SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Sabtu, 31 Januari 2009

Petaka Suara Terbanyak

Oleh Maqbul Halim

Subhan Mappaturung, bekas anggota KPID Sulsel, pernah bercerita bahwa ia mencicipi kebahagiaan tersendiri ketika melihat pengurus partai dan politisi merintis jalan menuju nomor urut terkecil pada daftar pelamar legislatif untuk tiap-tiap Daerah Pemilihan atau Dapil. Nomor urut masih berperan menentukan calon terpilih jika telah melampaui perolehan suara 30 persen, meski bukan sebagai peraih suara terbanyak. Beberapa partai menerapkan suara terbanyak, tapi lebih banyak lagi tetap mempertahankan nomor urut.

Seorang dari mereka politisi atau pelamar anggota legislatif itu misalnya, meretas jalannya dengan penuh liku, dan juga dengan strategi yang diyakini tak terendus oleh para pesaingnya untuk merebut nomor urut terkecil itu. Ada juga yang sudah mengatur strategi sejak usai Pemilu 2004 silam, agar nomor urutnya paling kecil pada Pemilu 2009. Analisis dan perkiraan tentang kekuatan pesaing di dalam partai sendiri, diperbarui setiap waktu agar nomor urut mereka lebih besar pada daftar calon.

Subhan mungkin benar. Di arena itu, seseorang akan tersingkir jika tidak menyingkirkan. Ada pula konsesi yang didahului dengan berkali-kali revisi draft agar tidak saling menyingkirkan menuju nomor urut terkecil. Seperti sebuah debat penentuan nasib masa depan seseorang, segala jasa budi dan kebaikan diperbandingkan dengan sisi negatif yang sepele sekalipun dari seseorang itu, agar nomor urutnya tepat.

Moral, sopan santun, dan dedikasi pelamar anggota legislatif dikuantifikasi menjadi sebuah grafik, menjadi sebuah petunjuk nomor urut. Visual grafiknya dibuat rumit sehingga tampak serius. Pertalian darah dengan ketua-sekretaris partai adalah garis bebas pada grafik. Para pelamar dituntut kesabarannya mempertahankan prilaku baiknya di hadapan partai dan ketua-sekretaris sebelum Daftar Calon Tetap (DCT) betul-betul telah disahkan oleh KPU. Di hadapan pelamar, ketua-sekretaris partai juga leluasa bermanja-manja ketika pada saat yang sama para pelamar dibebani kewajiban untuk tahu diri kepada ketua-sekretarisnya.

Ketua-sekretaris partai dinobatkan untuk melakukan pembacaan terhadap grafik itu. Informasi yang akurat dan menyeluruh mesti mereka miliki ketika membaca. Mereka bisa pura-pura bodoh membaca. Agar tidak pura-pura bodoh membaca, para pelamar biasanya menitipkan fulus agar grafiknya terbaca jelas. Dengan inisatif sendiri, para pelamar anggota legislatif juga “harus ikhlas” sering-sering bersilaturrahmi dengan sang ketua-sekretaris. Silarturahminya juga harus padat berisi, tidak boleh kosong.

Segenap pelamar anggota legislatif menunggu dengan cemas hasil pembacaan sang ketua-sekretaris. Sang pembaca juga memainkan keluhuran jabatannya agar nomor urut para pelamar tidak mungkin diprediksi sebelum Daftar Calon Sementara (DCS) diumumkan. Sebagian pelamar juga rajin menyambangi rumah ibadah dan berdoa agar Tuhan memperkecil nomor urutnya.

Semantara di Jakarta, mesin Mahkamah Konstitusi atau MK bergemuruh, terus membedah fatwa tentang calon terpilih berdasarkan nomor urut. Di lembah pencalonan, hasil bedah itu bergerak seperti badai, menggelegar. Banyak calon merasakannya seperti badai hawa panas. Ada juga calon yang merasakannya seperti gelombang hawa sejuk dan menenangkan. Pelamar terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Nomor urut kecil terlantar kehilangan wibawa dan nilai tukar. Pemangkunya terperanjat memandangi kuitansi pembelian nomor urut. Banyak juga yang menyesal telah berperilaku sopan dan santun demi nomor urut kecil. Sang ketua-sekretaris duduk terpekur di kursi tahtanya, sepi tanpa pemuja dan pujian.

Sementara pelamar anggota legislatif urutan nomor besar langsung bangkit dari tidur, berkelebat menggalang pemilih, berputar seperti roda gila. Mereka berlampias pada baligo, spanduk, iklan-iklan, dan seterusnya. Mereka juga berpikir cara beriklan pada mimpi orang-orang yang sedang tidur. Mereka yang malas menjadi rajin. Mereka yang biasa-biasa menjadi orang baik, penderma, murah senyum, mudah berteman. Mereka kompak membenci nyamuk malaria di Dapilnya, lalu foging. Tapi mereka tidak perduli nyamuk malaria di Dapil lain.

Putusan MK juga telah memaksa zona aman urutan daftar calon berubah pengertian. Sebelumnya, nomor urut kecil adalah zona aman. Setelah putusan MK, zona aman melar hingga ke nomor terakhir yang berangka besar. Pelamar anggota DPRD Kota Makassar yang berjumlah kurang lebih 1.403 itu misalnya sudah merasa jalannya ke kursi legislatif telah dilapangkan oleh putusan MK tersebut. Mereka semua merasa kursinya sudah aman dari gangguan nomor urut. Umumnya, mereka melihat gedung legislatif sudah begitu dekat.

Ada pula yang menyebut efek putusan MK ini amat dahsyat. Ruang publik menjadi space pasar tradisional yang gaduh dan serampangan. Gubernur, mantan bupati dan tukang ojek, misalnya, setara kedudukannya dalam pemasangan baliho. Sejumlah calon juga tidak segan-segan memasang stiker/foster gambar dirinya pada tempat-tempat yang tidak dikenal banyak orang. Ada juga foto pelamar yang sulit dikenali hingga baligo yang memuat gambarnya ambruk setelah tegak selama kurang lebih tiga bulan.

Pertarungan juga menjadi kian sporadis. Setiap calon sulit menyebutkan kriteria lawan atau pesaingnya. Untuk kepentingan dan popularitas diri, partainya pun juga ia bisa tuding sebagai musuh dalam selimut. Status seorang pelamar anggota legislatif bisa bermutasi setiap saat. Seorang pelamar jadi musuh bagi pelamar lain pada pagi hari karena ia berasal dari partai berbeda. Seseorang itu juga bisa jadi musuh bagi beberapa anggota partainya sendiri pada siang di hari yang sama karena berada pada Dapil yang sama.

Setelah putusan MK, tak ada kata yang lebih inspiratif dan penting bagi calon-calon selain kata Dapil. Para calon memilih mesjid shalat Jumat berdasarkan Dapil. Umumnya, calon-calon juga menyewa konsultan agar seyum, kebaikan hati, dan sumbangan yang mereka berikan tidak melewati batas wilayah Dapil. Bulan Ramadan baru-baru ini juga menambah syarat bagi penerima Zakat Fitrah. Selain fakir, miskin, dan yatim piatu, penerima zakat juga harus berdomisili di daerah pemilihan pembayar zakat.

Pada sisi lain, hanya ada 50 unit harapan (kursi) di DPRD Kota Makassar. Jumlah itu sangat jauh lebih kecil dari jumlah 1.403 pelamarnya. Setelah penghitungan suara nantinya, kurang lebih 1.350 pelamar jadi pecundang. Namun, tak satu pun dari 1.403 pelamar itu yang tekadnya luruh karena hitungan itu. Padahal sangat jelas, hitungan itu mestinya membungkam harapan semua pelamar. Tetapi, di sinilah putusan MK memberi kekuatan bagi tiap pelamar yang 1.403 itu untuk membayangkan kursi miliknya di legislatif. Praktis, jumlah kursi yang hanya 50 itu terbaca menjadi 1.403. Ini masalah percaya diri saja. Kata Subhan, MK itu tidak berperasaan.

Anggota Komunitas Elsim Makassar

Sumber: Harian Ujungpandang Ekspres Edisi 29 Januari 2009

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim