SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 09 Februari 2007

PP No 37/2006 : Regulasi Melukai Hati Rakyat

Oleh Hisar Sitanggang

Jakarta (ANTARA News) - Penolakan atas PP No 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD makin meluas, karena regulasi yang mengatur tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD itu dinilai sebagai bentuk pelegalan korupsi.

Aksi penolakan itu tidak hanya dilakukan para aktivis, mahasiswa, atau LSM, juga para partai- partai politik. Banyak anggota DPRD yang juga menyatakan penolakannya secara terbuka, padahal pemerintah "terpaksa" memberlakukan regulasi itu karena mendapat tekanan-tekanan politik terutama dari anggota dewan itu.

Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW), menuding PP No 37/2006 itu merupakan legalisasi korupsi, karena itu ia menuntut peraturan itu dicabut. Tudingan yang sama juga disampaikan banyak elemen lainnya di berbagai wilayah Indonesia, seperti LSM ESB Banjarmasin.

Gabungan 10 LSM di Jakarta belum lama ini dengan tegas meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD.

Bahkan, Ketua Pusat Anti Korupsi, Denny Indrayana mengharapkan Presiden untuk tidak malu mengatakan PP No 37 itu salah.

Pemberlakuan PP No 37 tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD itu memang memberatkan keuangan negara dan keuangan daerah, terutama aturan yang mewajibkan pemerintah daerah memberikan tunjangan rapel mulai Januari 2006.

Untuk membayar rapel 15 ribu anggota DPRD di seluruh Indonesia, diperkirakan diperlukan anggaran hampir Rp1,2 triliun. Ironisnya, dari 434 daerah di Indonesia, hanya 37 daerah yang mampu membayar rapel tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tersebut, seperti Jakarta dan Kutai Kartenagara.

Dana tunjangan DPRD itu jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi penanganan flu burung yang nilainya 61 juta dolar AS untuk 2007. Padahal penanganan flu burung yang semestinya diutamakan karena telah berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, terutama bagi rakyat kecil.

Laporan akhir tahun 2006 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyebutkan terjadi penurunan wisatawan manca negara sebanyak 4 persen, dan salah satu penyebab utamanya adalah maraknya penyakit flu burung di Indonesia.

Kenaikan tunjangan itu juga kurang tepat di tengah meningkatnya jumlah penduduk yang miskin maupun yang tidak memiliki pekerjaan di Indonesia.

Penduduk miskin Indonesia tahun 2005 mencapai 35,1 juta orang, hampir miskin 26 juta orang, dan di bawah garis kemiskinan mencapai 61,1 juta orang. Penduduk miskin di tahun 2006 kemudian meningkat menjadi 39,1 juta orang, hampir miskin 28,6 juta orang, dan di bawah garis kemiskinan menjadi 67,7 juta orang.

Sedang penduduk yang tidak memiliki pekerjaan mencapai 41,1 juta orang, suatu angka pengangguran yang besar bagi negeri berpenduduk 220 juta.

Di tengah banyaknya bencana alam, kecelakaan trasportasi, merebaknya penyakit flu burung, dan membengkaknya angka pengangguran dan penduduk miskin, momentum kenaikan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional DPRD adalah tidak tepat dan melukai hati rakyat.

Ketua Forum Rektor Indonesia, Sofian Efendi, dalam diskusi di The Habibie Center belum lama ini bahkan menyebutkan PP No 37 tahun 2006 itu sangat menyakitkan karena memperkaya para wakil rakyat, dan melukai hati rakyat yang sebagian besar masih hidup miskin.

Hasil riset yang dilakukan Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan, jika PP Nomor 37 Tahun 2006 diberlakukan maka pendapatan Ketua DPRD Provinsi menjadi 36,269 juta.

Angka ini melebihi pendapatan Ketua Mahkamah Agung yang hanya mendapat Rp 24,390 juta dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dibayar Rp23,940 juta.

Berdasarkan PP itu, maka pendapatan yang diterima Wakil Ketua DPRD Provinsi sebesar Rp26,9 juta, anggota DPRD Provinsi sebesar Rp22,1 juta, Ketua DPRD Kabupaten/Kota sebesar Rp25,3 juta, Wakil Ketua DPRD Kabupaten/Kota sebesar Rp18,1 juta, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota mencapai Rp16,8 juta.

Kalangan kritis UGM yang tergabung dalam PuKAT itu juga mengungkapkan pendapatan DPRD itu jauh melebihi pendapatan Gubernur yang hanya Rp8,4 juta, Bupati Rp5,8 juta, atau seorang guru besar bergolongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun yang hanya mendapatkan Rp6,3 juta per bulan.
Revisi
Aksi penolakan PP No 37/2006 tetap marak, sementara Parpol- Parpol telah mengambil keuntungan politis dengan memerintahkan kader-kadernya di DPRD untuk menolak rapel tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tersebut.

Menurut sejumlah kalangan, ketika DPRD menolak kenaikan tunjangan itu akibat maraknya aksi penentangan oleh rakyat, sebenarnya itulah momentum terbaik bagi pemerintah untuk merevisi PP No 37 tahun 2006 itu.

Sikap penolakan DPRD dan parpol itu memang merupakan bentuk inkonsistensi, karena kenaikan tunjangan itu sebenarnya berdasarkan tekanan politik Parpol kepada pemerintah.

Ketika PP No 110/2000 dibatalkan oleh Mahkamah Agung, DPRD telah berulangkali mendatangi Depdagri untuk meminta diterbitkannya pengganti PP tersebut.

Banyak kalangan bahkan mengharapkan pemerintah untuk tidak malu- malu dan berani membatalkan peraturan pemerintah itu.

Dengan demikian, stigma "melegalkan korupsi politik" bisa direduksi, dan PP No 37/2006 yang ditandatangani pada 14 November 2006, namun diberlakukan mulai Januari 2006 itu, tidak menimbulkan permasalahan sosial baru.

Namun, ada juga yang mengharapkan PP No 37 tahun 2006 itu direvisi saja melalui Peraturan Presiden (Perpres) untuk menyeimbangkan tuntutan rakyat dan tunturan Parpol-DPRD.

Selain itu, DPRD semestinya juga memiliki rasa keadilan dengan mengambil tunjangan komunikasi dan dana operasional yang terendah, dan bukan yang maksimal. Jika mengambil tunjangan maksimal, maka pendapatan DPRD itu menjadi sangat tidak proporsional jika dibandingkan dengan PAD-nya.

Melihat maraknya aksi penentangan di berbagai daerah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memerintahkan Mendagri M Ma'ruf untuk mengkaji ulang PP No 37 tahun 2006 itu yang disesuaikan dengan kemampuan daerah.

PP 37 tahun 2006 tersebut sebenarnya sudah lama dibahas oleh pemerintah. Sebelum PP 37, tidak ada batasan-batasan pemberian tunjangan DPRD sehingga menimbulkan perbedaaan yang tajam antara daerah kaya dan daerah yang kurang mampu.

Kemudian Mendagri mengeluarkan SE No 188 tanggal 4 Januri 2006 yang menyatakan bahwa berbagai macam tunjangan, seperti upah kerja, uang lelah, dan insentif khusus anggota DPRD, sebagaimana diatur dalam Perda, adalah tidak sah.

Padahal di sejumlah daerah, penghasilan tambahan itu sudah disampaikan kepada anggota dewan, dan dianggarkan dalam APBD 2006. Misalnya, Pergub DKI No 114 tahun 2005 tertanggal 10 September 2005 telah menetapkan pemberian tunjangan komunikasi Rp2 juta setiap kali anggota dewan menerima tamu.

Sehubungan adanya SE Mendagri itu, DPR melakukan tekanan politik kepada pemerintah untuk segera menerbitkan PP yang mengatur masalah gaji dan tunjangan DPRD. Draft PP No 37 tahun 2006 itu disusun pada Februari 2006, kemudian diserahkan kepada kepada Sekretariat Negara pada Maret 2006, namun baru disahkan Presiden pada 14 November 2006.

Suara-suara yang menolak atau menuntut revisi PP No 37 itu dan rasa keadilan dalam penggunaan anggaran tentunya tidak boleh diabaikan oleh pemerintah.(*)


Copyright © 2006 ANTARA



30 Januari 2007 20:57

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim