SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 29 Maret 2007

Jurnalisme Investigatif

Oleh Maqbul Halim
(Direktur Elsim Makassar)

Istilah investigasi dalam jurnalisme baru muncul pertama kali dari Nelllie Bly ketika menjadi reprorter di Pittsburgh Dispatch pada tahun 1890. Ia memulai gaya jurnalisme yang menandakan pengisahan seorang wartawan tentang orang-orang biasa. Pelaporan materi jurnalistik yang mengembangkan secara serial, bagaimana kehidupan orang kelas bawah di dalam kenyataan sehari-hari. Bly sampai harus bekerja di sebuah pabrik, di Pittsburgh, untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur (anak-anak) yang dipekerjakan dalam kondisi buruk.

Dasar jurnalisme investigasi adalah kepentingan warga. Kepentingan warga dalam hal ini dilihat dari dua sisi, yakni, warga sebagai manusia yang mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan warga yang mempunyai hak-hak sipil yang merupakan kewajiban pemerintah. Di situlah keperluan terhadap jurnalisme investigasi bermula. Ia tidak bermula dari kepentingan politik, bisnis, kekuasaan, ahlak, moral, etika, dan sebagainya.

Mengapa sesuatu perlu diinvestigasi:


  1. Sesuatu hal yang penting tapi tersembunyi (disembunyikan). Hal yang secara manusiawi disembunyikan adalah pelanggaran atau perilaku-perilaku yang berkategori illegal. Meski demikian, penyembunyian dapat terjadi dalam konteks patut manakala demokrasi atau hukum menjadi perlindungan dan dengan dua alat itu kepentingan yang bertentangan secara faktual dan subtansial dapat dijalankan.
  2. Berbagai peristiwa berlangsung secara paralel, namun kelihatan tidak saling berhubungan.
    Kita sering berhadapan hal-hal yang terjadi secara paralel namun secara awam sulit dihubungkan atau dikaitkan. Ketika dikaitkan, kita biasanya berhadapan dengan minimnya fakta atau pernyataan-pernyataan yang argumentatif secara hukum maupun secara ilmiah. Contohnya, peristiwa penggelaran pasukan Pamswakarsa, Sidang Istimewa MPR RI 1999, dan militer. Contoh lainnya adalah Kerusuhan Mei 1998 dan pemerkosaan perempuan keturunan Tionghoa di Jakarta.
  3. Peristiwa faktual yang tidak memenuhi logika akal sehat (logical common sense). Contohnya adalah anggaran pelayanan publik yang tinggi dan fasilitas serta kualitas pelayanan publik oleh pemerintah yang sangat rendah. Secara akal sehat, mestinya berbanding lurus. Contoh lain seperti kebijakan pemerintah daerah yang digali dari proses musyawarah rencana pembangunan dengan melibatkan masyarakat, tetapi ketika diterapkan justru masyarakat itu sendiri yang memprotes kebijakan itu karena dirugikan, misalnya.
  4. Skandal yang bersifat korporatif. Contohnya adalah rekening seorang perwira polisi yang bermutasi secara periodik dengan volume transaksi setiap tahunya yang dipengaruhi oleh jumlah kasus yang ditangani dan pelanggaran yang dilindungi. Contoh lain adalah pernikahan seorang pengusaha ternama pembalak kayu di Poso yang dihadiri oleh beberapa kapolda di Indonesia (ini hanya contoh fiktif).


Hasil investigasi adalah sebuah kisah. Kisah ini diramu sedemikian rupa pada tahap akhir sehingga hal-hal yang tidak masuk akan menjadi masuk akal, hal-hal yang tidak berhubungan menjadi berhubungan, hal-hal yang tersembunyi menjadi terkuak. Kisah ini merangkai berbagai bagian fakta dan peristiwa sehingga memberi wawasan dan arti baru bagi yang membaca atau manyimak laporan tersebut. Dunia dari sebuah investigasi terhadap suatu kasus jauh lebih luas ketimbang ketika melihat peristiwa-peristiwa itu secara parsial. Jadi, hasil investigasi yang umumnya diklaim oleh radio dan televisi, juga beberapa media cetak, adalah deskripsi obyek berita. Bukan investigasi. Dengan kata lain, laporan jurnalisme investigasi bukan in-deept reporting, bukan stright news, bukan feature news, bukan interpretasi, dan yang pasti adalah bahwa laporan jurnalisme investigasi tidak kurang dari 50 pragraf.

Karakterisitik reportase investigasi
Joseph Pulitzer, menurut Mitchell V. Charnley, menyatakan ada dua hal yang signifikan mendasari reportase investigatif: jurnalisme harus membawa muatan pelayanan “pencerahan” (enlightened) public dan seringkali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja peliputan junrlistik macam ini dimotivasi oleh “semangat, keterampilan, keberanian, dan imajinasi”. Kerja peliputannya tidak hanya puas dengan “berita yang (dapat) dilihat” akan tetapi menyangkut pula “kemendalaman penggalian” dan agresivitas serta kerap “berbahaya/berisiko tinggi” terhadap fakta-fakta yang tersembunyi.

Jurnalisme investigative memang berbeda dengan kegiatan junrnalistik pada umumnya. Ada beberapa unsure dari jurnalisme investigatif – termasuk mengenal perangkat nilai berita, seperti unsure proksimitas, relevansi, kecepatan, drama, dan lainnya. Para wartawan membuat berita berdasarkan sumber-sumber yang terkait, teragenda, dan menjadi langganan informasi mereka, selain itu mereka juga menyeleksi, apa sumber informasi mereka layak atau tidak, mengandung kebenaran atau tidak.

Ruang lingkup Jurnalisme Investigasi
Narasi investigator mengkonstruksi kisah keseluruhannya. Ini merupakan upaya merekonstekstualisasi fakta-fakta otoritatif, menyeimbangkan dua sudut pandang yang berlawanan, atau menonjolkan pandangan alternative. Hal itu meliputi narasumber yang menjadi “saksi mata”, figure-figur otoritatif yang terkait dengan permasalahan. Pengerjaannya meliputi kegiatan dokumentari radio, feature televise, tulisan-tulisan kolom di surat kabar, dan seterusnya.

Maka itulah, kisah-kisah jurnalisme investigative memiliki ukuran dan keluasan yang tidak mudah digeneralisasikan. Ada yang mengukurnya dari pemuatan kisah “seorang korban” (victim). Ada juga yang mengaitkannya dengan kelemahan sebuah sistem, seperti pelenggaran administrasi di lembaga pengadilan, atau birokrasi pemerintahan.

Dalam kumpulan materi Burgh, pelbagai kasus-kasus investigasi itu meliputi permasalahan sebagai berikut:

Hal-hal yang memalukan, biasanya terkait dengan hal yang illegal, atau pelanggaran moral.
Penyalahgunaan kekuasaan
Dasar faktual dari hal-hal aktual yang tengah menjadi pembicaraan publik.
Keadilan yang korup
Menipulasi laporan keuangan
Bagaimana hukum dilanggar
Perbedaan antara profesi dan praktisi
Hal-hal yang sengaja disembunyikan.

Kisah Watergate menjadi sampel klasik bagi kegiatan investigative reporting. Pelbagai tindakan manipulatif seorang presiden dengan kelompoknya, dalam kisah itu telah menyinggung kepentingan masyarakat Amerika. Masyarakat menuntut adanya kebutuhan dan kenyataan untuk tahu. Presiden dan kawan-kawannya telah melakukan upaya untuk menutupi fakt-fakta. Kebenaran telah dibawakan oleh para wartawan atas inisiatif mereka. Tapi apa sebenarnya investigative reporting itu?

Investigative reporting menurut Atmakusumah secara harfiah, mengartikan dalam kaitan pekerjaan pers, adalah pelbagai bukti, yang dapat dijadikan fakta, bagi upaya menjelaskan adanya kesalahan atau pelanggaran atau kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang atau pihak-pihak tertentu. Reportese investigative memang merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat.

Dari gambaran ringakas di atas, reportase investigasi oleh Atmakusumah diistilahkan laporan penyidikan, dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya:

  1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka. Dengan mengetahui informasi itu, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Tanpa bantuan laporan penyidikan, informasi itu mungkin tidak dapat mereka ketahui, karena: "pemilik atau “penyimpan” informasi tidak menyadari pentingnya informasi itu; Informasi itu sengaja disembunyikan.
  2. Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru.
  3. Laporan penyidikan itu berisiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi dan bahkan kontradiksi dan konflik. Untuk menghasilkan laoran seperti ini, seringkali harus menggali bahan-bahan informasi yang dirahasiakan.
  4. Karena itu harus jauh-jauh hari dipikirkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya terhadap: subjek laporannya (dengan menimbang-nimbang akibat negative yang diderita subjek laporan dibandingkan dengan manfaat bagi umum. Penerbitan pers situ sendiri (baik reaksi dari lembaga resmi maupun dari pemasang iklan dan public pembaca).
  5. Untuk menghadapi dilema ini diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas. Pada pokoknya, harus ada idealisme, baik di dalam diri reporter itu sendiri maupun di sektor-sektor lain dalam struktur organisasi penerbitan per situ.

Tahapan Jurnalisme investigasi
Andreas Harsono mengutip ceramah Sheila Coroner, direktur Philippines Center for Investigative di Filipina yang berdiri pada tahun 1989 seusai tirani Fedinand Marcos berakhir. Coroner dating ke Indonesia dan memberikan ceramah di beberapa kota besar di Indonesia. Coroner menunjukkan bahwa tahapan kegiatan investigasi itu dapat diurut ke dalam dua bagian kerja: bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar, sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigatsi. Pada masing-masing bagiannya terbagi ke dalam tujuh kegiatan rinciannya. Rancangan kegiatan ini, menurut Coronel, merupakan pengaturan sistematika kerja wartawan investigative agar terurut kepada tahapan-tahapan kerja yang mudah dianalisis.

Bagian pertama
- Petunjuk awal (first lead)
- Investigasi pendahuluan (initial investigation)
- Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
- Pencarian dan pendalaman literature (literature search)
- Wawancara para pakar dan narasumber ahli (interviewing experts)
- Penjajakan dokumen-dokumen (finding a paper trail)
- Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources)

Bagian kedua
- Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation)
- Pengorganisasian file (organizing files)
- Wawancara lebih lanjut (more interviews)
- Analisis dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
- Penulisan (writing)
- Pengecekan fakta (fact checking)
- Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)--> [Pencemaran nama baik ini merupakan tambahan ketika Sheila Coroner, direktur Philippines Center for Investigative hendak meluncurkan hasil investigasinya tetang harta kekayaan Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina.]

Tips Investigative Reporting

Strenz menguraikan beberapa kelalaian yang bisa terjadi di dalam sebuah liputan, yang meliputi kedudukan reporter, sumber berita, dan khalayaknya. Beberapa saran dan penjelasannya merupakan factor-faktor yang tampaknya berkaitan dengan kegiatan investigative reporting, untuk mencegah terjadinya distorsi kebenaran yang hanya sekadar fakta. Beberapa hal perlu diperhatikan itu adalah:

Orang yang berbeda melihat peristiwa atau isu yang sama dengan cara yang berbeda.
Sumber yang sama akan melaporkan peristiwa yang sama secara selektif dan berbeda, tergantung kepada khalayaknya.

Bagaimana “fakta-fakta” dilaporkan dan berita dibentuk tergantung pada:

(a) sifat dari proses pengumpula berita,

(b) bagaimana berita dirumuskan,

(c) bagaimana berita dibuat rasional,

(d) bagaimana berita dinilai lebih dulu,

(e) bagaiaman reporter mengatasi tekanan untuk menghasilkan berita yang baik.

Spark menunjukkan beberapa konklusi, yang bisa dipergunakan sebagai pedoman, di dalam melaksanakan reportase investigative:

  1. Temukanlah fakta-fakta dari hati sebuah isu, jangan masuk ke dalam komentar para pembicara;
  2. Mudahkanlah pelbagai konsep yang sulit, jangan terjebak dengan penulisan yang rumit;
  3. Jangan dipengaruhi oleh pandangan dari narasumber utama, carilah sumber lain dengan sudut pandang yang lain
  4. Bicaralah ke berbagai orang yang relevan yang harus ditemukan
  5. Jawablah pertanyaan-pertanyaan secara sederhana dan mudah yang bisa membuka subjek yang hendak diinvestigasi.
  6. Jangan mengambil segala sesuatu dan segala orang melalui nilai-nilai mereka.
  7. Ingatlah bahwa setiap orang, setiap organisasi dan setiap kejadian memiliki sejarah, yang mempengaruhi peristiwa itu terjadi.

Tantangan Jurnalisme Investigasi
Menurut Wina Armada (1993), laporan invesigasi di Indonesia belum menjadi suatu tradisi yang melembaga di tubuh pers pada tahun 1990-an. Laporan investigasi belum memiliki dampak luas dan menonjol. Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan investigasi, sebagai sebuah pendekatan, yang bersifat temporer, kadang-kadang dan masih dapat dihitung jari. Armada mengajukan beberapa sebab yang menghambat kegiatan peliputan investigative, yakni pers Indonesia masih menilai laporan investigatif adalah laporan yang memakai “biaya tinggi”. Proses liputannya menghabiskan “waktu” yang amat panjang. Hasil akhir (output) yang “tidak pasti” memberikan halangan juga kepada gairah wartawan Indonesia. Ditambah lagi “risiko besar” yang bisa timbul akibat peliputannya. Dan, persyaratan “modal kuat, keuletan dan kesabaran” yang harus dimiliki seorang wartawan investigative Indonesia belum mendapat tempat di kalangan pers saat itu.

Dalam amatan Andreas Harsono, dekade 1990-an merupakan fase beberapa majalah mulai secara eksplisit memakai istilah “investigasi” pada beberapa liputannya. Ketika terbit tahun 1996, dwi-mingguan Tajuk menyatakan dirinya sebagai majalah “berita, investigasi dan entertaimen. Penerbitan kembali majalah Tempo, 6 Oktober 1998, seusai dibredel, membuat sebuah rubric dengan nama “investigasi”. Tempo membuka lembaran baru penerbitannya (6 – 12 Okotober 1998, “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”) dengan laporan investigasi mengenai pemerkosaan keturunan Cina pada saat huru-hara Mei 1998. [***]

Jurnalis investigasi

  1. Jurnalis dalam jurnalisme investigasi adalah wartawan khusus. Ia/mereka khusus karena kemampuan khusus: lebih gigih, lebih tidak mudah menyerah, lebih biasa bekerja dalam diam, daya tembusnya lebih tinggi, berkemampuan khusus seperti forensi, mobilitas lebih tinggi, bekerja lebih keras, mempunyai waktu banyak, dan punya nasib baik/good luck (Andreas Harsono).
  2. Jurnalisnya adalah orang yang skeptisnya tinggi, kemampuan deduksi yang peka, bekerja cerdas selain berkerja keras (Bondan Winarno).

Disampaikan pada Workshop On Producing Good Quality Reporting yang diselenggaran LGSP-USAID untuk wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan pada 21-22 Maret 2007.


Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim