SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 22 Desember 2006

Guyon Politik Kosong-kosong

Oleh Maqbul Halim

“Seandainya presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu 2004 dan tak lagi oleh MPR, apa dampaknya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia?” Pertanyaan ini pernah diajukan oleh R. William Liddle melalui artikel di harian Kompas (8 Maret 2000). Saat ini, pertanyaan itu masih bisa digunakan dengan memangkas komponen demokrasi dari kalimat itu: “.... apa dampaknya [terhadap perkembangan demokrasi—omit] di Indonesia?” Jawaban atas pertanyaan ini diperkirakan mampir di Warung Kopi Phoenam pada Jumat, 12 Mei silam.

Diskusi Liar

Di tempat itu, sekawanan “satria bicara” sedang berkerumun mengerubuti sebuah meja bundar. Mereka adalah Amir Madjid, Pahir Halim, Hidayat Nahwi Rasul, Adil Patu, dan Supriansyah. Seorang lagi yang bernama Andi Mangara, kelihatannya bertugas memberi panduan bicara. Mereka sedang berparodi tentang Broker Politik pada rubrik “Guyon Politik Kosong-kosong” atau GPK-nya Radio Mercurius.

Lalu-lintas pembicaraan memang terkesan a-narkis. A berarti tidak atau di luar dan narkis berarti teratur. Dengan kata lain, diskusi mengalir di luar seperti biasanya sebuah diskusi “benaran”. Tetapi, apa yang diobrolkan oleh mereka tidak dengan sendirinya tidak benar. Memang tidak metodologis, tidak filosofis pula. Mereka mungkin lebih setuju menganut Wittgenstein, filsafat sering meninggalkan dunia sebagaimana adanya. GPK, yang memandang dunia apa adanya, taken for garanted, memilih menjauh dari filsafat. Dan juga hal-hal yang metodologis, karena lelucon memang tak terduga dan tak beraturan.

GPK, sepertinya, juga bukan sebuah parade berbalas pantun. Sebuah parade yang akrab ditemui di ruang-ruang sidang pengadilan. Para Pendekar Bicara tidak dituntut berbusana juba yang umumnya dikenakan oleh hakim dan pengacara di ruang sidang untuk membedakannya dari malaikat hitam. Tata krama berdiskusi hanya milik mereka yang angkuh dan jumawa dalam terali kharisma akademiknya.

Begitulah GPK berhelat bicara. Sebuah medium komunikasi politik yang mengalir di luar tradisi komunikasi mainstream, menelanjangi, genit, simplistis, liar tapi bisa jinak, funky, dan yang pokok adalah kerelaan mentertawai diri sendiri. Gaya komunikasi politik ala GPK mengajak memahami ikhwal politik dengan cara tertawa. Pemahaman yang berujung tawa, gaya GPK, adalah salah satu strategi memahami persoalan politik.

GPK tidak berpretensi menggalang pengaruh untuk berkuasa, seperti pernah dituduhkan Harrold D. Lasswell pada tahun 1948 di AS mengenai inti suatu aktivitas komunikasi politik. Satu-satunya yang digalang oleh GPK adalah narasi-narasi konyol dan bertentangan dengan akal sehat dari suatu petaka-petaka politik picisan. GPK datang sebagai komunikasi politik alternatif. Ia tidak menjanjikan, tapi bisa menjadi harapan yang tak pupus ketika sebuah musim politik usai. Ia menghadirkan humor segar di tengah politik serius Sulsel yang genit, dimana pilgub lebih penting ketimbang “hidup”.

Komunikasi Politik

Komunikasi politik ala GPK lebih bermodel transaksional (transactional communication). Model ini dikenal dengan model komunikasi P-A-C (Parent-Adult-Child). Sebuah pesan-pesan politik yang berderajat dewasa (adult) direspon dengan derajat kanak-kanak (child) atau “A–C”. Pada situasi lain, pesan-pesan politik yang berderajat kanak-kanak bisa juga ditanggapi dengan derajat orang tua (parent) atau “C-P”.

Untuk cuaca politik yang serius semisal jelang pilgub Sulsel, model yang aktual adalah “P-A”, “A-P”, “P-P”, dan “A-A”. Yang berbicara tampak gagah, serius, menyerang dan berapi-api. Yang menyimak sumringah, curiga, “dingin”, dan dendam. Wajah komunikasi politik menggelinding datar, tanpa lelucon. Dimana-mana, hidup sosial yang normal pasti memiliki ruang untuk lelucon. Lalu, hidup berpolitik yang tidak normal adalah yang menutup ruang lelucon. Kita mesti berterima kasih pada Gus Dur sebagai presiden yang pertama di dunia mengawinkan kekuasaan dan kejenakaan di Indonesia.

Dalam komunikasi politik ala GPK, ada dua jenis yang aktual. Yakni “A-C” dan “P-C”. Jenis “A-C” bisa dilihat pada ucapan Hidayat Nahwi Rasul bahwa seorang broker politik harus bermoral, berhati nurani, dan lain-lain. Seorang pendengar radio menanggapi ucapan itu melalui SMS: “Apa pun jualan broker politik, yang penting persennya.” Jenis “P-C” bisa dilihat pada penjelasan Adil Patu bahwa Tim Sebelas yang ia organisir adalah sebuah tim yang berupaya “meminang” figur cagub yang ideal bagi warga Sulsel. Penjelasan itu disatir oleh Supriansyah bahwa semua “pinangan politik” mensyaratkan “mahar politik”.

Pembebasan humanisme melalui parodi komunikasi politik yang berangkat dari pinggiran, seperti Gus Dur membebaskan, adalah GPK. Entah rupa apa, sebuah demokrasi yang menjauhkan diri dari kejenakaan? Mungkin seperti wahyu Tuhan yang menolak humor! Komunikasi politik yang berjenaka memang tidak bergemuruh, tanpa kemarahan besar, tidak menjanjikan tragedi. Karena itu pula, ia tidak seksi bagi dunia kampanye politik maupun broker politik.

Topik Labil

Ketika GPK berhelat bicara tentang broker politik 12 Mei silam, demokrasi, pilgub Sulsel, pengangguran, mahar, barang politik murahan, partai politik, figur bakal cagub Sulsel, semua diaduk-kocok tanpa ampun. Itulah sebabnya, mungkin, GPK yang liar itu bisa juga dikatakan asal seruduk. Topik “Broker Politik”, misalnya, terjun bebas mencederai dan mengitik. Adil Patu yang pada perhelatan itu didaulat sebagai aktor “broker politik” diyakini merupakan korban pengangguran. Lapangan kerja yang sulit, kerap memaksakan profesi makelar (broker) menjadi jalan keluar yang paling dekat. Sebuah topik seperti itu bisa tiba-tiba menjadi cair dan lentur.

Laju gerak diskusi bisa juga abai terhadap jarak koherensi topik dari satu premis ke premis yang lain. Ketika seorang Amir Madjid mencetus gagasan menyamakan broker politik dengan profesi konsultan politik, seorang penonton diskusi keberatan. Alasannya, untuk menjadi konsultan, seseorang harus pernah menjalani pendidikan khusus. Untuk menjadi seorang broker, apapun jualannya, dengan pendidikan terakhir yang hanya hingga Taman Kanak-kanak (TK), pun dianggap sudah lebih dari cukup.

Yang lain, Supriansyah misalnya, mengajak Adil Patu untuk tidak menjual barang busuk dan murahan. Pahir Halim menimpali bahwa tidak masalah dengan jualan murah oleh broker politik, karena memang rakyat doyan yang murah. Amir Madjid muncul melengkapi bahwa memang rakyat suka barang murah tetapi bukan murahan. Seseorang mungkin sengaja menilai bahwa diskusi tersebut lebih menyerupai igauan orang-orang gila yang saling sahut. Tetapi guyon politik yang jenaka—karena terang-terangan tidak konsisten, misalnya—membuat kebosanan sirna. Sesuatu yang bertentangan dengan obrolan politik di seminar atau kampanye, yang cenderung datar dan membosankan. Lagi pula, kebosanan sering menjadi tunas umumnya kejahatan (kejahatan politik?).

Agen

Broker politik, dalam obrolan GPK adalah agen komunikasi politik itu sendiri. Adil Patu “mengatur” partai baris-berbaris seperti “serdadu” yang berjajar lurus dan necis. Mereka, para serdadu itu, sama sekali tak bersahut, bisu dan ambisius. Lalu, “kawanan” bakal cagub juga tak bersahut, meski sedang duduk gemes menunggu “suntingan”. Adil Patu dituding sebagai broker politik hanya karena menjadi medium komunikasi politik yang mempertaut hasrat “serdadu” dan “kawanan”. Sekonyong, Amir Madjid mengidentifikasi jurkam pada Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden/Wapres, dan Pilkada sebagai broker politik.

Amir Madjid rupanya tak berhenti di situ. Ia berkisah dari masa lalu bahwa ketika gubernur, bupati, presiden dipilih oleh persekongkolan orang di DPR(D), broker politik bisa dihitung jari. Atas nama demokrasi, pemimpin untuk jabatan itu akhirnya dapat dipilih langsung oleh rakyat. Karena pemilihan langsung itu pula, broker politik tumbuh dimana-mana. Demokrasi ditopang pilar-pilar broker politik. Sebuah efek samping demokrasi yang cukup akurat dan to the point. Hanya saja, tesis yang hipotetik ini bakal digugat oleh citra akademik. Tentu gugatan itu tidak mencemaskan karena GPK sendiri sudah kebal akademik.

Entah setelah obrolan GPK itu, adakah R. William Liddle akan menjawab sendiri pertanyaannya: “.... apa dampaknya [terhadap perkembangan demokrasi—omit] di Indonesia?” Kita juga tidak yakin apakah GPK sengaja menggotong topik “broker politik” untuk menjawab. Sebab, GPK sendiri datang untuk melepaskan. Sebuah jenis pembebasan yang memahami politik dalam ranah kejenakaan. Di situlah kita akhirnya menemukan bahwa komunikasi politik mainstream umumnya mendikte dari atas. Dan humor, sesuatu yang kerap bentrok dengan kekuasaan, adalah pesan politik yang bergerak secara tulus dari bawah, dari “pinggiran” yang jauh dari pusat kepalsuan.

Penulis: anggota komunitas ëLSIM Makassar

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim