SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 12 Februari 2010

Andai Saya Ketua Harian, Bisa Lain Ceritanya

Ilham Arief Sirajuddin, Blak-blakan Bicara Partai Golkar (2-Selesai)

Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Riau mengubah kondisi batin dan karier lham di ranah politik. Pemihakannya yang memilih berseberangan dengan arus utama kader Golkar asal Sulsel, terutama terhadap dua orang guru politiknya, Syahrul Yasin Limpo dan Nurdin Halid mengubah banyak hal. "Saya sempat jatuh semangat ketika kubu Surya Paloh kalah. Saya sadar langkah ini akan berdampak ke Musda Golkar Sulsel," akunya lirih.

Kekhawatiran Ilham terbukti. Munas yang memenangkan Aburizal Bakrie (Ical) membuatnya gamang dan berdampak kritis terhadap karier politiknya. Tapi, bukan Ilham bila harus diam dan menyerah begitu saja. Sikapnya yang kukuh berdiri di barisan Paloh tak disesalinya. “Ini konsekuensi sebuah pilihan politik,” tegasnya.

Pilihan politik itu tanpa alasan. Suami Aliyah Mustika ini punya argumen khusus. Pertama, karena merasa kecewa dengan kubu Aburizal yang tidak maksimal memperjuangkan Makassar sebagai tuan rumah pelaksanaan Munas, meskipun waktu itu sudah 28 DPD I yang setuju tapi tiba-tiba hasilnya lain. "Terus terang saya kecewa. Masalah seperti itu saja teman-teman sudah tidak bisa bantu. Bagaimana kalau saya minta hal yang lebih besar lagi.”

Kedua, dalam pandangan Ilham, Golkar sebagai partai besar dan mapan, harus dipimpin oleh sosok berkarakter kuat, menjadikan Golkar sebagai kekuatan penyeimbang terhadap koalisi besar yang sedang berkuasa. Sosok itu adalah Surya Paloh. Inilah figur yang di mata Ilham, dipandang banyak kalangan bisa menjadikan Golkar lebih kuat dan disegani.

Alasan ketiga adalah karena tanggung jawab sebagai koordinator tim nasional pemenangan Paloh. "Saya dipercaya merangkul dan memimpin 309 ketua DPD Golkar se-Indonesia," ungkapnya. Dalam posisi itulah dua guru politiknya, Nurdin dan Syahrul terus mengajaknya beralih dukungan ke Ical, tapi Ilham tetap bergeming. Selain itu, pilihannya tetap mendukung Surya Paloh juga sebagai strategi. Jangan sampai kemenangan benar-benar pada kubu Paloh, sehingga orang Sulsel tidak langsung habis karena masih ada Ilham di situ.

***

Cerita berlanjut ke Sulsel. Kekalahan dan pilihan politik berbeda tersebut lalu mempertemukannya dengan sang guru; Syahrul Yasin Limpo untuk jabatan ketua DPD I Golkar. "Pak Nurdin dan Pak Syahrul adalah guru politik saya. Dua orang inilah yang pertama kali memperkenalkan dunia organisasi dan politik kepada saya. Tapi inilah konsekuensi politik yang sejak awal sudah siap saya tanggung."

Ilham menilai, mekanisme Musda Golkar yang tidak fair justru merugikan dirinya. Mekanisme yang seharusnya melalui pemilihan, malah ditempuh secara musyawarah mufakat. Di sinilah terjadi krisis. Terjadi tarik-menarik kepentingan antara mengikuti keinginan DPP Golkar untuk mufakat saja atau tetap dengan pemilihan, sebagaimana yang dia usulkan sejak awal. Akhirnya, seperti yang telah terjadi, Ilham terpental. Kursi ketua DPD I Golkar Sulsel yang didudukinya beberapa bulan, akhirnya lepas.

Namun, cerita masih berlanjut. Ketika struktur kepengurusan “bocor” dan diketahui bahwa Ilham hanya duduk sebagai salah satu wakil ketua dari total 16 orang, itupun urutannya melorot ke bawah, dan akhirnya naik ke urutan kedua di bawah HM Roem, kekecewaan berlanjut. Seketika beban psikologis menderanya. Dari orang nomor satu, menjadi yang kesekian. Ilham menilai tim formatur tidak membuat pertimbangan matang ketika menempatkan dirinya. "Walaupun secara struktural wakil ketua tak ada masalah dengan struktur penyebutan, tapi pandangan masyarakat berbeda terhadap saya,“ dia menyesalkan.

Itukah alasan yang membuatnya memilih mundur dari kepengurusan DPD I? Boleh jadi. Karena menurutnya, beban psikologis terkait penilaian masyarakat terhadap dirinya atas jabatan baru itu sangat berat. "Andai saya menjabat ketua harian, bisa lain ceritanya," ungkap Ilham.

Meski kecewa, Ilham bisa menahan diri. Menurutnya, seorang politikus memang perlu dibekali kesabaran dan tak emosional. Hubungan dengan Syahrul pun tetap baik. Malah diakuinya tak bisa dipisahkan dengan gubernur Sulsel itu. "Pak Syahrul sangat demokratis dan saya suka itu. Kadang saya berbeda pilihan atau sikap. Tapi di struktur pemerintahan kami tetap akrab. Bahkan kerap bersama-sama. Malah orang bingung, apakah kami hanya bersandiwara atau bagaimana," ujar Ilham tertawa
lebar.

Soal karier politik dan nasib sisa jabatannya sebagai walikota pun tak dipersoalkannya. Dia berharap kekhawatiran atas hubungannya dengan DPRD Makassar tetap baik kendati tidak lagi mengendalikan Partai Golkar. Alasannya, publik pasti masih bisa fair menilai kinerjanya sebagai walikota, sehingga tidak mungkin bisa dipermainkan parlemen.

Itulah sebabnya, Ilham tetap optimis, dengan kerja keras dan potensi yang dimilikinya, dia tetap bisa berkiprah. “Salurannya tidak harus selalu di Golkar. Bersama teman-teman aktivis partai, saya rencana membentuk ormas untuk pendidikan pemilih,” katanya sembari menyebutkan kemungkinan saluran lain seperti menjadi anggota DPR RI.

“Tak mungkinlah Golkar tidak melihat potensi saya untuk itu. Saya ini jelas-jelas punya gerbong. Tapi Kalaupun tidak diakomodasi, saya kira masih banyak jalan lain, sehingga tidak berakhir begitu saja. Siapa berbuat, dia akan menuai hasil,” tandasnya.

Satu hal yang membuatnya optimis keluar dari kepengurusan adalah, dia bisa lebih leluasa berkreasi demi kepentingan publik. Baginya, pengabdian tidak selalu harus melalui partai Golkar. Kalaupun akhirnya kenyataan berkata lain, Ilham tetap optimis peluang kariernya lebih besar. “Bayangkan kalau saya diusung partai lain, terus Golkar mengusung Pak Syahrul. Boleh jadi akan lebih berpeluang untuk suksesi gubernur nanti. Iya kan?” jelasnya penuh keyakinan. (abubakar)

Sumber: Harian FAJAR Cetak Edisi 6 Januari 2010

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim