SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 08 Mei 2007

Dominasi ”Informasi Seolah-olah”

Minggu, 15 April 2007

Oleh: Candra Ibrahim

candra@batampos.co.idAlamat email ini sudah di proteksi dari spambot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihat alamat email ini

HAMPIR sepuluh tahun belakangan, rakyat Indonesia semakin dijejali oleh informasi berbagai tragedi yang terjadi merata di seluruh Indonesia. Sebut saja tragedi tsunami, gempa bumi, longsor, semburan lumpur, banjir, busung lapar, kerasukan, sampai aksi terorisme. Tak ketingglan pula pelbagai kejadian unik, seperti munculnya kambing, telur, pohon, bahkan agar-agar bertuliskan lafal Allah. Hingga kemudian, berbagai peristiwa lain terekam oleh media, misalnya kasus perselingkuhan selebriti, politikus, sampai kepada aksi massa menuntut perbaikan kondisi bangsa, dengan cara-cara anarkis pula. Yang tak ketinggalan, nasib warga Sidoarjo akibat semburan lumpur sejak hampir dua tahun ini.


Betul kata pendapat seorang raja media dunia bahwa siapa yang menguasai informasi, maka dia akan menguasai dunia. Oleh sebab itu, untuk konteks Indonesia, ini seakan telah mengirimkan sinyal kepada kita bahwa Jawa (dalam pengertian geografis, bukan etnis) telah menjadi pemilik sebaran informasi di Indonesia.


Sekecil apapun kejadian di tanah Jawa, seolah dipaksakan menjadi gambaran Indonesia secara umum. Lihatlah, ketika seorang kakek tewas akibat busung lapar di salah satu desa di Sidoarjo, Jawa Timur, seolah menjadi gambaran umum Indonesia. Apalagi televisi swasta nasional yang kesemuanya berkantor di Jakarta (Jawa) kemudian mem-blow-up-nya secara besar-besaran. Maka yang muncul kemudian ke benak publik Indonesia secara psikologis adalah bahwa Indonesia sudah sekarat, karena ada yang mati akibat busung lapar!


Demikian pula ketika media ramai-ramai memberitakan kasus seorang bocah di belahan Jawa sana tewas gantung diri akibat malu karena belum bayar uang sekolah. Siang-malam, pagi-sore, breaking news, televisi swasta kemudian memberitakannya secara gencar. Berbagai analisis pakar dikemukakan. Seolah, persoalan bangsa ini bakal selesai dengan dialog, analisis, lalu perdebatan di ruang-ruang publik. Padahal, bisa saja bakal bertambah runyam, karena semua orang merasa benar, merasa pintar, lalu mengeluarkan pendapat mereka. Ditambah lagi media cetak nasional, yang kesemuanya terbit dan berkantor di Jakarta, memberikan porsi liputan yang luas pula. Lalu kesimpulannya, menjadi seolah-olah begitulah gambaran Indonesia: sangat suram, miskin, hopeless, tak ada harapan!


Sering saya berdebat dengan beberapa teman di berbagai penerbitan pers. Baik di grup kami, Batam Pos Group, Riau Pos Group, Padang Ekspress Group, dan Sumut Pos Group, maupun dalam grup yang lebih besar, Jawa Pos Group yang menguasai 90-an penerbitan media cetak di tanah air. Menurut saya, carut-marut di tanah air sejak kran keterbukaan dilonggarkan, tidak terlepas dari peran media massa. Sebab, media massa telah menjadi laluan pemikiran, pendapat, analisis, maupun carut-marut kehidupan bernegara itu sendiri. Media massa telah menjadi sarana paling efektif bagi sekelompok orang untuk mengkritisi atau menghantam kelompok lain. Tragisnya, sangat jarang media massa mau menyaring informasi sebelum disebarkan ke tengah publik. Apalagi bagi media massa yang hanya mencari sensasi, mengejar tiras, atau bahkan sekadar minta eksistensinya diakui.


Dalam hal ini, saya sering mengajak berbagai teman di media untuk menyaring berbagai informasi sebelum menyebarluaskannya ke tengah masyarakat. Saya membayangkan, kalau saja media bisa menahan diri untuk menyeleksi setiap pernyataan dari narasumber yang hanya membuat sensasi, ingin diakui, lalu seenaknya saja mengeluarkan statemen, mungkin negara ini tidak akan sekacau saat ini. Apalagi misalnya, saat ini berkembang kelompok yang hanya ingin berbeda dengan pemerintah, lalu apapun yang dilakukan pemerintah adalah salah. Kalau kemudian informasi ini ramai-ramai dipublikasikan ke tengah masyarakat, maka akan menjadi justifikasi bahwa negara ini memang tidak ada yang benar sama sekali. Akibatnya, masyarakat menjadi linglung, bingung, apa yang hendak dilakukan. Benar bahwa masyarakat sudah semakin dewasa, namun berapa banyak pula di antara kita yang masih sangat kekanak-kanakan dalam menyerap informasi.


Itulah sebabnya, dalam konteks koran nasional yang terbit di daerah (meskipun istilah pusat-daerah itu masih berbau kolonoalisme), maka saya selalu mengingatkan kawan-kawan di Batam Pos untuk selalu berpihak pada daerah, pada Kepri secara umum. Tidak semua yang dikatakan Jakarta itu benar.


Tidak semua yang terjadi di tanah Jawa itu harus diberitakan, kalau akhirnya hanya akan membuat masyarakat di sini semakin kehilangan harapan. Bahwa Indonesia bukan hanya Jawa (sekali lagi dalam pengertian geografis, bukan etnis).


Media massa adalah pilar yang paling memungkinkan untuk membentuk opini publik. Media juga tidak harus mencekoki berbagai informasi yang hanya akan menghilangkan harapan-harapan masyarakat.
Siaran televisi yang selama ini hanya mengumbar kesengsaraan lokal nun jauh di sana secara luas, seakan sudah mencekoki penontonnya di daerah lain untuk merasakan pedih yang sama. Padahal kepedihan di masing-masing daerah adalah berbeda. Semua daerah punya persoalan.


Akhirnya, daerah harus bangkit dan bersama-sama melawan dominasi Jakarta (pemerintah pusat), termasuk dominasi informasi dari media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebab, Jakarta selama ini selalu saja merasa benar, memandang daerah secara general, lalu mencekoki kita dengan berbagai informasi. M
ereka juga telah “memaksa” kita menyerap informasi apapun, meskipun kita bisa memilih dan memilah. Mungkin mereka lupa bahwa ke-bhineka-an justru tumbuh subur di daerah-daerah.***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hai, berita apa lagi ini.

follow me @maqbulhalim