SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 23 Desember 2006

Pilgub Sulsel dan Gunung Merapi Berpacu

Oleh Maqbul Halim
[Mei 2006]

Kepulan kabut-putih-panas kian lebar mengepak ke angkasa dan meniti lereng dari hari ke hari. Desakan magma panas sebagian memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika magma itu muncrat dan menyembur terburai. Segenap hal-ikhwal di sekitarnya menjadi gosong. Dan memang, satwa alam yang mengerti tanda-tanda alam, telah hengkang beberapa bulan silam. Gunung Merapi di Jawa Tengah: bergelegar, deru-seru, bergetar, berdentum.

Pilkada langsung Gubernur Sulsel memang masih setahun lebih. Tapi, sosok-sosok bakal cagub Sulsel kian atraktif berjingkrak di ruang-ruang publik. Desakan khayalan dan hasrat yang panas dan kuat menjadi gubernur, sebagian memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika pilgub Sulsel usai, hanya ada dua pihak: yang menang dan yang kalah. Segenap hal-ikhwal seusai pilgub menjadi gosong. Dan memang, jawara-jawara politik telah keluar dari sarangnya sejak setahun silam. Sulsel menjelang Pilgub yang masih lebih setahun lagi: bergelegar, deru-seru, bergetar, berdentum.

****

Dimana pun anda berada, jika di tempat itu seorang bisa menjadi pusat perhatian, anda dipastikan bisa mendapati satu atau lebih bakal cagub Sulsel. Talkshow radio, diskusi warung kopi, seminar, tadarrus berjamaah, zikir massal, konser musik, pesta adat, fans club, dan seterusnya merupakan wadah beramal sholeh bagi mereka. Bukankah menebar senyum dan tawa adalah perbuatan sholeh.

Tak ada cara lain, selain berbuat baik. Bahkan lebih baik lagi dari itu. Sekalipun hanya sementara—selamanya juga mustahil. Hanya itu alternatif bagi mereka yang bakal cagub. Sebuah alternatif yang tidak kreatif namun berdaya tipu amat dahsyat. Paling tidak, seperti itulah proses kerja peristiwa cognitif dissonance. Seseorang dapat saja fasih bernubuat tentang makna hidup dan kearifan. Namun nubuat itu bukanlah implikasi dari pemaknaan hidupnya. Ia sesuatu yang berbentuk pengetahuan yang bisa diucapkan oleh siapa pun.

Kalau pun mesti menyebut mereka yang bakal cagub ini sebagai si Mahatma Gandhi, tetaplah Mahatma Gandhi imitasi. Mereka hanya realitas media, realitas buku, realitas radio, realitas seminar. Bukan realitas yang sesungguhnya. Mereka-mereka itu hanyalah Mahatma Gandhi hingga Pilgub usai. Mereka hanyalah bayang-bayang. Seorang bakal cagub memang berpeluang besar seperti Janus. Janus merupakan salah satu dewa Yunani yang memiliki dua wajah, satu wajah di depan penonton dan satunya ketika di kamar ganti.

Tetapi, kita juga yakin bahwa seminar, diskusi warung kopi, talkshow radio, zikir massal, tadarrus berjamaah, konser musik bukanlah perkakas sihir yang berdaya magis. Seorang tokoh mampu menyihir bukan karena pilgub. Maka, kita pun yakin bahwa A. Amiruddin yang mantan gubernur Sulsel itu menjadi tokoh bukan melalui seminar, buku profil, diskusi warung kopi dan seterusnya sebagai sihir. Dia bukanlah bayang-bayang hitam yang mudah lenyap dalam terang benderang. Ia tersohor karena gagasan briliannya. Bukan karena ia ditokohkan, dibukukan, diprofilkan, dan seterusnya.

Seorang tokoh, dalam artian bukan bakal cagub, memang telah ditandai secara natural oleh zaman sebelum masa kemilaunya tiba. Ia bergerak lamat-lamat keluar dari kehidupan privat, lalu hadir dalam ruang gagasan dan karya. Ia mendesain sebuah gagasan namun tidak dalam ranah “manis di bibir”. Ia mengalir bersama gagasan dan keyakinan, beriring hingga ke masa kemilau itu. Sebuah rekam jejak yang tidak a-history. Ia bukan sosok yang tiba-tiba muncul dari samping dan langsung tiba di garis finish. Ia bukan anomali, seperti seorang yang tiba-tiba jadi ustad alim dalam sekejap mata.

Tetapi, ketika suatu bangsa bernafas perih dalam kepenatan, seorang tokoh memang diperlukan. Ketika itu pulalah tokoh hadir karena diperlukan. Dunia industri yang diilhami oleh konstruksi media selama ini telah menyediakan menu tokoh yang ala fast-food. Untuk tujuan ini, kata Karlina Leksono-Supeli (2002: 117), ruang publik direduksi menjadi masalah manajemen dan pasar. Seorang tokoh merupakan titik equilibrium antara permintaan dan penawaran. Hasil dari sebuah tindakan efisien dan efektif dalam suatu organisasi produksi.

Seorang yang ditokohkan tapi bukan dari sebuah pergulatan gagasan dan karya besar, tentulah kesepian. Dalam kesepianya, seorang tokoh cenderung mencari pelarian (eskapis). Khayalan dan hasrat selalu menjadi ruang eskapis. Di ruang itu, ia akan membangun panggungnya sendiri dan mendekornya. Memobilisasi penontonnya sendiri. Ia melakon sekaligus sutradara. Sebuah lakon yang nyaris hampa kisah: sosok tanpa pokok. Sebab, arena-arena yang ada telah diisi oleh tokoh-tokoh yang telah terekam dengan baik melalui jejak-jejak historis yang jelas dan benderang.

Ketika suatu musim pilgub tiba dan sebuah subyek hendak menceraikan seorang tokoh dari khayalan dan hasratnya, maka sikap resistensilah jawabannya. Suatu sikap resisten hanya menawarkan dua opsi: memihak atau melawan. Tentu saja pemecahan yang paling dekat untuk itu adalah kekerasan. Mungkin itulah sebabnya sehingga sebagian orang-orang menyebut pilkada sebagai gudang mesiu.

Sejumlah argumen dapat ditesiskan untuk menjelaskan mengapa pilkada ibarat gudang mesiu. Berangkat dari khayalan dan hasrat seorang tokoh yang kesepian, merupakan pangkal yang terang. Tak ada khayalan dan hasrat dalam rangka pilkada yang sungguh-sungguh gratis. Membangung panggung sendiri, mengerahkan sendiri penonton dan lalu kemudian berpentas sendiri adalah tindakan yang melelahkan dan berlumur peluh. Tak ada kenikmatan dan makna karena proses itu hanyalah instrumen antara menuju peristiwa berbaliknya khayalan dan hasrat seorang tokoh menjadi kenyataan yang sesungguhnya.

Untuk mengantar khayalan dan hasrat seorang tokoh menjadi kenyataan, jejaring keluarga, klan, dan rupiah pun dikerah-siagakan. Ia meletakkan silsilah tanpa tepian. Ia merumuskan kembali loyalitas klan. Ia menjadi penderma “tanpa pamrih”. Semua berderap-lintas mengusung khayalan dan hasrat menuju tapal batas kenyataan. Rutinitas makan dan tidur menjadi tidak normal karena bayang-bayang kenyataan yang kian dekat. Hadir tonton bareng KDI atau AFI di hotel atau kafe dibiarkan mengalahkan waktu malam sebagai jeda istirahat yang sudah menjadi tabiat. Rahang ditempa setiap pagi agar stamina senyum dan tawa tetap bisa diumbar sepanjang waktu.

Semua kerelaan itu berarti sesuatu yang padat nilai. Sebuah kerelaan yang menterlanjurkan pengorbanan, dan kepadatan nilai yang menunjukkan ketiada-taraan. Orang-orang mungkin menyebutnya sebagai kekuatan penuh (powerfull). Ketika ia mengalir, ia arus yang amat deras, melabrak, menggilas, menyambar, dan menjebol. Yang hanyut bersama arus ini adalah kawan (“pihak kita”) dan yang tidak seiring adalah musuh (“melawan”).

Pilgub adalah sebuah musim yang bertugas mengubah status khayalan dan hasrat menjadi kenyataan. Kita bisa menghitung sendiri, berapa banyak tokoh-tokoh bakal cagub yang mendaftarkan khayalan dan hasratnya di musim ini untuk dikemas menjadi kenyataan. Setiap tokoh bakal cagub tentu saja datang dengan arus powerfull-nya. Tiap tokoh menunjuk yang lain (rival) sebagai musuh (“melawan”). Patron perang terdesain dengan sendirinya. Persinggungan arus menjadi niscaya. Menghancurkan tidak lagi sekedar pilihan, tetapi sesuatu yang harus direbut, kalau bukan dirampas.

Musim pilgub Sulsel masih setahun lebih. Tetapi patron perang itu telah terbentang. Suhu panas meningkat tajam hingga di titik ubun kepala. Tengoklah mereka, bakal cagub itu. Mereka sekarang sedang mengerahkan senjata-senjatanya berupa seminar, talkshow radio, diskusi warung kopi, jaringan ormas-ormas dan parpol, temu konstituen, peluncuran buku, kolom-kolom surat kabar, safari ke sana dan ke situ, berafiliasi ke group band, menghadiri event-event olah raga, kunjungan dinas, dan seterusnya. Tengoklah geliat organisasi-organisasi yang sedang di puncak krisis agenda kerja. Mereka dengan gagah dan tegap menyatakan dukungan dan sokongannya kepada bakal cagub tertentu. Tengoklah polling-polling surat kabar dan radio, yang dengan liar dan cacat metodologi mempersentasekan peluang-peluang bakal cagub.

Bukankah perang itu sesungguhnya telah berlangsung? Seragam pejuang-pejuang yang mengusung tokoh bakal cagubnya juga telah terang dalam warna silaunya. Setiap hari, sebagian orang merasa terhimpit, bahwa besok sudah berlangsung hari pencoblosan Pilkada Gubernur Sulsel. Sebuah perang yang belum menumpahkan darah, sebuah perang yang belum bersenjata tajam. Para politisi beringsut seperti ikan di lumpur yang ditinggal air: meronta dan belingsatan.

Faktanya, pilkada gubernur Sulsel masih lebih setahun lagi. Tetapi, genderang “perang” telah ditabuh. Terompet perang telah “mengaum”. Arus powerfull khayalan dan hasrat yang panas dan kuat untuk menjadi gubernur saat ini memang masih tertahan. Tetapi kita bisa membayangkan ketika pilgub usai, hanya ada dua pihak: yang menang dan yang kalah. Segenap hal-ikhwal seusai pilgub menjadi gosong.

Dan, musim pilgub hanya bisa menghasilkan seorang pemenang. Musim itu bukan sejenis rahim yang memungkinkan kelahiran kembar. Sisanya, tentu saja adalah barisan para pecundang. Sesal dan marah bagi si pecundang, yang pasti, jauh lebih kuat ketimbang sikap sabar dan tawadhu. Wajah kalem jadi murka. Kedermawanan menguap. Senyum tak diperlukan lagi. Sikap bersahabat digantikan sikap paranoid. Langit jadi kelam gulita. Kekalahan seperti kilatan petir menyambar, lalu menampar harga diri. Para pecundang mendapati kenyataan yang ternyata adalah banyangannya sendiri, tak kan pernah tergapai.

Pemenang pun juga akan berangkat. Karena itu, musim berperilaku Robin Hood atau Mahatma Gandhi telah usai. Dengan tropi kemenangannya, ia memilih menjadi deseperados (bandit sosial yang dikisahkan Eric J. Hobsbawn), ketika pemerintahan telah dilemahkan dan terpecah-pecah. Juga dengan wajah yang sama: tak ada lagi peduli derma, senyum hanya untuk orang-orang tertentu, sikap bersahabat menjadi sikap paranoid, dan seterusnya.

Pilkada gubernur Sulsel telah berlalu. Diskusi warung kopi, forum seminar, dan talkshow radio tak lagi berhiaskan tokoh-tokoh bakal cagub yang telah kalah maupun yang telah menang. Zikir massal dan tadarrus berjamaah yang pernah bertalu-talu, telah ditinggal sepi oleh mereka. Tak ada lagi rangkaian peluncuran buku yang pernah meningkatkan pendapatan hotel, percetakan-penerbit, dan editor. Langit menjadi tenang, “hawa” Sulsel beranjak sejuk, warga tak sesak nafas oleh polusi obrolan tentang pilgub. Dan, gunung Merapi di Jawa Tengah telah didatangi kembali oleh penduduk desa setelah usai memuntahkan lava panasnya.

Penulis: Anggota komunitas ëLSIM Makassar
[Pernah dimuat di Tribun Timur]

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim