SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 15 Januari 2012

Don’t Stop Komandan

Home » Opini dan Interaktif » Opini
Rabu, 11 Januari 2012 | 23:34:49 WITA | 333 HITS
Oleh: H.A.B. Amiruddin Maula
(Pemerhati Hukum dan Pemerintahan)


Kalau SYL diminta oleh masyarakat untuk tidak berhenti berkarya dan terus menjadi leader sekaligus sebagai komandan bagi seluruh elemen masyarakat Sulawesi Selatan dalam menakhodai pemerintahan, memajukan pembangunan, dan melanjutkan ikhtiar peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai suatu kebajikan, maka hal itu adalah sangat pantas, bahkan wajib kita dukung.

Berhubung lampu merah (traffic light) pada salah satu perapatan di Jalan A.P.Petta Rani telah menyala, maka saya pun menghentikan kendaraan, namun seketika cucu saya yang masih mengenakan seragam Pendidikan Anak Usia Dini, menudingkan telunjuknya sambil berucap setengah berteriak ”dont stop komandan”, lalu menunjuk stiker besar yang tertempel di kaca belakang mobil yang juga berhenti di depan mobil saya. Ternyata cucu saya yang belum tahu membaca, dapat mengenali simbol-simbol politik dalam stiker itu.

Artinya komunikasi politik yang ditampilkan lewat media stiker ternyata memang efektif menarik perhatian sehingga mudah dikenali dan dimengerti oleh masyarakat sungguhpun bagi mereka yang tidak tahu membaca.

Komunikasi politik yang dilakukan lewat stiker, spanduk, pamflet atau baliho, disebut oleh pakar komunikasi sebagai iklan politik yaitu suatu strategi political marketing yang diadopsi dari istilah marketing (pemasaran) di bidang ekonomi. Sifatnya memang tidak jauh beda kepentingannya dengan pemasaran produksi barang dan jasa.

Menurut Prof.Anwar Arifin (pakar komunikasi politik) bahwa dalam politik, penting dilakukan promosi produk politik secara interpersonal communication baik melalui media selebaran, folder, spanduk atau baliho, maupun media massa, media sosial dan media interaktif (internet).

Disinilah yang memunculkan persamaan antara promosi produk barang dan jasa dalam bidang ekonomi, dengan promosi produk politik dalam political marketing, oleh karena selain memperkenalkan produk politik dan figur politisi yang diusung sebagai kandidat, juga bertujuan untuk menarik dan memikat konsumen atau konstituennya untuk ”membeli” atau memilihnya.

Budaya Memilih

Terhadap negara demokrasi, promosi atau iklan politik dalam political marketing telah menjadi budaya politik para politisi dalam melancarkan komunikasi politik untuk memperebutkan jabatan publik dalam supremasi kekuasaan. Sungguhpun demikian memang terdapat kontroversi di kalangan intelektual tentang penerapan prinsip-prinsip pemasaran produk, dalam komunikasi politik, terutama yang menyangkut etika dan moralitas dalam aplikasi political marketing, yang dikhawatirkan akan terjadinya praktik manipulasi informasi yang dapat mereduksi arti berpolitik itu sendiri.

Salah satu ciri negara demokrasi modern adalah pelibatan rakyat dalam menentukan pemimpinnya. Pelibatan itu dapat berupa pelibatan langsung melalui penyelenggaraan pemilihan umum, dan dapat pula berupa pelibatan secara tidak langsung melalui perwakilan oleh para anggota badan perwakilan rakyat yang juga sebagai hasil pemilihan umum oleh rakyat negara bersangkutan. Itulah sebabnya Indonesia sebagai negara demokrasi mengembangkan budaya memilih sebagai bentuk pelibatan publik dalam menentukan pemimpinnya dan menentukan siapa-siapa yang akan duduk pada dewan perwakilan rakyat untuk mewakili rakyat dalam kepentingan penyelenggaraan negara berdasarkan konstitusi. Sejak diterapkannya sistem pemilihan langsung presiden/wakil presiden, dan pemilihan langsung kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) serta pemilihan anggota-anggota legislatif (DPR/DPRD dan DPD) berdasarkan suara terbanyak, maka komunikasi politik melalui political marketing menjadi semakin berkembang dan semakin efektif. Dengan sistem ini, maka masyarakat tidak lagi sekadar memilih tanda gambar partai politik, tetapi juga telah memilih figur yang disodorkan sebagai produk dari suatu proses politik.

Budaya Instan

Seperti halnya daerah-daerah lainnya, Sulawesi Selatan pun termasuk daerah yang memiliki suasana dinamis dalam kehidupan berdemokrasi terutama setelah diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang juga dikenal sebagai Undang-undang Otonomi Daerah, dimana rekrutmen kepala daerah dilakukan melalui pemilukada yang melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih gubernur atau bupati/wali kota masing masing. Akibatnya di berbagai pelosok kota sampai ke desa-desa, banyak ditemukan spanduk, pamplet dan baliho yang berisi iklan politik sebagai media sosialisasi politik, yang dikemas dalam bentuk ucapan selamat hari raya, hari jadi, atau hari-hari nasional disertai dengan foto dan nama ”figur” dalam ukuran besar yang mendadak mempromosikan diri sebagai calon gubernur, bupati atau wali kota yang sedang dijelang, dengan tagline janji-janji yang memikat.

Iklan politik seperti ini telah melahirkan budaya instan yang dapat membahayakan praktik demokrasi itu sendiri. Oleh karena berpotensi mendorong lahirnya pasar gelap (black market) dalam bentuk politik transaksional atau ”jual beli suara” yang dikenal sebagai ”politik uang” (money politics).

Dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal, jabatan dipandang sebagai suatu amanah yang harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan harus dipertanggungjawakan bukan hanya terhadap rakyat sebagai pemberi amanah tetapi juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagai zat yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna, sehingga harus diperoleh dengan cara-cara terhormat.

Dalam pandangan budaya masyarakat Bugis-Makassar, mempromosikan diri untuk suatu jabatan adalah tindakan puji ale (memuji diri sendiri) apalagi bila hal itu disertai dengan melecehkan pihak lain, maka itu adalah sikap tercelah oleh adat, sehingga dalam paseng (pesan leluhur) dikatakan bahwa, jangan memilih seseorang sebagai pemimpin dari dua golongan, yaitu mereka yang tidak mau dan dari mereka yang terlalu mau.

Luar Biasa
Terkait baliho atau stiker Don’t Stop Komandan dengan tampilan foto Dr.Syahrul Yasin Limpo yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Sulsel, menarik memang diperbincangkan oleh karena kalimat itu menyiratkan harapan agar Pak Syahrul tidak berhenti berkarya.

Kalimat itu sangat tepat diperhadapkan pada aktivitasnya dalam menjalankan amanah sebagai gubernur terpilih dalam pilgub tahun 2007 yang lalu, oleh karena masyarakat daerah ini sungguh telah melihat dan merasakan prestasi kerjanya yang mengedepankan karya nyata dan kerja keras, sehingga tidak hanya berhasil mendongkrak kesejahteraan masyarakat dengan parameter pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 8,5 persen pertahun dalam empat tahun kepemimpinannya, tetapi juga telah memberikan icon kebanggaan bagi daerah dan masyarakat Sulawesi Selatan dengan meraih 152 penghargaan tingkat nasional di segala bidang.

Artinya secara rata-rata selama 4 tahun kepemimpinan Pak Syahrul sebagai Gubernur Sulawesi Selatan telah berhasil meraih penghargaan tingkat nasional dalam setiap 9 hari kalender. Prestasi ini luar biasa, yang baru pertama kali terjadi dan hanya Sulsel satu-satunya daerah otonom yang mampu meraih prestasi sebesar itu.

Istimewanya lagi, karena secara figur beliau pada tahun 2011 telah dinobatkan sebagai salah satu putra terbaik bangsa dengan dianugrahi Bintang Maha Putra Utama, yang hanya diperoleh oleh sangat sedikit dari jumlah yang tidak banyak orang berprestasi terbaik di negeri ini. Jadi kalau Pak SYL diminta oleh masyarakat untuk tidak berhenti berkarya dan terus menjadi leader sekaligus sebagai komandan bagi seluruh elemen masyarakat Sulawesi Selatan dalam menakhodai pemerintahan, memajukan pembangunan, dan melanjutkan ikhtiar peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai suatu kebajikan, maka hal itu adalah sangat pantas, bahkan wajib kita dukung.

Sumber: http://www.fajar.co.id/read-20120110233449-don%E2%80%99t-stop-komandan
Akses: 15 Jan 2012

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim