan olah-ragawan, style funky di usia tuanya, hanya menerima tamu di mesjid atau musollah, mendayung perahu bersama nelayan, berkepentingan terhadap kemajuan ummat, pengajur kebaikan, penulis kolom tetap surat kabar (kolumnis), menjadi orang sophis (sumber kearifan dan kebijakan), menyumbang belasan juta setiap jumatan di mesjid yang berbeda, beraliansi dengan aktivis-aktivis Ornop untuk membela rakyat kecil, mendampingi orang tua jompo dan anak sekolah menyeberang di jalan, dan seterunya. Semua kelakuan itu kian mempertebal kecurigaan, betulkah semua itu bisa dipercaya? Dan, siapa juga yang ingin bodoh mempercayai semua itu?

Saya kadang bertanya, apa kira-kira sikap Tuhan terhadap kelakuan mereka itu? Andaikan Tuhan berkehendak, mungkin mereka dijauhkan dari neraka. Mereka memiliki hampir semua sifat-sifat kenabian menjelang Pilgub Sulsel 2007. Mereka itu dibutuhkan oleh rakyat Sulsel! Mereka dibutuhkan oleh Tuhan karena suara rakyat adalah suara Tuhan, kata orang Yunani. Tuhan mungkin mendesain tempat khusus di Surga untuk mereka-mereka yang telah berbuat kepada rakyat Sulsel menjelang Pilgub 2007. Mereka menjadi Tamu Tuhan di Surga, baik yang kalah maupun yang menang dalam Pilgub Sulsel 2007. Derajat mereka diangkat, ke tingkat yang paling tinggi karena selain mereka baik pada rakyat Sulsel, mereka juga berilmu dan mengajarkan ilmunya melalui seminar-seminar dan kolom-kolomnya di surat kabar, serta petuah-petuanya di radio dan televisi. Mereka selalu menyanjung Tuhan, yang sebagian besar rakyat Sulsel betul-betul mempercayai-Nya, melalui baliho-baliho di permukaan bahu jalan. Mereka tidak peduli lagi Tuhan yang mana gerangan disanjung, yang penting bahwa Tuhan itu dikagumi dan disembah oleh rakyat Sulsel. Mereka hampir memeluk semua agama yang ada di Sulawesi Selatan. Andaikan banyak warga Sulsel yang menganut agama Yahudi, mereka juga kemungkinan ada niat memeluk agama Yahudi itu. Sekiranya ini semua betul pada mereka, saya kira tak akan Tuhan yang akan luput dan lalai memberi menghaturkan ucapan terima kasih kepada para cagub-cagub itu.

Tapi bisakah juga Tuhan bersikap sebaliknya? Tuhan misalnya murka karena Dia/Mereka (Tuhan) diperalat untuk Pilgub Sulsel 2007 dan lalu dipermainkan. Mereka sesungguhnya berhati iblis dalam busana agama. Keagungan Tuhan didesain untuk menyihir rakyat Sulsel agar ia dipilih pada Pilgub Sulsel 2007. Setelah salah seorang dari mereka memenangkan Pilgub Sulsel 2007, Tuhan pun ditertawai dengan memandang remeh rakyat yang pernah diakuinya sebagai pemegang suara Tuhan. Mereka yang kalah, lalu berdiri penuh amarah dan menghardik Tuhan dalam doanya yang tak beretika. Antara Tuhan dan politisi/cagub Sulsel 2007, siapa sesungguhnya yang lebih perkasa dari keduanya? Tapi, saya yakin Tuhan Maha Kuasa. Mereka yang calon itu, akan dimusnahkan. Sebelum musnah, mulut mereka akan digergaji dengan chinsaw karena ulahnya membohongi rakyat dan Tuhan melalui mulutnya. Kepala mereka akan di-oven pada suhu 200.000oC karena yang mereka pikirkan terus di kepala mereka hanyalah birahi politik dan kekuasaan. Kemaluan mereka akan dilumat oleh lintah secara pelan-pelan karena kemaluan itulah yang menelan ongkos dari hak-hak rakyat Sulsel. Mata mereka akan di-mixer karena mata itulah yang selalu digunakan untuk mengintip harta dan hak rakyat untuk mereka rampas kemudian. Mereka akan ditenggelamkan ke dalam kolam tinja karena mereka selalu menyepelehkan penderitaan rakyat Sulsel akibat banjir. Ya, rakyat Sulsel akan menjadikan keluarga-keluarga mereka yang perempuan sebagai pelacur pemuas sahwat birahi laki-laki hidung belang. Rakyat Sulsel akan menjadikan keluarga dan kebarabat mereka yang sudah pikun dan jompo sebagai kuli pelabuhan yang bekerja 1 x 24 jam. Rakyat Sulsel akan mengupas kulit tubuh kolega-kolega pengusaha dan politiknya untuk dijadikan jaket penahan dingin. Tak ada yang tersisa dari riwayat mereka, lekam dan lenyap dari kesadaran rakyat Sulsel. Mereka tertelan oleh Kemahakuasaan Tuhan. Ternyata, mereka bukan penghuni surga atau neraka. Mereka dibuatkan neraka khusus, di mana mereka akan bergabung dengan anggota legislatif penikmat pulus PP 37/2006.

Mereka tidak pernah sadar bahwa telah banyak waktu yang mereka lewatkan dan mereka sangat berguna bagi sebagian kecil orang. Sebagian kecil itu adalah kolega-kolega politiknya, pengusahanya, aktivis ornop dan wartawan peliharaannya, dosen-dosen perguruan tinggi yang selalu membuatkannya makalah, disertasi, dan artikel-artikel kolom surat kabar, serta naskah petuah bijaknya di televisi dan radio, ustad-ustad yang selama ini digaji untuk mendoakannya, pelacur-pelacur yang mereka genjot secara rutin di Jakarta, Surabaya, Bandung, Batam, Singapur, Malaysia, dan seterusnya. Mereka merekalah juga yang akan menikmati manfaat bila salah seorang dari mereka memenangkan Pilgub Sulsel 2007. Rakyat Sulsel hanya ada ketika Pilkada, Pemilu, Pilpres. Tetapi setelah itu semua usai, setelah Pilgub Sulsel 2007 usai, tak ada lagi rakyat. Yang ada hanya kontraktor, makelar proyek, universitas-universitas yang mempercanggih pengibulan rakyat Sulsel melalui Bapeda, pelacur, preman-preman, wartawan-wartawan harian terkemuka di Sulsel yang diternakkan oleh calon-calon, dosen-dosen yang melacurkan kecendekiawanannya.

Siapa dari mereka yang bakal cagub itu yang pernah peduli ketika pemda Sulsel kehilangan anggaran ratusan milyar rupiah akibat kebangkrutan PT Celebes Air Services? Siapa di antara mereka yang masih peduli setelah setahun berlalu namun masyarakat Sinjai dan Bantaeng masih merana dalam derita akibat banjir dan longsor tahun 2005? Siapa di antara mereka yang peduli ketika rakyat “menjerit protes” ketika setiap anggota DPRD Sulsel akan dikaruniai mobil Kijang Innova pada tahun 2006? Siapa di antara mereka yang peduli ketika Kajati dan Polda Sulsel tidak mampu menuntut para anggota DPRD Sulsel periode 1999-2004 yang koruptor itu? Siapa di antara mereka yang peduli terhadap saham Pemda Sulsel di GMTDC Tanjung Bunga yang kian menyusut akibat ulah praktik bisnis kotor Lippo Group? Siapa dari mereka yang pernah pasang dada membela para keluarga pensiunan tentara yang diusir oleh Kodam VII Wirabuana dari tempat yang mereka tinggali selama puluhan tahun dan pindah ke tempat yang tidak jelas? Siapa dari mereka yang pernah bersimpati terhadap nasib veteran tentara yang diusir dari rumahnya di Antang tahun 2002? Siapa dari mereka yang pernah peduli terhadap penggunaan preman-preman untuk memperlancar kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat Sulsel? Siapa dari mereka yang pernah mengutuk pejabat-pejabat pemerintah di Sulsel yang terjaring rasia narkoba? Siapa dari mereka yang pernah peduli terhadap birokrasi yang dikendalikan oleh istri pejabat yang tidak ada hubungannya dengan birokrasi? Siapa dari mereka yang peduli bahwa menjadi orang baik, alim, merakyat, berilmu, dermawan, tidak hanya sekadar menjelang Pilgub Sulsel misalnya? Siapa di antara mereka yang pernah peduli dengan memberi dukungan moril secara terbuka kepada Kejari dan Kejati yang bergelut menuntut bupati-bupati di Sulsel yang diduga melakukan tindakan korupsi? Siapa dari mereka yang peduli terhadap warga Sulsel yang dipekerjakan oleh pengusaha-pengusaha Sulsel dengan upah di bahwah Rp 600 per bulan dan tanpa perlindungan terhadap PHK dan keselamatan kerja? Siapa dari mereka yang peduli terhadap tenaga honorer yang dipekerjakan di kantor-kantor pemda di Sulsel yang honornya di bawah Rp 500 ribu per bulan? Siapa dari mereka yang peduli terhadap derita rakyat dengan cukup menggelar pesta sederhana resepsi pernikahan keluarganya? Siapa dari mereka yang pernah peduli terhadap jalan-jalan propinsi yang rusak dengan cara mengurangi perjalanan dinasnya menjelang pilgub Sulsel 2007? Siapa di antara mereka yang peduli terhadap ustad-ustad sempalan yang menjual syariat Islam untuk menjadi calon gubernur Sulsel 2007?

Mereka semua berkomitmen untuk peduli dengan itu melalui ucapan-ucapan manisnya menjelang Pilgub Sulsel 2007? Tapi sebelum itu, mereka sesungguhnya tidak melakukan apapun. Mereka tidak berarti terhadap masalah itu. Mereka hanya mengumbar, tapi masa lalunya yang membuat rakyat tidak mempercayai mereka. Mereka itu buta hati sehingga tidak mengenali dirinya. Atau, mereka mungkin mengenali dirinya tetapi birahi politiknya lebih kuat. Sebagian dari mereka adalah pejabat-pejabat pemerintah, tapi tak penah berguna bagi rakyat. Ia kerap hadir di tengah-tengah rakyat tetapi tidak menjadi inspirator sehingga eksistensi pemerintah selalu hadir di tengah permasalahan dan derita rakyat Sulsel. Mereka hanya bersolek di tengah rakyat yang tertimpa musiba atau bencana namun tidak bisa berperan sebagai pemerintah. Sebab, pemerintahan di bawah kendali mereka hanya bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri, kolega politiknya, partai politiknya, kontraktor mereka, pengusaha mereka, jejaring keluarga mereka, dan seterusnya. Mereka sebagai pejabat pemerintahan tidak pernah terbukti mampu memberikan perlindungan kepada rakyat yang mengadapi permasalahan hidup, mereka hanya mampu berpakaian safari dengan logo pemda di dada datang menghibur rakyat, bukan melindungi. Mereka datang ke lokasi bencana di Sinjai misalnya untuk menebar pesona, mengumbar senyum, berlagak baik dan ramah, penderma dan sebagainya. Jadi, mereka tidak lebih dari manusia buruk.

Keuntungan apa yang pernah diperoleh rakyat di kabupaten-kabupaten Sulawesi Selatan yang pernah mereka pimpin sebagai bupati? Mereka tidak melakukan apa-apa ketika itu selain sebagai petugas administrasi belaka. Mereka malah kerap menjadi penyebab jerit rakyat setiap tiba 17 Agustus atau ketika jatuh tempo pembayaran PBB. Mereka mengintimidasi warga kabupaten yang mereka pimpin untuk mengeluarkan ongkos memperbaiki cat rumah mereka, beli ini dan itu untuk pekarangan rumah, mencat pagar, dan sebagainya hanya untuk memenangkan lomba. Sementara warga kabupaten mereka yang mememuhi semua itu belum tentu mampu makan beras tiga kali sehari. Pada gilirannya, ketika kabupaten memenangi lomba, yang menikmati penghargaan adalah mereka yang menjadi bupati ketika itu, bukan rakyat yang mengeluarkan ongkos untuk perlombaan itu. Tidak, tidak, mereka tidak berguna bagi warga kabupaten ketika mereka menjadi bupati. Bahkan, mereka kerap nyambi sebagai biro jasa yang dimanfaatkan oleh pengusaha dan investor untuk membeli murah tanah rakyat dengan cara menindas di kabupaten yang mereka pimpin. Mereka itukah yang akan kita percaya menjadi gubernur Sulsel?

Termasuk ketika mereka menjadi legislator atau pimpinan DPRD, mereka pasti berbohong bila pernah ada kepentingan rakyat yang pernah diperjuangkannya dan kemudian dijalankan oleh pemerintah daerah.

Kalau kondisinya demikian, apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang fanatik terhadap orang-orang yang bakal calon Pilgub Sulsel 2007 yang ada sekarang ini? Apa yang dipikirkan dan yang dikejar oleh dosen-dosen perguruan tinggi yang berkerumun bagai laron di sekitar orang-orang itu? Apakah mereka yang berkerumun itu adalah orang-orang oportunis? Atau mereka adalah bagian dari sistem yang dijalankan oleh calon-calon ini untuk mendustai rakyat Sulsel? Dimana letak kesadaran orang-orang yang menjadi tim sukses mereka? Tidak cukupkah kebohongan yang mereka peragakan selama ini? Kapan kepura-puraan mereka akan berakhir? Mengapa mereka yang bakal calon itu datang lagi sebagai noda hitam bagi Pilgub Sulsel 2007? Tidakkah lebih baik bagi mereka menghentikan niatnya dan membiarkan Sulsel membaik tanpa kehadiran mereka yang justru membebani kehinaan akibat kemiskinan bagi rakyat Sulsel? Sadarkah orang-orang yang memberikan dorongan bagi mereka untuk menjadi calon pada pilgub Sulsel 2007? Mengapa ada orang-orang yang berpikiran maju rela menjadi pembuat naskah petuah sang calon di radio dan televisi? Setia membuatkan kolom tetap di surat kabar? Mengapa ada orang-orang yang tega menjerumuskan dirinya ke lembah kehinaan dan nista dengan cara seperti itu?

Jika mereka tetap tidak mengurungkan niatnya, maka tak ada lagi harapan bagi warga Sulsel untuk melihat propinsinya mengalami kemajuan. Rakyat memang bergembira pada pesta Pilgub Sulsel 2007, tetapi sesungguhnya rakyat merayakan awal penderitaan dan kemunduran.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim