SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 01 Juli 2012

ANCAMAN GURITA MINIMARKET MODERN!

Dalam kegundahan menyaksikan menjamurnya aneka Hypermarket, supermarket dan khususnya minimarket, akhirnya saya menuliskan pesan provokatif di fesbuk Ilham Arief Sirajuddin. Tentu saja, ia adalah walikota Makassar dan juga ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan. Tapi, pesan saya ini tertuju kepada dirinya selaku walikota Makassar. Begini saya bilang,

Walikota Makassar gagal melindungi rakyatnya saat ia membiarkan gerai-gerai ALFA MART dan INDO MARET semakin merajalela di tempat di mana banyak warganya melindungi diri dari desakan ekonomi melalui buka kios-kios rumahan. Benar-benar tak punya rasa kepedulian!

Selama seminggu tak satupun merespon pesan saya itu, termasuk si empunya dinding, Ilham Arief Sirjuddin. Setelah tujuh hari kemudian barulah seorang memberi respon. Ia seorang pengajar di Fakultas Ekonomi Unhas. Begini responnya:

Bung Ishak, Mari melihatnya lebih komprehensif. Pertama, dari sisi pemilik, gerai Alfamart dan Indo Maret itu dimiliki oleh pengusaha-pengusaha lokal dalam bentuk franchise. Bahkan mereka lebih diuntungkan oleh jaminan disribusi barang. kedua, dari sisi pekerja atau karyawan, kehadiran gerai ini paling tidak menampung 5-10 tenaga kerja per-unit. Artinya, memberi manfaat dalam penciptaan lapangan kerja. Ketiga dari sisi konsumen, masih perlu dibuktikan apakah gerai ini berkompetisi dangan pasar tradisional atau justru gerai ini menjadi kompetitor dari pasar moderen lainnya seperti Carrefour atau Matahari. Tetapi saya setuju bahwa perlu ada aturan atas keberadaan pasar modern dan kebijakan untuk pengembangan pasar tradisional.

Iming-iming daya serap tenaga kerja dan harga murah

Membaca responnya, saya menjadi senang. Lalu segera saya membalas respon itu seperti ini: Saya sudah melihatnya lebih komprehensif, Bung. Memang, pengusaha lokal bisa turut serta dalam kerjasama model franchise itu, dan modal awalnya paling rendah adalah 300 juta. Soal mereka akan diuntungkan oleh urusan distribusi barang, jelas saja, dengan modal 300 juta itu mereka layak mendapatkannya.

Itu tentu strategi dagang, misalnya Alfamart (PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk) yang memiliki Distribution Center sendiri (DC) yang memungkinkan [melalui MOU dengan produsen] menampung seluruh barang dagangan untuk menjamin distribusi berjalan lancar dari DC ke toko. Namun, dengan model seperti ini, model distribusi barang konvensional yang berlangsung sekarang akan terganggu. Misalnya, rumah warga (pelaku ekonomi mikro/kecil) dengan toko kelontongannya atau kita sebut disini gadde-gadde memperoleh barang dengan tiga cara.

Pertama, dari agen melalui sales yang berkendaraan motor, Kedua, membeli langsung ke toko grosir milik pedagang lokal atau etnis Tionghoa. Dan ketiga, beberapa produk seperti makanan jadi, kue-kue [jalangkote], kripik, manisan buah, nasi kuning dan sebagainya (yang tentu saja tidak diterima di Alfamart maupun Indomaret karena diproduksi di rumah oleh ibu-ibu rumah tangga. Mereka menitipkan jualannya dengan sistem konsinyasi, yang laku saja dibayar. Agen sendiri memperoleh barangnya dari pabrik dan mereka mengantarnya kepada pengecer dengan mobil kampas.

Adapun mengenai statemen anda bahwa satu toko Alfamart bisa membuka 5 - 10 tenaga kerja, maka anda tentu bisa bayangkan juga sudah berapa banyak orang di Makassar ini yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya tanpa membebani pemerintah. Gadde-gadde yang jumlahnya ratusan ribu ini merupakan penopang hidup keluarga-keluarga kecil di kota Makassar, dan bila ini merugi dan akhirnya tutup maka keresahan dan kerawanan sosial akan terjadi.

Seperti Walmart di Amerika Serikat yang mottonya Always Low Price, Alfamart juga demikian, belanja puas, Harga Pas. Harga murah memang menjadi target untuk menyedot lebih banyak pelanggan. Tapi, hukum ekonomi meminimalkan pengeluaran dengan keuntungan sebesar-besarnya tentu berlaku. Harga rendah yang ditawarkan di satu sisi selalu menuntut pengetatan di sisi lain, misalnya saja gaji pegawai yang rendah di tengah jam kerja yang panjang, belum lagi pegawai yang beresiko mengganti barang yang hilang dan seterusnya dan seterusnya.

Dan kalau anda bilang, minimarket tidak berkompetisi dengan pasar ‘tradisional’ (saya lebih suka menyebutnya pasar lokal karena menyebut kata tradisional saja sudah menunjukkan betapa rujukan modernisme seolah mendarah daging dalam pikiran ini) tetapi berkompetisi dengan supermarket dan hypermarket maka saya justru menyebutnya bahwa ketiga level market ini (mini: Alfamart dan Indomaret; super: Giant dan Alfamidi; Hyper: Carrefour dan Diamond [kini Lotte]) adalah sedang bersatu padu menghancurkan kekuatan ekonomi kecil dan mikro di Makassar. Padahal sektor ekonomi ini menjadi katup pengaman bagi warga (khususnya berpendapatan rendah) kalau-kalau pekerjaan utama mereka terhenti, semisal pemecatan atau bangkrut.

Memang, ekspansi ritel bermodal besar ini skalanya di Makassar ini belum mengkhawatirkan, tetapi belajar dari sejarah di tempat lain seperti WALMART di Amerika yang telah meluluhlantakkan home industry, toko-toko kelontong, dan mengakuisisi banyak minimarket di sana membuatnya menjadi gurita dan memonopoli bisnis ini. Contoh yang dekat di Tangerang yang mana Alfamart juga sudah menggurita dengan ratusan gerainya dan membuat walikotanya was-was.

Melihat dari sudut bukan-konsumen tapi Ekonomi Politik

Namun, dosen ekonomi Unhas ini menanggapi pemikiran saya dengan mengangkat pendapatnya dari sudut pandang konsumen. Baginya, dari sisi ekonomi, pelaku usaha di bidang distributor atau pedagang yang lebih banyak itu lebih disukai karena mendorong kompetisi diantara mereka. Untuk menjual dengan marjin yang lebih rendah sehingga harga menjadi lebih rendah juga yang secara agregat menguntungkan konsumen. Maka menjamurnya pasar moderen besar sampai yang gerai dari sisi konsumen itu menguntungkan. Tentu menjadi soal bila melihatnya dari aspek kepentingan pedagang skala kecil. Bung Ishak menyebutnya pemilik gadde-gadde atau pedagang [di rumah dan] pasar lokal.

Hanya saja untuk konteks Makassar, lanjut kawan ini, ia tidak terlalu khawatir akan dampak kompetisi toko atau gerai moderen ini, sebab tradisi Makassar adalah tradisi saudagar yang sudah menjadi saudagar global sejak abad ke-16. Sehingga saya menduga tidak mudah bagi toko retail modern menguasai perdagangan di Makassar sebagaimana di Tangerang atau kota lainya. Sebab ada tradisi saudgar yang kuat sehingga memiliki kemampuan berkonpetisi dan bertahan hidup.

Kawan ini justru mengkwatirkan pada sisi produksi, kemampaun masyarakat Makassar untuk produksi atau meningkatkan nilai tambah suatu barang masih perlu upaya yg optimal. Baginya, kita tidak bisa mengandalkan kemampuan menjual barang. Ia menganjurkan kepada pemerintah atau pihak swasta untuk lebih membenahi sektor produksi baik yang berbasis industri besar ataupun industri rumah tangga.

Atas responnya itu, sayapun memberi tanggapan. Dalam hal bisnis, memang konsumen diperebutkan. Siapa kuat dia yang memanen konsumen. Urusan kuat dan tidak kuat itulah bermain ragam elemen kuasa, seperti modal finansial, modal politik, dan modal sosial. Bila anda percaya bahwa saudagar Makassar punya tradisi panjang dan dengan model persaingan apapun ia bisa bertahan, maka itu tentu berlaku pada level besar dan meso, namun rentan pada level kecil dan mikro.

Masalahnya kemudian, persaingan bisnis rupanya bukan hanya persaingan memperebutkan konsumen dengan mekanisme pasar dengan hukum permintaan dan penawaran saja, ia melibatkan unsur lain semisal politik atau ekonomi politik untuk merecoki mekanisme ini. Watak pengusaha ‘minimize cost maximize utilities’ sudah berurat akar pada strategi dan perilaku dagang mereka. Dalam konteks inilah saya memandangnya, saya tidak yakin dan nyaris tak percaya bila perseruan bisnis di level raksasa kemudian bisa menjaga yang kecil dan mikro di pasar maupun di rumah-rumah warga. Ingat, selain kita semua adalah konsumen, banyak dari kita adalah juga pelaku usaha.

Tentu butuh penelitian lebih lanjut untuk membuktikan kedua asumsi ini. Perdebatan mengenai ekspansi mini, super, dan hypermarket yang akan mengganggu eksistensi ekonomi rakyat yang selama ini ada atau sebaliknya juga terjadi di beberapa institusi formal, seperti di lembaga legislatif dan KADIN. Kedua pendapat ini membutuhkan data yang akurat untuk melahirkan satu paket kebijakan yang berpihak pada warga dan bukan hanya pada pengusaha. Kita tak bisa berhenti pada level asumsi belaka. Untuk itu, sebaiknya pemerintah segera melakukan satu riset mendalam sebelum kerawanan sosial yang dikhawatirkan ini benar-benar menjadi nyata.



Dikutip dari Facebook Ishak Salim
http://www.facebook.com/notes/ishak-salim/ancaman-gurita-minimarket/10150226228861867
Akses : Rabu, 05-09-2012

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim