SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 23 Januari 2007

Foto Tanpa Kisah

Oleh Maqbul Halim
(23 Januari 2007)

Seseorang, biasanya amat bahagia ketika menyimak foto dirinya. Bangga berbaur bahagia ketika disimak oleh anggota keluarga sendiri. Congkak campur bangga ketika disimak oleh tetangga-tetangga. Angkuh nan congkak ketika disaksikan pada dinding pos kamling. Congkak lagi jumawa tatkala foto diri terpajang di mulut gang. Jumawa dan “rendah diri-memohon” saat tegak-jangkung di persimpangan jalan.

Lisa Gherardini, wanita dibalik lukisan Mona Llisa, haru apa gerangan yang ia alami andaikan masih hidup hingga kini. Rupa Monalisa dari tangan Leonardo Da Vinci telah disepakati para ahli sebagai pemberian Mona Llisa (juga pelukisnya) kepada dunia.

Llisa tidak sedang menanti. Ia bisa mengelak dari suatu nasib. Tapi ia tak bisa menjadi subyek terhadap takdirnya. Ia tidak bisa menikmati decak kagum dan teka-teki sang maestro dan ahli di kemudian hari setelah seluruh umat gereja propinsi Florence menghadiri pemakamannya pada Juli 1542.

Dalam lingkaran bingkai yang bergelantung kaku di Museum Louvre, Paris, ia hanya tersenyum. Sebuah senyum yang masih teka-teki hingga kini. Tanpa harap-menanti, jutaan tamu tak diundang datang setiap tahun untuk mengamati lukisan dirinya lamat-lamat. Kalau pun ia bahagia, siapa yang tahu.

Bruce Willis adalah nasib yang lain tapi dengan takdir mujur. Ia menganyam nasib sebagai aktor selama 26 tahun. Ia memulai debut nasibnya pada serial televisi laris Moonlighting pada dekade 1980-an. Sejak itu, ia membebani hidupnya dengan obsesi supaya namanya terpajang pada trotoar terkenal Walk of Frame di Hollywood.

Ia ingin namanya bersama aktor lain terbaca oleh pengunjung di trotoar bertabur bintang itu. Setelah mendapat pujian dengan penampilannya dalam Pulp Fiction, The Six Sense, dan Twelve Monkeys, kesempurnaannya sebagai seorang pesohor Hollywood pun tercapai (Republika, 01/12/06). Ia dianugerahi bintang dan nama terpatri di tebing trotoar.

''Saya dulu suka datang ke sini dan memperhatikan bintang-bintang ini dan saya tak bisa membayangkan apa yang Anda akan lakukan bila Anda mendapatkan bintang itu,'' tuturnya setelah menyaksikan bintangnya menjadi bintang yang ke-2.321 yang ditanam di trotoar itu.

Nun di Indonesia medio 1966, Jenderal TNI Achmad Yani tidak sempat menyaksikan patung tubuhnya yang berdiri tegar dengan rentangan lengan menjolor ke depan menunjuk. Yani tidak menyuruh Jenderal TNI Soeharto membuat patungnya, seperti Llisa kepada Da Vinci. Pada kematiannya, Yani mungkin tak merasakan gaharu apapun dengan patung dirinya itu.

******

Setiap patung, foto, atau lukisan adalah sebuah tanda yang berarti ujung. Tapi itu tidak berarti akhir. Ia hanya batas, sejenis lorong penghubung, dari suatu sosok atau peristiwa ke memori kolektif, perawatannya ada pada citranya. Oleh karena itu, peristiwa tidak bisa mengisahkan kejadiannya, seperti produksi kecap tidak bisa mengiklankan dirinya, kata politisi Amir Madjid pada suatu ketika dalam Januari 2006 di Makassar.

Willis bisa saja memiliki lahan hingga belasan hektar lalu kemudian mendesain trotoar menyerupai Walk of Frame. Ia bisa leluasa memahatkan namanya pada dinding pualam di tebing jalan pada lahannya. Tapi kita juga yakin, kalau pun Willis melakukan itu, ia akan serupa dengan foto figura si Pulan pemalas yang hidupnya nihil kisah hero tapi terpajang di gapura gerbang kota mati.

Dengan semua dorongan dan kekuatan, tokoh dan peristiwa berjalin-kelindan, dan zaman selanjutnya menemukannya sebagai sejarah. Di sinilah, foto, lukisan, dan patung diartikan sebagai sejarah yang bukan narasi, titik sebuah epos. Menatap sebuah foto seorang adalah upaya mengait untaian kisah-kisah heroik dan unik di masa silam.

Ketika kita menatap foto seorang yang hampa kisah-kisah heroik dan unik dalam hidupnya, perasaan kita mungkin tidak berbeda ketika melihat foto seekor kelinci. Tentu saja, karena tak seekor pun kelinci pernah menjadi penoreh sejarah.

Perasaan kita tentang dunia silam akan berbeda ketika kita menatap foto Jenderal Sudirman, foto Jenderal H.M. Jusuf, Abraham Lincoln, lukisan Monalisa, patung Gustave Eiffel dan seterusnya. Bandingkan ketika anda menatap foto ayam kampung, kucing persia, itik Manila, dan lain-lain. Foto-foto yang terakhir tidak membawa kita pada sejarah tertentu. Kita hanya bisa mengenalinya tapi belum tentu memahami sesuatu dari masa silam.

*****

Dunia di kemudian hari telah terletak jauh dari era si jenius zaman pencerahan, Leonardo Da Vinci. Digital Printing lebih hemat dan akurat ketimbang Da Vinci. Foto, lukisan, kalender, baliho, dan sejenisnya tidak mesti berarti titik sebuah epos. Tidak mesti sebuah penanda sejarah. Dari sebuah baliho, ambisi lebih penting ketimbang sejarah. Ambisi adalah masa depan dan sejarah adalah masa lalu.

Tetapi Willis tidak berada di wilayah jenis ambisi di atas. Ia tidak ingin menanam sendiri namanya pada Walk of Frame. Ia ingin namanya ditanam oleh kiprahnya dari Pulp Fiction, The Six Sense, dan Twelve Monkeys, dan lain-lain. Ia tetap bertekad bahwa dibalik nama itu ada sejarah Hollywood yang sebagian berasal dari dirinya. Willis tidak ingin seperti foto si Pulan di gapura gerbang kota mati, foto yang tidak mewakili fakta sejarah.

Siapa yang berdaya melawan Digital Printing? Mesin ini tidak mampu menghayati dan memberi makna. Ia tidak bisa mentransformasi peristiwa, aksi dan situasi kepada sosok tokoh melalui hasil cetakannya. Jika anda ingin foto-foto tokoh yang merefleksikan peristiwa, aksi dan situasi monumental, bertandanglah ke museum-museum. Di tempat itu tak ada bintang iklan yang kaya rupa tapi miskin kisah.

Tiliklah, sejarah apa yang dapat dimaknai dan dipahami dari seorang bintang iklan shampo pada billboard di pinggir jalan? Tetapi, dunia yang tengah kita peragakan senantiasa membuat kita frustrasi. Seorang secara otomatis dapat terdaulat menjadi juru masa depan cukup dengan puluhan ribu helai foto, puluhan baliho, ratusan kalender. Digital Printing dituding sebagai biang. Tokoh-tokoh tumbuh tanpa kendali dan serampangan.

Tokoh-tokoh penggerak zaman yang menjadi kunci masa depan pada akhirnya berwujud imajiner. Pada gilirannya, dari ranah Digital Printing, VCD, dan Kalender, masa depan zaman pun dipaksa menjadi imajiner. Selanjutnya, keadilan, kepedulian, solidaritas dan sebagainya dari tokoh-tokoh penggerak zaman itu juga imajiner. Di bawah tekanan frustrasi dan geram, korban-korban zaman yang konkrit itu hanya melawan bayang-bayang. Korban-korban itu tidak lain adalah mereka yang memiliki minat tinggi membaca baliho, kalender, stiker dan brosur.

Suwaib, mahasiswa S3 Univeristas Padjadjaran Bandung, tak lama setelah usai penghitungan akhir Pilkada Gubernur Propinsi Banten akhir 2006 lalu, memberi komentar singkat pada radio lokal di Serang, “Selamat bagi warga Banten yang telah memilih foto-foto. Anda kini telah mempunyai foto gubernur, bukan lagi foto calon gubernur.”

Patung Ahmad Yani, lempengan logam nama Bruce Willis, dan lukisan Monalisa adalah penanda yang tidak sederhana. Tilas-tilasnyalah yang memashurkan. Mungkin bijak berkendara sambil tertunduk agar foto-foto jalanan tidak memberi tahu.

Penulis: anggota komunitas ëLSIM Makassar.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim