SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Rabu, 11 Januari 2012

Makassar Menuju Kota Dunia: Retorika Kosong yang Narsis

MAYSIR YULANWAR  
29 SEP 2011  

UTAMA Akhir-akhir ini, kalimat “Makassar menuju kota dunia” semakin sering diucapkan wali kota dan ditulis di banyak media. Kalimat itu mulai berkembang menjadi “Makassar sudah mendapat pengakuan sebagai kota dunia” saat wali kota menghadiri dan kembali dari acara World Cities Summit di Singapura, pertengahan 2010 lalu.  

--Kota Makassar tampak dari laut Losari. Sudah pernah menjadi kota dunia.-- 

Seolah menjadi ‘jualan’, sebutan “Makassar menuju kota dunia” terus dihembuskan. Seperti di saat Minggu, 25 September 2011 lalu, saat memberi sambutan acara Dialog Gubernur Lemhanas Prof Dr Budi Susilo Soepandji dengan Tokoh Masyarakat Sulsel di Baruga Angin Mamiri, Jl Penghibur, Makassar, wali kota memaparkan visi dan misi Kota Makassar, yakni 

“Terwujudnya Kota Dunia Berlandaskan Kearifan Lokal dan menjadikan Kota Anging Mamiri ini sebagai Living Room”. 

Namun, tidak jelas bagaimana cara mewujudkannya, apa dan bagaimana itu kearifan lokal, dan sejauh mana visi-misi itu dijalankan? 

"100 tahun pun tidak akan tercapai, jika kelebihan potensi alam yang dimiliki ditangani oleh pemerintahan yang korup, lembek dan suka mempolitisasi keadaan" 

Kenyataannya? Visi dan misi itu terkesan narsis belaka. Tak ubahnya retorika kosong, seperti bungkusan yang hanya berisi kotoran. Tercatat, Makassar hingga sekarang masuk sebagai kota kotor di Indonesia (selama 4 kali berturut-turut gagal meraih piala Adipura); Kota Makassar mengukir ‘prestasi’ sebagai salah satu kota dengan pelayanan terburuk di Indonesia; Kota Makassar masuk 5 besar sebagai kota termacet dan semrawut di Indonesia; dan –yang paling tercatat baik- di HUT-nya yang ke-403, pemkot ‘berhasil’ menjadikan Makassar sebagai kota terkorup keempat se-Indonesia (2010), seperti yang dilaporkan Transparency International Indonesia (TII), ‘naik’ peringkat yang sebelumnya (2009) berada di urutan 33 terkorup dari 50 kota. 

Kembalikan Menjadi Kota Dunia

Sungai Jeneberang. Saksi bisu keramaian perdagangan internasional di Benteng Somba Opu.

--Sungai Jeneberang. Saksi bisu keramaian perdagangan internasional di Benteng Somba Opu.-- 

Berbicara tentang kota dunia, Makassar sebenarnya sudah menjadi kota dunia jauh sebelum Singapura dan kota-kota besar lainnya di Asia, apalagi Indonesia. 

 Di seminar “Mengkaji Ulang Sejarah Kelahiran Makassar”, di Hotel Sahid Makassar, 27 Nopember 1999, para pakar sejarah dan budayawan sepakat hari kelahiran Kota Makassar jatuh pada 9 November 1607. Alasannya, itu momentum kearifan sekaligus keberanian Raja Gowa dan Tallo menjadikan Makassar sebagai kota dunia dengan menerima siapapun beraktivitas di kota tersebut, tanpa melihat suku, agama dan kebangsaan. Saat itu Makassar dianggap telah menjelma menjadi kota plural yang maju, sebuah ciri kota yang beradab. Merujuk alasan ini, setiap 9 November datang, yang kita rayakan adalah Makassar (sebagai) kota dunia. 

Lalu untuk apa Makassar menuju kota dunia, bukankah sudah dialaminya sejak 4 abad yang lalu? Makassar sudah lama dikenal, diakui dan dikagumi dalam percaturan dunia. Yang tepat, dan menjadi tantangan kita bersama adalah, Makassar harus DIKEMBALIKAN menjadi kota dunia dan merebut kembali kejayaan itu. Bukan menuju! 

Caranya? Ada pada pemimpinnya. Makassar membutuhkan pemimpin yang 1) harus bisa memberi contoh/teladan, berani tapi jujur; 2) harus bisa terbuka tapi disiplin; 3) harus bisa menegakkan aturan/hukum secara tegas dan konsisten. Singkatnya, pemimpin yang Makassar dambakan adalah teladan, terbuka, dan tegas. 

Ole-ole dari Singapura harusnya membawa ketiga pelajaran ini. Jangan terpesona apa yang dimiliki Singapura sekarang, tapi tanyakan dan selami bagaimana keras dan tegasnya seorang Lee Kuan Yew dalam mendidik dan membangun Singapura. Seorang Lee tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan masyarakatnya, yang ketika itu masih sering membuang sampah sembarangan, tidak disiplin, tidak patuh. 

Sebagai pemimpin, yang ia tekankan adalah dirinya. Ia irit bicara, apalagi berjanji. Meski dikenal otoriter yang agnostik, tapi ia tipe pemimpin yang amanah. 

“Satu-satunya sumber daya alam Singapura adalah rakyat saya,” katanya. 

Ia terus bekerja untuk rakyatnya tanpa istilah dan slogan muluk-muluk. Dalam bukunya “From Third World to First: The Singapore Story” Lee menulis: “Saya lebih suka ditakuti daripada disayangi rakyat.” Sangat tidak populis, tapi terbukti. Hampir semua yang terbaik melekat pada Singapura.

Pintu utama Benteng Somba Opu. Bayangkan hiruk pikuk pasar dan lalu-lalang para pendatang di lokasi ini.
--Pintu utama Benteng Somba Opu. Bayangkan hiruk pikuk pasar dan lalu-lalang para pendatang di lokasi ini.-- 

Memang berlebihan membandingkan seorang Lee yang memimpin (negara) Singapura selama 31 tahun dengan seorang wali kota yang berkuasa hanya 5 -10 tahun. Tapi agaknya berlebihan juga (takabur?) jika belum apa-apa sudah mengatakan Makassar bisa sejajar seperti Singapura 10 tahun akan datang, seperti yang diungkapkan Danny Pomanto, konsultan tata ruang Makassar. 

“Apa yang dimiliki Singapura dulu itu juga ada di Kota Makassar. Bahkan, tidak sedikit potensi kami justru jauh lebih baik,” katanya (Sindo, 4/7/2010). 

Ini jelas omong kosong. 100 tahun pun tidak akan tercapai, jika kelebihan potensi alam yang dimiliki ditangani oleh pemerintahan yang korup, lembek dan suka mempolitisasi keadaan. Yang ada hanya dominasi dan eksploitasi. 

Singapura tidak punya keunggulan daya alam, tapi bisa tampil sebagai yang terbaik. Yang mereka punya, seperti yang diungkap Lee hanya rakyat dan –tentu saja- dirinya, pemimpin sederhana yang tegas dan keras pada penegakan hukum dan aturan yang ia buat. Sekarang, lihatlah Makassar. Apa saja yang direncanakan dan dibangun selalu bermasalah. 5 keunggulan Makassar yang dipresentasikan Danny Pomanto di Balai Kota (hasil World Cities Summit 2010 di Singapura), yakni 48% ruang Makassar yang masih kosong, pantai kelas dunia sepanjang 35 km dan sunsetnya, Energy Centre, CPI, dan PPI, semua masih di atas kertas –dan rata-rata bermasalah. Pemaparan Danny ternyata bukan sesuatu yang sudah berhasil dikerjakan dan diselesaikan dengan baik. Bukan sesuatu yang sifatnya mendasar, seperti jaminan keamanan dan kenyamanan usaha, jaminan pemerintahan yang bersih dari korup dan pungutan liar, dan jaminan ketegasan regulasi yang terbuka dan bertanggung jawab. Makassar sebagai (salah satu) kota termacet. Jauh dari nyaman.
--Makassar sebagai (salah satu) kota termacet. Jauh dari nyaman.-- Keunggulan Makassar 4 abad yang lalu, yang menghantarnya menjadi kota dunia, adalah peran pemimpin yang meletakkan Makassar dalam kondisi kota yang paling terbuka, teraman (semua etnik dan agama diterima secara damai), nyaman, aturan ditegakkan secara tegas, dan pemerintahan dijalankan secara bersih dan amanah. Makassar sebagai serambi Madinah bukanlah kiasan belaka. Islam dan ajarannya menjadikan Makassar bersinar hingga melampaui Eropa bahkan sejagat Asia ketika itu. Sayang, kenyataan sejarah ini tidak menjadikan mereka percaya diri. Pulang dari Singapura, dengan entengnya Danny berkata “Kami ini tidak punya uang untuk menggerakkan potensi kami. Karena itu, kami butuh uang, dan tentu itu adalah kapitalisme (Sindo, 6/7/2010). Kapitalisme? Makassar menjadi kota dunia, dibangun oleh Raja Gowa-Tallo dengan kemuliaan ajaran Islam, bukan dengan kapitalis. Sangat disayangkan, di era sekarang, dimana pilar-pilar kapitalis pada bertumbangan, dan mulai melirik Islam, di kepala konsultan kota (dan wali kota) justru kapitalis. Sekadar contoh, Jakarta yang dijalankan murni kapitalis, kini terseok dalam kubangan ‘abadi’: banjir dan kemacetan. Sebagai kota termacet ketiga di dunia, Jakarta membukukan diri sebagai salah satu kota yang paling tidak nyaman dihuni. Jakarta adalah produk kapitalis dari pemerintahan yang korup, yang lebih mementingkan kepentingan sesaat dengan melancarkan usaha para pemodal kuat tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang bagi kehidupan masyarakat secara luas. Tata ruang wilayah Jakarta amburadul. Jakarta menjadi kota yang patut ditinggalkan –dilupakan. "Kini Makassar berubah menjadi kota tak terkendali. Kota yang telah tercabut roh kearifannya. Kearifan moril dan estetika" Program ‘Makassar Bersih’, hanya slogan kosong. Makassar termasuk kota terkotor di Indonesia.
--Program ‘Makassar Bersih’, hanya slogan kosong. Makassar termasuk kota terkotor di Indonesia.-- Seperti Makassar yang memiliki garis pantai sepanjang 35 km, Jakarta Utara pun demikian. Sepanjang 32 kilometer, dari Cilincing di Timur hingga Penjaringan di barat, wajah Jakarta Utara akan berubah drastis oleh rencana reklamasi. Ironinya, kawasan sepanjang 32 kilometer itu sudah dikapling-kapling oleh tujuh perusahaan, yang tentunya, dengan semangat kapitalisme tadi, pemerintah sudah memberi izin rencana reklamasi itu. Apa yang terjadi? Akibat kepemilikan swasta tersebut –kebanyakan mendapat izin di era Orde Baru- membuat akses publik ke pantai terbatas. Sementara itu, Teluk Jakarta semakin tercemar. Bau busuk yang menyengat menjadi santapan harian. Kajian Amdal yang kolutif, yang selalu memuaskan kepentingan pemodal, siap menenggelamkan penduduk Jakarta Utara yang posisinya lebih rendah dari daratan hasil reklamasi. Inikah yang Danny dan wali kota inginkan terjadi di Makassar? Sayup terdengar suara iya. Mengingat bagaimana macet dan semrawutnya Makassar sekarang. Hendak menjadikan Makassar sebagai Jakarta berikutnya, pak wali? Lupakan Kota Dunia
Intinya adalah, ambil hikmah dari pertemuan di Singapura itu. Tatap baik-baik Makassar, lalu intropeksi diri. Berhentilah membuat statement yang meledak-ledak tapi kosong. Terlalu banyak rencana besar yang dibuat, tapi yang sedang dikerjakan belum juga bisa diselesaikan, malah tak sedikit tersandung hukum. Karebosi? Kasihan Karebosi. Ini adalah kecelakaan sejarah yang dibuat wali kota. Lupakan kota dunia. Itu hanya istilah kosong. Yang masyarakat butuhkan adalah kualitas, bukan istilah. Masih sangat banyak yang pemerintah harus benahi di kota ini. Saya tidak usah mengurainya. Terlalu panjang. Cukup hayati ketiga poin di atas. Tanpa itu, semua rencana, sasaran dan target pemerintah kota akan berakhir kandas. Justru akan merusak tatanan kota. Pengemis di jalan-jalan kota. Pemandangan biasa. Lokasi ini tak jauh dari rujab wali kota.
--Pengemis di jalan-jalan kota. Pemandangan biasa. Lokasi ini tak jauh dari rujab wali kota.-- Dari koran saya mengetahui, konsultan dunia siap rancang master plan Kota Makassar. Juga, konsep tata ruang Makassar disayembarakan. Saya tegaskan, ini pemborosan. Terbukti, sampai saat ini sayembara-sayembaraan itu menguap entah kemana hasilnya. Makassar dari era Patompo sudah ada master plan-nya. Dibuat oleh pakar tata kota dari Amerika. Yang Makassar butuhkan sekali lagi adalah ketegasan dan konsistensi pemerintah terhadap master plan itu. Kenyataannya? Tanah Makassar menjadi ajang penawaran bagi kaum pemodal. Bangun sana, bangun sini, tanpa memikirkan dampaknya. Amdal dibuat saat proyek pembangunan berlangsung. Master Plan kota dilanggar habis-habisan, lalu dibuat penyesuaiannya lagi. Dianggarkan kembali. Setelah jadi, dilanggar lagi. Begitu seterusnya. Save Our Losari
Di saat Presiden Megawati mencanangkan ‘Save Our Losari’ sebagai pembuka jalan proyek revitalisasi Pantai Losari, 11 September 2004, saya menggaris bawahi kata ‘Save’ itu dengan tinta kegembiraan yang tebal; mengikuti kelanjutannya bulan demi bulan hingga detik ini. Hasilnya, entah apa yang diselamatkan di sana? Sebagai masyarakat awam, saya bertanya, sebenarnya apa yang paling urgent dan prioritas diselamatkan? Apakah lautnya yang kini tercemar akut oleh limbah merkuri, yang sebentar lagi menjadi septic tank raksasa? Apakah pantainya yang dari tahun ke tahun semakin dangkal akibat sedimentasi? Ataukah membangun anjungan untuk menghantam saudara kita yang terbaring sakit di Stella Maris dengan kebisingan yang ditimbulkannya? Atau apakah menumpuk pembangunan fisik di Pantai Losari agar dikatakan kota modern lalu berhore inilah kota dunia? Penimbunan pantai depan Fort Rotterdam. Semakin berkasus, semakin ngotot wali kota menimbunnya.
--Penimbunan pantai depan Fort Rotterdam. Semakin berkasus, semakin ngotot wali kota menimbunnya.-- Seiring waktu berjalan, di tengah pembangunan anjungan yang belum juga rampung; kemacetan yang ruwet di kawasan Pantai Losari semakin meningkat (efek leher botol terjadi dan menumpuk di depan Resto Ballezza hingga ke anjungan –dan kini kemacetan baru mulai terkonsentrasi di depan Kampong Popsa, tepat di muka Fort Rotterdam). Diperparah oleh ketidakwarasan pengelola kota yang menyediakan tempat berjoget dan bernyanyi lantang di depan saudara kita yang terbaring sakit di RS Stella Maris; semakin di luar batas akal sehat kita sebagai umat beragama. Ini sudah pelanggaran kemanusiaan. Ada keegoan kekuasaan dan ketamakan konsep dalam merencanakan kota dan mengelolanya. Di saat air laut Losari semakin tercemar dan mendangkal, dana pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebesar Rp300 miliar, terancam dikembalikan ke pusat (Fajar, 10/7/2010). Di sisi lain, revitalisasi Pantai Losari kembali terhambat karena alasan anggaran (Tribun, 4/5/2010). Sementara itu, di tengah hangatnya cerita Water Front City, perseorangan mulai berani kapling laut di Pantai Losari tanpa ditindak –CPI pun menjadi ajang pembalasan politik yang kekanak-kanakan. Ke semua ini adalah potret Makassar yang seutuhnya, yang dibungkus dengan istilah kota dunia. Kenyataan kota yang ironi. Wilayah air para nelayan Makassar ditimbun atas nama ‘kota dunia’. Inikah kearifan lokal itu?
--Kenyataan kota yang ironi. Wilayah air para nelayan Makassar ditimbun atas nama ‘kota dunia’. Inikah kearifan lokal itu?-- Kini Makassar berubah menjadi kota tak terkendali. Kota yang telah tercabut roh kearifannya. Kearifan moril dan estetika. Estetika berasal dari bahasa Yunani ‘aisthetis’ yang berarti kepekaan pengamatan (sense of perception). Kepekaan ini yang hilang. Yang ada hanya kepentingan-kepentingan sesaat berlabel komersialisasi yang dipermanis istilah kota dunia. “Sesuatu itu dikatakan indah bila tidak memberi pelemahan pada bentuk atau jenis dimana dia berada, terasa harmonisasi, serasi, selaras, dan jelas,” ungkap Aristoteles. Makassar telah kehilangan itu semua. [The V Team]
Sumber: Majalah VERSI http://www.majalahversi.com/artikel/makassar-menuju-kota-dunia-retorika-kosong-yang-narsis Akses: 11 Januari 2012

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yang menarik untuk dibaca, moga2 semua warga kota makassar sempat membacanya

follow me @maqbulhalim