SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 10 Desember 2009

SBY dan Citra Anti Korupsinya

Thursday, December 10, 2009 at 3:41pm | Edit Note | Delete

Ketika Chandra dan Bibit ditetapkan sebagai tersangka, SBY sangat antusias menyambut status itu. SBY menjadi motivator bagi kepolisian yang berwenang menangani pemeriksaan kedua petinggi KPK tersebut. Status tersangka yang dilekatkan oleh polisi kepada kedua orang ini sekaligus menjadi maskot lembaran baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Tanpa sedikit pun rasa canggung, pihak kepolisian dan kejaksaan bertekad membersihkan anasir korupsi dari tubuh KPK.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya berpidato, dengan api yang menyala menjalar dari mikrofon ke loudspeaker. Kata "tidak" kepada para koruptor oleh SBY bukan sebuah modal politik dan hukum untuk mengenyahkan para koruptor dari tubuh kabinetnya. "Tidak" itu adalah kata yang tidak memiliki niat untuk melawan. Kata itu hanyalah komponen pencitraan yang sedang dilakoni SBY. Sejatinya, ia harus senantiasa dalam perilaku santun dan penuh pesona.

Sudah dua kali SBY berpidato, menjelelaskan sebuah ketidakjelasan dengan narasi yang tidak jelas. Ia tidak pernah lugas dan enteng mengumbar usahanya melawan korupsi. Sikap yang paling tinggi yang ia miliki adalah membenci korupsi dan koruptor. Membenci hanyalah sebuah suasana hati, bukan sebuah program kerja atau, yang cukup jauh dari suasana hati, sebuah karakter. Sikap ini memang terkesan agak keremajaan dan genit. Kita tahu, sikapnya itu dilatari oleh jabatan kenegaraan tinggi, Presiden Republik Indonesia. Di sinilah letaknya sehingga sikap ini kemudian menjadi lucu dan mengkitik.

Audiens sesungguhnya berharap tinggi kepada presiden, dimana presiden bakal menyebutkan nama Anggodo secara blak-blakan sebagai sebuah masalah dalam pemberantasan korupsi. Atau, beliau berbicara sebagai pendengar dari pendapat publik perihal polisi Susno Duaji atau jaksa Ritonga. Atau, presiden mengurai satu per satu rekomentasi Tim Delapan. Tapi rupanya, presiden memilih absen dari persoalan-persoalan itu. Presiden memilih menerangkan masalah-masalah seputar korupsi yang dapat meningkatkan popularitasnya. Ia memilih berbicara sebagai bapak yang baik, yang mengayomi semua pihak, dan harus didengar oleh pihak manapun meski pihak-pihak itu dalam keadaan kantuk.

Pada akhirnya, penampilan SBY menyikapi masalah kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century, termasuk soal mafia hukum yang menjadikan Anggodo menjadi tokoh sentral dalam rekaman penyadapan, menjadi penampilan yang sama sekali tidak memberi rasa enak dan kebanggaan. Media di Jakarta menyebut pidato terakhir presiden jelang hari Anti Korupsi se-Dunia 9 Desember 2009 ini sebagai pidato yang menyejukkan kondisi yang tengah memanas. Namun, pidato itu sesungguhnya tidak memberi arah yang terang dan sama sekali tidak produktif.

Publik masih bisa memutar kembali memori ingatannya dalam suatu pidato SBY di akhir Oktober 2009 dalam keterangan pers di kantornya, yang menyebutkan bahwa dirinya akan terdepan dalam pemberantasan korupsi. Pidato itu merupakan respon atas kecurigaan berbagai pihak akan upaya pemerintah di bawah kepemimpinan SBY untuk melemahkan KPK. Ketika masyarakat sipil dalam empat bulan terakhir ini berjibaku menyerukan penguatan KPK dan penentangan mafia hukum dalam melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi, SBY justru berada di urutan paling belakang.

Mengapa beliau berada di urutan paling belakang? Sederhana saja. Itu terjadi karena beliau lebih banyak berpidato ketimbang bertindak. Ia lebih banyak berpidato ketimbang mengambil keputusan dan tindakan. Ia lebih banyak memilih sikap yang justru mengingkari fakta empiris. Ketika ia berjanji, ia hanya berasumsi tentang apa yang akan dilakukan dirinya. Asumsi inilah yang disosialisasikan melalui kegiatan pencitraan.

Terakhir, SBY menggunakan senjata konvensional untuk membungkam pihak-pihak yang menyerang orang-orang dekatnya, baik koleganya maupun personel kabinetnya, yang diduga terlibat dalam kasus kriminalisasi KPK, skandal Bank Century, dan aktor-aktor mafia hukum pada hasil rekaman penyadapan KPK. Senjata konvensional itu adalah mencurigai pihak-pihak tersebut hendak melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan yang sah yang dipimpinnya. Hal itu dikemukakan SBY di depan peserta Rapat Pimpinan Partai Demokrat di Jakarta pada awal Desember 2009. Inilah senjata favorit Soeharto di zaman Orde Baru, dan juga digunakan oleh B.J. Habibie ketika menjabat presiden di masa transisi.

http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=200017161366

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim