SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 15 Februari 2007

Wawancara

Maqbul Halim, direktur eksekutif lembaga studi informasi dan media massa (elsim) makassar.
Pewawancara: Yulanwar Maasyir
Wartawan Majalah VERSI
Makassar, 14 Februari 2007

Wartawan sebagai juru warta, tidak hanya dituntut untuk menyampaikan berita tapi lebih utama adalah menyampaikan kebenaran. Kalau ini dianggap sebuah tantangan idealis setiap insan pers yang mengaku profesional, bagaimana menurut Anda insan pers yang ada di daerah ini, khususnya di Makassar?

Betul, wartawan dituntut untuk menyampaikan kebenaran. Tetapi lebih dari itu, mereka malah dituntut untuk berpihak kepada kebenaran. Perkembangan terakhir dunia jurnalisme, mengutip buku Tom Rosienstel Cs “Sembilan Elemen Jurnalisme”, kebenaran itu justru cerita lain. Pemihakan yang ideal bagi jurnalis adalah kepada kepentingan warga (citizen). Istilah yang digunakan Rosienstel untuk itu lebih ekstrim, yakni mengabdi kepada kepentingan warga. Itulah yang menurut Rosienstel pengabdian pertama seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Kembali kepada kebenaran, kebenaran dalam jurnalisme adalah kebenaran fungsional. Bukannya kebenaran subtansial seperti yang sering dipercakapkan dalam diskusi tentang filsafat, misalnya. Kebenaran fungsional dalam hal ini adalah kebenaran yang terikat oleh kondisi faktual. Seseorang hari ini jadi tersangka pencurian dan kemudian diberitakan sebagai orang yang disangka mencuri adalah kebenaran fungsional. Terlepas bahwa di kemudian hari orang itu ternyata tidak terbukti bersalah di pengadilan.

Tantang yang kerap di hadapi oleh jurnalis di Makassar, khususnya adalah keleluasaannya menggali kebenaran itu. Ia harus berhadapan dengan tradisi tertutup. Jurnalis di Makassar, misalnya, kerap tidak berdaya ketika disuguhkan kebenaran yang telah didistorsi oleh nara sumber. Ia misalnya tidak berdaya berhadapan dengan sumber yang sudah piawai berdiplomasi. Jurnalis kerap terjebak oleh dokumen-dokumen atau lembaga-lembaga yang sering terbukti tidak jujur atau sering lalai berterus terang.

Apa yang paling urgen yang harus dimiliki oleh wartawan kita sekarang, dimana begitu banyak masalah dan persoalan, yang seharusnya menjadi lahan pemberitaan dan pengungkapan kebenaran kepada masyarakat?

Yang paling urgen adalah, jangan pernah berhenti belajar. Belajar bukan berarti sekolah kelas, ikut S2, ikut S3, dan seterusnya. Jurnalisme terus berkembang dan sangat pesat. Seorang jurnalis yang telah puas belajar karena sudah jadi jurnalis, pasti memandang remeh yang namanya belajar. Saya kerap sedih ketika ngobrol dengan jurnalis di Makassar, ternyata sebagian dari mereka asing ketika mendiskusikan buku-buku baru, khususnya yang menyangkut jurnalisme. Seorang jurnalis tidak akan pernah mengalami kemajuan bila hanya terus-menerus terapung di atas aktivitas liputannya yang rutin dan berulang-ulang. Ia juga mestinya secara rutin mengembangkan kapasitas dan kompetensinya.

Jurnalis juga, hemat saya, sudah waktunya memikirkan di mana posisi mereka di tengah perkara-perkara sosial dan ekonomi yang rumit yang dihadapi oleh masyarakat, rakyat, warga. Apakah mereka cukup memberitakan kebenaran tetapi tidak berdampak pada perbaikan hidup rakyat, warga, atau masyarakat? Jurnalis tidak perlu ahli di semua masalah yang mereka cover, tetapi mereka mestinya tahu bahwa jurnalis tidak hanya sebagai alat bagi pencari laba melalui bisnis pers, tetapi ada juga jeritan warga atau rakyat yang hendak dimerdekakan dari lilitan kesulitan dan kemelaratan struktural yang disupport oleh sistem.

Oleh karena itu, jurnalis tidak melulu canggih secara teknis. Cukup bahwa mereka peduli. Mereka sebaiknya lebih sering berada di tengah kesulitan warga atau rakyat untuk mendapatkan gambaran tentang situasi yang ada sekarang. Dengan sikap seperti itu, sebuah liputan jurnalisme yang mengangkat keagungan politisi atau birokrat atau suksesnya pembangunan misalnya, sulit terdikte. Kepentingan warga tidak menjadi sebutir pasir ketika wartawan larut bersama elit-elit. Mereka harus memperjelas perspektifnya menekuni profesi jurnalisme.

Saya kira, hal lain yang penting bagi jurnalis adalah penghayatan yang tinggi terhadap pekerjaan profesional itu. Ia tidak boleh berkerja sebagai jurnalis dalam rangka belajar berjunalis. Sebab, kelalaian dalam kerja jurnalisme adalah kefatalan yang kerap barakibat hukum. Ingat, penerapan hukum untuk kelalaian dalam kerja-kerja jurnalisme masih sangat labil. Jurnalis yang tidak terampil, akan menjadi mangsa pihak-pihak yang kepentingannya kerap dirugikan oleh kegiatan jurnalisme.

Menurut Anda, mengapa journalisme investigasi sulit diterapkan oleh wartawan kita?

Dua penyebab, kira-kira! Pertama adalah SDM tidak cukup memadai. Untuk menjalankan liputan investigasi, dibutuhkan jurnalis dengan kemampuan jurnalisme yang mumpuni, di atas ambang rata-rata umumnya keterampilan yang dimiliki jurnalis. Selain SDM itu, umumnya perusahaan penerbit pers dan stasiun radio dan televisi berita di Makassar tidak mempunya dana yang cukup untuk memprogramkan liputan investigasi.

Hal lain yang saya ingin katakan mengapa liputan investigasi masih sulit dikembangkan oleh perusahaan penerbit pers di Makassar adalah karena rumitnya menghasilkan sebuah rubrik investigasi. Majalah Tempo saja megap-megap mengongkosi rubrik seperti ini. Saya pernah mendapat informasi dari kawan saya bahwa setiap edisi, Tempo menghabiskan anggaran Rp 80-120 juta. Liputan investigasi biasanya memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan organisasi liputan yang rumit, perencanaan yang matang, dan seterusnya. Saat ini, saya belum bermimpi bahwa akan ada penerbit pers di Makassar dalam waktu dekat ini yang mampu mengadakan rubrik investigasi.

Sebagai pemimpin sebuah organisasi yang mengawasi kerja wartawan, keluhan apa yang paling Anda sering dapatkan dan terima dari masyarakat maupun para pejabat?

Saya ingin meluruskan, Elsim tidak mengawasi kerja jurnalis. Yang mengawasi kerja jurnalis itu, ya, perusahaan yang mempekerjakannya. Mungkin dari organisasi profesinya, seperti AJI, IJTI, PWI, dan sebagainya. Elsim hanya memonitoring saja pemberitaan, khususnya isi berita. Elsim tidak mengawasi bagaimana sebuah berita berproses dari liputan oleh reporter hingga dicetak lalu kemudian sampai di tangan pembaca. Elsim hanya memberi penilaian terhadap berita-berita yang mereka hasilkan (dimuat oleh media) berdasarkan tata cara tertentu (ada teori dan metodenya).

Tentang keluhan, memang Elsim biasa juga menerima keluhan dari masyarakat. Tetapi keluhan itu biasa menyalahkan jurnalisnya dan mengabaikan berita-berita yang mereka hasilkan. Tapi, Elsim pada dasarnya tidak memfasilitasi pengaduan untuk mencapai sebuah penyelesaian. Core Bussiness Elsim tidak pada penindakan atas aduan masyarakat. Elsim memonitoring berita-berita.

Lalu apa solusi yang eLSIM berikan?

Solusi yang dapat Elsim tawarkan adalah penggunaan hak jawab. Tapi sebagian orang berpikir bahwa penggunaan hak jawab itu tidak impas dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh media yang melakukan pelanggaran atas diri mereka. Kalau buntu pada tahap itu, yang dirugikan juga tidak perlu langsung menempuh proses hukum acara. Masih ada peluang untuk mengajukan pengaduan ke Dewan Pers.

Pada berbagai kesempatan, Elsim juga berusaha meyakinkan bahwa menempuh jalur hukum, khususnya pidana pencemaran nama baik (Hatzai Artikellen) hanya akan melukai Indonesia yang baru keluar dari mulut rezim yang represif terhadap kebebasan pers. Saya sendiri sangat percaya bahwa Dewan Pers mampu melakukan sesuatu yang menguntungkan pengadu tanpa mengancam kebebasan pers. Tetapi, putusan kasasi Mahkamah Agung yang membebaskan Ahmad Taufiq dan kawan-kawan dari dakwaan atas kegiatan jurnalismenya, adalah sebuah preseden yang akan membuka mata orang-orang yang kerap dirugikan kepentingannya oleh pers agar tidak sembarangan menggunakan pasal Hatzai Artikellen itu.

Anggaran buat pers kembali berhasil diloloskan oleh DPRD Kota Makassar. Menurut Anda, sejauh mana manfaat anggaran ini untuk pers? Tidakkah Anda menilai bahwa ini dapat dipakai sebagai penyuapan terselubung dari oknum anggota dewan yang bermasalah kepada wartawan?

Saya ingin luruskan bahwa anggaran itu telah dihapus dari APBD Kota Makassar 2007 berdasarkan informasi Syamsul Rizal MI, panitia anggaran DPRD Kota Makassar. Ini juga tidak tepat kalau dinilai penyuapan terselubung oleh anggota dewan karena yang mengusulkan anggaran itu adalah pemerintah kota Makassar dan DPRD hanya menyetujui atau tidak.

Soal manfaatnya, itu sangat relatif. Kalau mau dievaluasi bermanfaat atau tidak, ya pemerintah kota Makassar yang harus memberikan keterangan soal itu. Tetapi, sebelum itu, saya kira Pemkot sudah punya rencana program pembinaan pers yang tersusun rinci dalam bentuk proposal sebelum anggaran itu diusulkan ke dewan. Kalau ternyata itu juga tidak ada, saya kira ini sesuatu yang harus diperjelas.

Tetapi, bagi saya, pembinaan wartawan itu adalah tanggung jawab perusahaan penerbit yang memperkerjakan wartawan itu. Bukan tanggung jawab Pemkot Makassar. Tangung jawab pemkot adalah, ya, sesuai tupoksinya. Terus terang, bantuan memang kerap membuat pihak yang dibantu tidak berdaya. Contoh, ya Indonesia terhadap AS atau Australia. Indonesia tidak bisa kritis dan tegas. Mungkin jurnalis yang dibantu oleh anggaran APBD juga seperti itu.

Elsim pernah mendapat cipratan dari anggaran ini? Lalu siapa saja, PWI? AJI?

Elsim dari dulu tidak berminat berprogram dari anggaran bantuan seperti itu. Itu kan bantuan untuk jurnalis, bukan NGO. Silakan tanya ke pak Wali, pihak-pihak mana atau siapa-siapa saja yang selama tahun 2006 lalu menerima bantuan sebesar Rp 1,4 miliar itu.

Proses Pilkada gubernur Sulsel terus bergulir. Menurut Anda, benarkah pers kita cenderung berpihak pada salah satu kandidat, tanpa dapat dihindari? Sebenarnya, siapa memanfaatkan siapa?

Berpihak atau tidak berpihak, tergantung perspektif yang digunakan untuk menuding. Seorang menuduh koran S misalnya memihak ke si-A, ya itu karena ia fansnya kandidiat B. Ketika berita koran S misalnya cenderung negatif terhadap kandidat A, maka fans kandidat B mengatakan bahwa koran S telah memberitakan kebenaran yang sesunguhnya. Jadi, ini perdebatan yang bisa tidak berkhir dalam 7 x 24 jam.

Elsim punya perangkat penilaian yang dapat dipertangung jawabkan secara akdemik. Tetapi itu pun hanya mengungkap indikasi-indikasi keberpihakan yang digali dari pemberitaan media yang ada. Kalau pers harus berpihak, ya, berpihaklah kepada kepentingan warga. Berpihaklah kepada pembaca, pendengar, apa yang menjadi kepentingan mereka yang tidak sesaat. Saya kira, di hadapan kepentingan warga, Pilgub Sulsel itu hanya soal kecil yang tidak berarti bagi kepentingan rakyat kecil. Kalau pers kita jor-joran pada masalah pilkada belaka itu, berarti minatnya terhadap kepentingan warga atau rakyat dipertanyakan.

Tapi, lagi-lagi. Pilkada adalah issu yang menjanjikan oplah, iklan, dan rejeki nomplok bagi perusahaan penerbit. Saya percaya jurnalis, pasti bisa menahan diri untuk tidak memihak pada Pilgub nanti. Tapi saya tidak bisa menjamin kebijakan perusahaan yang mendikte idealisme redaksi tidak berpihak dalam hal ini.

Profesi wartawan sering dipakai sebagai alat pemeras, menakut-nakuti, atau gagah-gagahan. Selain fenomena wartawan amplop, wartawan tanpa suratkabar, dan wartawan bodrex, yang tak kalah merusaknya adalah munculnya wartawan yang memiliki rangkap kerja di tempat lain. Menurut pendapat Anda, wajah pers seperti ini apakah sebuah kecelakaan jaman, dampak industri media yang kebablasan, atau akibat kemiskinan struktural sehingga tercipta ketergantungan kepada yang berpunya seperti kekuasaan?

Tidak serumit itu. Kenapa juga nara sumber atau pihak-pihak sudi diperas oleh wartawan. Kan bisa menolak diperas. Mental jurnalis yang doyan amplop itu memang mental buruk, tapi lebih buruk pihak-pihak yang memberikannya amplop.

Saya juga ingin mengatakan bahwa mengaitkan antara wartawan tanpa surat kabar, amplop, pemerasan dengan munculnya kebebasan pers adalah cara berpikir yang tidak logis. Itu goblok. Tidak pernah belajar logika berpikir. Itu seperti menuduh negara bangkrut karena rakyat terlalu banyak menuntut hak-haknya. Itu goblok.

Istilah wartawan ‘pres release’, ada yang salah dengan wartawan model ini?

Itu tidak salah. Itu hanya model, kecenderungan. Jurnalis seperti itu tidak perlu repot, mengandalkan omongan karena “talk is cheap”. Jurnalis yang seperti itu, ya, jurnalis yang malas. Hampa motivasi untuk maju.

Untuk menjadi seorang wartawan yang profesional, sebenarnya apa saja yang menjadi syarat mutlak untuk dimiliki?

Cerdas (berwawasan), terampil, menguasai bidang jurnalisme, tekun, giat belajar, berintegritas. Tapi itu semua tidak perlu disertifikasi seperti layaknya dokter praktek. Biarlah ia ditolak oleh perusahaan pers karena tidak memenuhi persayaratan itu. Itu cara-cara orde baru dan hanya akan menjadi cikal pembungkapan kebebasan pers dan berekspresi. Jangan ada pihak yang berpikir tentang itu.

Anda melihat itu yang tak banyak dimiliki oleh tak sedikit wartawan kita sekarang?

Sebagaian besar itu sudah dimiliki. Yang paling banyak tidak dimiliki adalah terampil, kritis dan tekun.

Baik. Setelah lama berkecimpung dan kini menjadi pemimpin di eLSIM, apa target dan sasaran eLSIM ke depan?

Seperti saya kemukakan sebelumnya, Elsim masih akan lebih banyak bergelut pada kegiatan monitoring. Sebelumnya memang Elsim pernah menjalankan program-program untuk peningkatan SDM jurnalis. Tetapi sekarang itu dianggap sudah lebih baik kondisinya dan juga rata-rata perusahaan penerbit yang di Makassar sudah mampu membuat training sendiri untuk jurnalisnya.

Mengenai memperbaiki iklim kebebasan pers dalam rangka memelihara demokrasi, itu tetap menjadi perhatian utama elsim. Bagaimana agar Pilgub Sulsel 2007 nantinya tidak justru menjadi kontraproduktif terhadap demokrasi itu sendiri akibat kegiatan-kegiatan jurnalisme yang dijalan oleh lembaga-lembaga pers penerbitan dan penyiaran.

Lalu bagaimana pendapat Anda dengan suara yang mengatakan bahwa eLSIM hanya batu loncatan untuk menduduki jabatan penting lainnya, sebagaimana banyak anggota-anggota eLSIM telah berhasil lakukan?

Andalah yang kesekian kalinya mengatakan itu. Tetapi nyatanya, siapa yang menyebut almarhum Prof Muis menjadikan elsim sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan guru besar di Unhas atau menjadi guru besar Universitas Sahid Jakarta? Siapa pula yang menyebut bahwa Pak Aidir itu ke KPU Sulsel karena kedudukannya di Elsim? Itu kan tidak beralasan. Itu juga terjadi di LBH sebelum Mulyana W. Kusuma ke KPU. Itu juga terjadi di ISAI Jakarta sebelum Bimo Nurgroho ke KPI.

Tapi kalau orang menganggap itu sesuatu yang salah, mereka sendiri yang repot memikirkan itu. Kira-kira kalau mereka di elsim terus ditawari jadi menteri, misalnya, apa mereka menolak? Saya kira mereka juga bukan malaikat yang sesuci dan sebaik itu. Elsim sebagai batu loncatan, ya, barangkali memang. Tetapi apakah itu salah? Apakah itu tidak etis? Entahlah.

Terakhir. Coba Anda definisikan dalam satu kalimat pendek, wartawan yang kerjanya cuma menunggu berita di humas-humas kantor pemerintahan!

Itu wartawan kurang kerjaan.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim