SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Senin, 11 Desember 2006

Saling Serobot

Oleh: Maqbul Halim

Konteks sosial roda perjalanan pemerintahan di daerah telah membuka aksi saling serobot antara masyarakat (society) dan pemerintah daerah atau pemda (negara). Pemda telah merebut sebagian kegiatan sosial milik masyarakat, sementara masyarakat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang merupakan kewajiban negara (pemda). Pemda meperdakan kegiatan sosial masyarakat sementara kepentingan publik diredakan.

Hingga kini, kita telah mengenal berbagai macam perda yang secara konsepsional, tidak bisa disebut melayani kepentingan umum (publik) karena hanyalah kegiatan-kegiatan sosial. Perda-perda tesebut antara lain tentang Busana Muslim, Perda Zakat, Perda Miras, Perda Melek Al Quran, Perda Bulan Ramadan, Perda Anti Pornografi dan Porno Aksi, dan sebagainya. Karena tiadanya hambatan secara struktural dan kultural, jumlah perda sejenis ini bakal mengalahkan jumlah tiras buku best seller-nya BJ Habibie, Detik-detik yang Menentukan.

Sementara perda tentang standar pelayanan minimal (SPM) untuk pemenuhan kebutuhan dasar publik/warga (kota/kabupaten), sebagai contoh, tidak mendapatkan perhatian serius. Padahal, derajat kepentingan publik (public interest) seperti yang dicontohkan dengan SPM tadi bagi tugas-tugas pemerintah (termasuk legislatif) tak terkalahkan oleh kepentingan apapun, termasuk kepentingan umat Islam dalam bersyariat atau kepentingan adat/suku.

Ada logika keliru yang memandu pejabat birokrasi maupun legislatif dalam memahami kepentingan publik. Kepentingan agama tertentu atau suku tertentu dianggap sebagai kepentingan publik. Konteks agama memang bagian dari wilayah publik. Tetapi kadar kepublikannya lebih rendah ketimbang konteks pelayanan kesehatan, misalnya. Namun faktanya dalam hal ini, pemerintah dan legislatif daerah gagal menjadi agen bagi publik untuk melakukan supervisi terhadap kepentingan publik.

Kepentingan Publik

Kalau kita mengacu ke konsep Public Sphere Jüergen Habermas (Hardiman, 1993: 131-133), maka kepentingan beragama, kaum borjuis, kaum feodal, dan sebagainya adalah soal privat (pribadi). Kegiatan-kegiatan mereka menjadi soal publik ketika melampaui batas-batas kepentingan domestik mereka yang privat. Dunia publik orang-orang beragama, misalnya, masih bersifat domestik karena tidak impersonal. Bukan dunia publik yang sesungguhnya. Hal-hal yang menjadi kepentingan bersama antara seluruh wilayah-wilayah domestik yang privat itulah sesungguhnya dunia kepentingan publik.

Kita pun juga kerap mendapatkan klaim bahwa syariat Islam, sebagai contoh, dapat dikategorikan sebagai kepentingan publik. Frase yang tepat untuk klaim itu adalah, syariat Islam betul sebagai kepentingan publik tetapi masih dalam wilayah domestik kepentingan Islam, bukan dalam wilayah dunia publik. Penting dicatat bahwa kepentingan publik yang melampaui batas domestik yang privat itu tidak lain adalah standar kepentingan universal yang diakui semua orang.

Pertanyaan noraknya kemudian adalah apakah berbusana Muslim, melek Al Quran, zakat, dan sebagainya yang sudah diperdakan itu adalah termasuk kepentingan publik. Tentu saja, orang Islam, katakanlah semuanya-akan menjawab ya. Kalau orang Protestan, Katolik, Budha, Hindu, suku Dayak, imigran, orang sosialis, seniman, PNS, pialang di lantai bursa, dan seterusnya juga memberikan jawaban ya, maka apa yang diperdakan itu betul-betul kepentingan publik. Tapi kalau ternyata jawaban mereka adalah bukan, berarti semua itu hanya kepentingan kelompok/golongan.

Sebuah perdebatan tentang kepentingan publik pernah belangsung di gedung DPRD Kota Makassar medio September 2006. Kesimpulannya mengingatkan kita pada cerita tentang si Pulan gila yang siuman. Jawaban si Pulan membuat girang psikiater. Pasalnya, si Pulan menolak menceburkan tubuhnya ke dalam kolam renang yang sedang mengering.

Sikap menolak perintah cebur ini dianggap sudah mewakili kejiwaannya yang sudah kembali normal. Serupa cerita itu, publik Kota Makassar bergembira mendengar bahwa salah satu fraksi sedang serius menolak Rancangan Perda Minuman Keras atau Miras yang selalu terinspirasi semangat syariat Islam.

Pada akhir cerita, si psikiater, seperti juga publik Kota Makassar, ternyata menelan kecewa. Si Pulan menolak mencelupkan dirinya ke kolam kering karena takut kedinginan, bukan karena kolam renangnya tidak berisi air. Salah satu Fraksi di DPRD Kota Makassar menolak Ranperda Miras karena tidak sejalan dengan syariat Islam, bukan karena bertentangan dengan kepentingan publik atau karena sudah diatur dalam KUHPidana.

Banyak kisah tentang perda-perda yang sesungguhnya hanya melegitimasi kepentingan domestik yang privat menjadi kewajiban pemda. Padahal, kewajiban pemda adalah melayani kepentingan publik, bukan kepentingan privat. Dengan perda-perda itu pula, pemerintah daerah sedang memperagakan praktik diskrimasi seperti kebijakan apartheit di Afrika Selatan pascaperang dunia II atau Nazi di Jerman.

Pembelaan Wakil Presiden Jusuf Kalla, suatu ketika, terhadap perda-perda yang diskriminatif itu dengan mencontohkan diskriminasi yang lazim seperti yang dilakukan negara-negara Filipina, Italia, Thailand, dan lain-lain menunjukkan rendahnya pemahaman dia tentang kepentingan publik. Itulah pandangan yang bergerak liar meninggalkan perspektif kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Kewajiban Pemda

Kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, dan sebagainya senantiasa menjadi titik abai. Sementara zakat, larangan miras, berbusana Muslim/Muslimah yang telah nyata dan memang sebaiknya cukup menjadi kewenangan masjid atau lembaga sosial kemasyarakatan, kini menjadi urusan pemerintah (baca: pemerintah daerah). Topik-topik sosial itulah yang kemudian menjadi Perda Busana Muslim, Perda Zakat, Perda Miras, Perda Melek Al Quran, Perda Ramadan, dan sebagainya.

Lebih dari itu, pemda juga tidak gugup dan gamang memprogramkan kegiatan-kegiatan seperti tablig akbar, zikir akbar, istighozah, istiqomah berjamaah, dan lain-lain. Padahal, kegiatan-kegiatan seperti itu sangat jauh dari wilayah fungsi-fungsi pemerintahan di daerah berdasarkan UU No. 32/04 tentang Pemerintahan Daerah maupun PP yang mendukungnya. Organisasi kemasyarakatan seperti NU, Muhammadiyah, HMI, ICMI, dan lain-lain, seperti diketahui selama ini, tidak membutuhkan otoritas publik pemda untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan demikian.

Mari kita telisik tugas-tugas pokok pemda yang hingga saat ini tidak menunjukkan perbaikan. Tugas pokok tersebut antara lain memberikan pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, perizinan, lapangan kerja, hak-hak dasar warga negara seperti KTP, Akta Kelahiran, Akta Kematian, dan lain-lain. Kita juga masih menyaksikan Perda Retribusi Pelayanan Kesehatan, dimana setiap orang yang sakit di RSUD harus membayar retribusi untuk membiayai perjalanan dinas pejabat pemda. Beban-beban pemda tersebut lebih banyak menjadi beban warga itu sendiri. Sementara kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang tanpa campur tangan pemda, masyarakat sendiri pun mampu menggerakkannya. Justru kegiatan-kegiatan itu diserobot oleh pemda yang tugas-tugas pokoknya sendiri tidak diselenggarakan secara maksimal.

Perda Kedamaian

Di masa mendatang, kita mesti siap menyaksikan lagi peluncuran perda-perda yang lebih geblinger seperti Perda Anti Prasangka Buruk, Perda Kewajiban Berniat Baik, Perda Penatepan Hari Raya Idul Fitri, Perda Hafal Al Quran, Perda Salat Jumat, Perda Pendidikan Pemisahan Kelas Laki-laki dan Perempuan di Sekolah, dan seterusnya.

Kita juga akan terus diyakinkan sedemikian rupa (indoktrinasi) bahwa dengan Perda Syariat Islam, dengan sendirinya semua orang akan tertib berlalu lintas. Dengan perda itu, pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, virus Anthrax, virus flu burung, pelacuran, dan penyebaran HIV/AIDS akan sirna dengan sendirinya. Tak ada lagi pornografi di Handphone, di laptop/komputer, atau di kamera digital karena satpol PP akan selalu memeriksa semua itu. Polisi akan banyak istirahatnya karena tak ada lagi gangguan keamanan dan ketertiban.

Pada akhirnya kita tidak membutuhkan konsultan pembangunan, kita hanya butuh ahli-ahli tafsir. Kita tidak butuh teori-teori ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dari barat atau Amerika karena sudah ada syariat Islam. Kita tidak butuhkan kaidah-kaidah jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosientel, misalnya, karena sudah ada hadis Nabi tentang kabar-kabari. Jika demikian, tak ada alasan yang tersisa untuk menolak perda-perda seperti itu?

Ketua MASIKA ICMI Orwil Sulsel
Dimuat di harian Tribun Timur pada Rabu, 11-10-2006

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim