SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 23 Desember 2006

Tom and Jerry Ternyata Tidak Berbahaya

Oleh Maqbul Halim
(12 Nopember 2006)

Minggu 15 Oktober 2006 silam, Harian Nasional Tribun Timur melansir berita headline dengan judul “KIPD: Tom and Jerry Bahaya Buat Anak”. Selain dari judul itu, tercatat juga film anak-anak lainnya seperti Shin-Chan, Pokemon, Conan, dan sebagainya. Yang dimaksud KPID dalam judul tesebut adalah Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan.

Pernyataan institusional KPID Sulsel ini diklaim sebagai hasil riset. Kata “riset” itu memaksa kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah, misalnya, yang konon mainannya orang-orang kampus perguruan tinggi. Andaikan ini hasil survey, kira-kira pertanyaan ilmiahnya antara lain: berapa jumlah sampelnya, berapa marjin erornya, lokasi sampel dimana, dan karakteristik sampelnya bagaimana? Kalau misalnya riset analisis, metode analisisnya apa, paradigma (teori) riset apa yang digunakan, dan sebagainya.

Karena berita tesebut tidak dilengkapi dengan latar belakang metode riset dan serta cuplikan analisisnya, sebagaimana lazimnya hasil penelitian atau riset yang dipulikasikan oleh media harian, maka kesimpulan yang dinyatakan itu pun lebih patut disebut sebagai hipotesis. Sampai pada titik ini, sesungguhnya Tribun Timur juga terbilang tidak kreatif mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau keberatan ilmiah atas hasil riset ilmiah itu. Indikasi itu bisa dilihat dari tiadanya metode analisis yang digunakan riset itu.

Oleh karena itu, cukup beralasan menyebutkan bahwa apa yang dideklarasikan KPID Sulsel itu hanyalah hipotesis dari sebuah teori. Teori apa itu, berita tersebut juga tidak terang. Nilai-nilai yang terungkap dari film-film itu, seperti nilai kekerasan, pornografi, permusuhan, kira-kira hanyalah asumsi-asumsi belaka. Asumsi-asumsi yang diriset inilah yang kemudian dijadikan pernyataan hipotetik oleh KPID di hadapan jurnalis pada Minggu, 15 Oktober itu.

Perspektif Masalah
Mencermati nilai-nilai yang menjadi highlight “hipotesis” tesebut, boleh jadi metode riset yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) kualitatif. Asumsi dasarnya adalah bahwa perilaku buruk anak-anak ditentukan oleh tontotan mereka terhadap film-film kartun yang bernilai buruk. Dalam ilmu komunikasi, teorema di atas dikenal dengan nama Teori Terpaan (cultivation theory). Jika benar bahwa asumsi dasarnya berasal dari Teori Terpaan, berarti hulu perkaranya ada berkembang dari perspektif Behaviorisme (salah satu dari empat perspektif besar dalam psikologi dan digelari Mazhab Kedua).

Film kartun Tom and Jerry yang dinilai KPID Sulsel berbahaya bagi anak-anak jelas didasarkan pada teori dan perspektif ini. Film ini ditengarai menyajikan aksi-aksi sadisme. Jika anak-anak terus menonton film ini, anak-anak itu akan berperilaku sadis juga. Jika peristiwa ini dikemas ke dalam model perspektif Beharviorisme, maka rumusnya adalah Stimulus – Respon (S-R). Jika stimulusnya (materi tontonannya) negatif, maka negatif pula responnya (perilaku anak itu).

Perspektif ini terbilang sudah usang dalam dunia psikologi, khususnya dalam psikologi komunikasi (Jalaluddin Rakhmat, 2001). Ilmu alam yang sangat positivistik itu sesunggunya sedang menjajah ilmu-ilmu sosial, termasuk psikologi, melalui Behaviorisme ini. Perpspektif ini, oleh A. Fisher (1978), dianggap mendehumanisasi manusia.

Manusia dalam perspektif ini ibaratnya seperti mesin, tidak punya inisiatif dan belaka melaksanakan perintah (Homo Mechanicus). Kira-kira serupa dengan logam besi yang kalau dipanaskan hingga 1.000 Co, pasti akan meleleh. Tidak ada peluang bagi besi itu, misalnya, bersikap malas atau menolak meleleh seperti halnya manusia yang mempunyai fungsi-fungsi internal organisme.

Multi Perspektif
Dalam mengkonsepsi perilaku manusia terhadap efek tontonan film, misalnya, Behaviorisme hanyalah salah satu dari empat perspektif besar dalam Psikologi Komunikasi untuk mempelajari hal tersebut. Tiga perspektif sisanya adalah Psikoanalisis (Mazhab Pertama), Kognitif, dan Humanisme (Mazhab Ketiga). Psikoanalisis memandang manusia sebagai mahluk berkeinginan (homo volens) dengan tiga subsistem kepribadian; Id, Ego, dan Super Ego. Kognitif memandang manusia sebagai mahluk berpikir (homo sapiens), dimana perilaku manusia ditentukan oleh pikirannya.

Yang terakhir adalah perspektif Humanisme yang memandang manusia sebagai mahluk bermain (homo ludens). Perspektif ini mengedepankan aspek-aspek yang sangat pribadi dalam diri manusia untuk berperilaku, yakni motivasi. Apa rupa bahaya efek Tom and Jerry itu bagi anak-anak yang menontonnya, sangat tergantung dari pilihan perspektif yang digunakan. Kalau KPID Sulsel meninjau isi film-film itu bagi perilaku anak-anak dengan perspektif Kognitif, kemungkinan tidak berbahaya karena anak-anak punya potensi dewasa, yaitu bisa berpikir.

Manusia, termasuk anak-anak, adalah mahluk yang memiliki fungsi organisme yang bekerja secara manusiawi. Dalam model Psikologi Komunikasi, fungsi internal organisme itu dilambangkan dengan “O”. Dalam rumusan Behaviorisme yang dijadikan dasar berpikir oleh KPID Sulsel di atas, elemen “O” ini tidak berlaku. Yang berlaku adalah rumus S-R.

Dalam perspektif yang tidak mekanistis seperti Psikoanalisis, Kognitif, dan Humanistis, elemen “O” di atas menjadi bagian integral sehingga rumusnya menjadi “S-O-R” (Stimulus, Organisme dan Respon). Hipotesisnya adalah film-film buruk yang ditonton oleh anak-anak, tidak serta-merta membuat perilaku mereka buruk. Dalam hal ini, fungsi internal organisme (O) yang menentukan, bukan stimulus (S).

Fungsi-fungsi internal Organisme mencakup sensasi (obyek yang diindera), assosiasi, persepsi (cara memandang), memori (ingatan-ingatan), dan berpikir (cara dan kemampuan berpikir). Fungsi internal inilah yang mampu mengontrol lingkungan eksternal sekaligus menghumanisasi manusia agar tidak seperti mesin atau material logam.

Fakta-fakta Sejarah
Faktanya, sistem pengajaran di sekolah yang beraroma Behavioristis selama ini, lebih banyak tidak tepat janji. Para koruptor dan pejahat yang menjadi pejabat, ustad, tokoh masyarakat, dokter, profesional, menteri, pengusaha, dan lain-lain yang berusia 35 tahun ke atas saat ini, umumnya pernah mengenyam pelajaran sekolah Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di masa Orde Baru. Tidak cukup dengan itu, mereka dihadang dengen Penataran Pedoman, Penghatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) setiap hendak masuk SMP, SMA(U), Diploma, PT, dan Prajabatan bagi PNS.

Selain dari itu, saat Orde Baru ketika itu, setiap hari juga mereka disuguhi program-program tayangan TVRI yang betul-betul bersih dari anasir-anasir kekerasan, porno, permusuhan, dan sejenisnya. Musik dan lagu di RRI dan studio rekaman yang menjadi bagian penting hidup manusia Indonesia, pun juga tidak dibiarkan mengkhianati moral Pancasila dan agama. Apa yang dihasilkan oleh semua stimulus massif itu dalam tinjauan Behavioristis adalah kekeliruan. Itulah sebabnya sehingga cara pandang ini disebut usang.

“Hipotesis” KPID Sulsel di atas yang terkesan behavioristis itu betul-betul sangat simplistis dan terus setia bersikap eskapis terhadap kompleksitas perilaku manusia, baik secara sosial maupun secara individual. Perkara perilaku manusia di hadapan efek media massa direduksi menjadi persoalan mekanistis. Perilaku manusia digaransi hanya menurut pada logika linear dengan mengesampingkan eksistensi fungsi internal Organisme pada diri manusia yang paling pribadi.

Jika kita setuju dengan eksistensi fungsi internal Organisme, maka masa depan perilaku anak-anak ada pada pendampingan fungsi-fungsi Organisme itu. Perkembangan psikologis fungsi Organisme yang tidak sehat pada anak akan memberi kontribusi yang signifikan pada perilaku mereka di kemudian hari. Oleh karena itu, kecemasan mengenai perilaku jahat anak-anak semestinya tidak ditarik dari titik Stimulus, melain dari ruang Organisme. Perkara bukan pada tontonannya, tetapi pada sehat tidaknya kondisi internal Organisme seorang anak.

Perspektif ini tidak menempatkan film-film atau bacaan-bacaan buruk sebagai musuh. Stimulan (stimulus) itu hanyalah awal dari suatu proses yang sangat cair dengan peluang akibatnya amat rumit, tidak sesederhana dalam perspektif Behaviorisme.

Dengan demikian, “hipotesis” KPID Sulsel di atas terhadap isi film-film kartun yang mereka kategorikan berbahaya, belum argumentatif untuk dicemaskan. Kalau pun pada akhirnya itu memang adalah kecemasan, tetaplah kecemasan yang debatable. Oleh karena itu, kecemasan ditentukan oleh cara pandang. Cara pendang dintentukan oleh kepentingan terhadap hal-hal yang dicemaskan.

Penulis: Anggota Komunitas ëLSIM Makassar

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim