SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Kamis, 19 April 2001

Jalan Pintas Berantas Korupsi

Oleh Maqbul Halim
(Makassar, Maret 2001)


Menurut UU No. 28 Tahun 1999, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak hanya dilakukan antar-penyelenggara Negara melainkan juga antar-penyelenggaran Negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi bermasyarakat, berbangsa, dan seterusnya. Oleh sebab itu, pembasmian dan pemberantasan korupsi (KKN) harus dilakukan dalam segala bentuk dan cara. Korupsi selama 32 tahun masa Orde Baru tanpa perlawanan telah mewariskan sebuah Indonesia, yakni sebuah bangsa, yang cukup sial. Sementara bangsa-bangsa lain tengah bertransformasi dari bangsa yang berbasiskan pembangunan ke suatu wilayah bangsa yang berbasiskan informasi. Sedangkan Bangsa Indonesia melangkah mundur. Itulah efek “maut” dan “nista” korupsi.

Sementara upaya legal-formal untuk memerangi korupsi ternyata tidak sekaligus menggilas moral-hazzard yang telah menjangkiti mental bangsa Indonesia. Apalagi, asaz kepastian hukum untuk kasus-kasus korupsi telah banyak menguntungkan para terdakwa dan tersangka korupsi dalam berbagai event. Alias, akibat satu rumahnya sistem hukum di Indonesia yang abu-abu dan mental korup para penegak hukum, telah menciptakan atmosfer yang tidak pernah cerah bagi pemberantasan dan pembasmian korupsi di Indonesia. Aspek legal-formal sebagai salah satu konstituen pembasmian korupsi belum berwibawa dan terlalu sering menghadiahkan mimpi buruk.


Paradigma Radikal
Pesan yang sangat penting bagi Indonesia untuk soal korupsi, bahwa kreativitas dan kemandirian gagasan (dalam nuansa kebebasan berpikir) untuk menyorot penyakit korupsi yang sudah sangat kronis ini adalah kematangan paradigma realitas sosial. Pada panggung gagasan inilah kemudian Ignas Kleden menemukan mental instan bangsa Indonesia berhadapan dengan realitas sosialnya. Menurut Ignas (Tempo, 14 – 20 Agustus 2000), setiap krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula.

Kemudian para decision maker yang biasa dikenal gelar kehormatan “Elit Politik” tergiring masuk ke dalam lingkaran krisis berpikir ini. Mereka, elit itu, secara cepat dan bangga mendatangani kesimpulan, tanpa curiga terlebih dahulu benarkah kesimpulan tersebut didukung oleh asumsi-asumsi yang betul dan tepat ataukah lebih merupakan suatu lompatan kesimpulan dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.

Masih tentang krisis berpikir ini, mari sejenak kita cermati artikel Ignas tadi. Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Sekarang, semua orang berpendirian baja, bahwa akar utama masalah korupsi adalah lemahnya penegakan hukum. Setelah tikar penegakan hukum digelar, terbasmikah korupsi? UNESCO juga pernah sangat radikal mengasumsi keterbelakangan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga. Akarnya: pendidikan. Konsep Ekonomi John Maynard Keynes, yang kemudian populer Keynesianism, menemukan akar keterbelakangan negara-negara dunia ketiga akibat tiadanya pembangunan yang terencana. Maka, kuncinya adalah pembangunan ekonomi (developmentalism), teori ekonomi keturunan blasteran dari kapitalisme baru dan aliran-aliran teori ekonomi klasik. Dulu, kalangan Marxis Ortodox mengklaim pententangan antar kelas sebagai akar persoalan. Oleh karena itu, maka kalangan borjuasi harus di-enyah-kan. Lantas, selesaikah masalah setelah itu?

Katakanlah korupsi itu sebuah kendaraan mobil. Aspek legal formalnya adalah kunci starter. Dengan starter ini, mesin berputar, ban berjalan, klakson berbunyi, persenelan berfungsi, dan seterusnya. Yang dilupakan, kata Ignas ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat. Korupsi adalah sebuah perilaku yang fenomenanya tidak mekanistis dalam rumus: jika A maka B. Setiap perilaku individu, selalu mengekspresikan latar sosiologisnya masing-masing namun dapat dijelaskan oleh hampir semua aspek kehidupan. Ingat, efek mematikan korupsi juga merusak hampir semua aspek kehidupan.

Dengan tesis bahwa, setiap manusia membawa individunya masing-masing yang sulit untuk menjauh dari latar sosiologis dan psikososialnya, dan oleh sebab itu maka ia pun mengantongi kehendak dan kemerdekaannya sendiri, maka perspektif mekanistis terhadap konsep pijakan pemberantasan korupsi sangat berbahanya dan beresiko karena sangat berpeluang memperpanjang kerugian negara dalam pemberantasan korupsi. Apa yang hendak dikemukakan dalam persoalan ini, bahwa mendewakan aspek legal formal dalam pemberantasan korupsi sebagai kunci “Juru Selamat Yang Maha Esa” justru akan mengecilkan instrumen lain. Pendewaan seperti itulah salah satu maksud dari krisis berpikir yang cenderung radikal (mencari akar tunggal).


Out of Contest
Tetapi, pada pengertian lain, kita juga sangat kagum dan memuja karena telah melihat bahwa Hongkong (bekas koloni Inggris) dan Singapura berhasil merobek jaring laba-laba korupsi yang karena itu kedua negara in pernah meraih prestasi sebagai termasuk 10 besar negara terkorup di dunia medio 1970-an. Selanjutnya, entah sengaja atau tidak, kita melupakan diskusi tentang prototipe dan struktur sosial kemasyarakatan di kedua negara tersebut. Kita juga lupa bertanya tentang bagaimana korupsi itu terbenam, apakah lambat atau laun. Kita memang hendak mencoba melata dari apa yang dilakukan oleh kedua negara tersebut. Alasannya pun jelas, Indonesia dengan kedua negara itu memiliki masalah yang sama: korupsi. Namun, pertanyaannya, pernakah bangsa dari kedua negara tersebut mengklaim pengakuan bahwa aspek legal formallah akar dari segala kunci pemberatasan korupsi?

Ekspalanasi di atas memang menawarkan kesan pro (favourable) terhadap perilaku praktek korupsi dalam tulisan ini. Hal itu mungkin wajar bila meletakkan korupsi sebagai satu-satunya virus asal krisis bangsa ini bermetamorfosis. Barangsiapa menitipkan pernyataan sanat membela, membela, atau agak membela praktek korupsi, maka itu artinya pro praktek korupsi (pro koruptor). Hanya saja, Indonesia rupanya bukan hanya mengidap virus korupsi, tetapi virus-virus lain juga tak kala ganasnya dan saling bahu membahu mempertahankan cengkramannya. Gambaran kesulitan mengklasifikasi akar-akar krisis ini adalah karena krisis ini tidak punya bahasa verbal yang dapat diiterpretasi secara formal, yang dapat menyurati para decision maker tentang penyebab tunggal sehingga krisis itu sendiri masih tetap bertahan hidup.

Selanjutanya, mari kita mengarahkan pandangan kita sambil berputar pada sumbu tempat kita berdiri. Berputar, karena realitas itu sendiri present sehingga hadir di sekeliling atau di seputaran kita. Persepsi kita tentang korupsi sebagai realitas sosial mungkin akan lebih baik. Katakanlah lebih baik karena, mulai dari otoritas hukum, otoritas lembaga sosial kemasyarakatan, otoritas budaya, otoritas spritual, otorita politik, otoritas local indigenous, otoritas ekologi, dan seterusnya tidak ada dianaktirikan. Pengertian otoritas dalam tulisan ini adalah bahwa dalam dunia sosial setiap agen-agen sosial punya kendendak dan kemerdekaannya sendiri. Kemudian, apa yang menjadi tugas kita adalah membangun konsep pemberantasan korupsi yang berbasiskan pada otoritas-otoritas di atas menjadi suatu model verbal yang memberikan gambaran lebih banyak dari pada yang sesungguhnya kita lihat. Apalagi, antara konsep dan otoritas dapat saling mengindikasikan dengan silih berganti peran sebagai bentuk dan isi.

Sebuah gerakan anti korupsi semestinya menyediakan banyak alternatif dengan alasan bahwa masalah korupsi juga tidak hanya terdiri dari satu entitas causa prima saja. Visi dan misi sebuah gerakan anti korupsi harus mampu merangsang terlembagakannya nilai-nilai dan patron kesadaran kolektif masyarakat sehingga pada akhirnya terbentuklah sebuah pratana sosial. Pranata sosial adalah representase aktualisasi dari berbagai otoritas yang telah disebutkan sebelumnya. Ini memang agak rumit namun lebih terpadu. Bayangkan, suatu fenomena korupsi yang terangkai dari berjumput jaringan otoritas, tetapi pemberantasannya hanya dibebankan pada satu otoritas saja, katakanlah otoritas hukum (aspek legal formal) saja. Beban itu terlalu berat dan mudah menggiring dicapainya keputusan instan.

Tugas masing-masing otoritas memahami dan mengenali wilayah fenomenanya sendiri tetapi tidak mereduksi eksistensi wilayah fenomena otoritas lain. Katakanlah kebijakan Presiden Gus Dur menunda penahanan tiga konglomerat hitam, meminjam istilah Kwik Kian Gie, sebagai keputusan administratif berkonsideran otoritas ekonomi, secara telanjang mereduksi otoritas lain seperti kepentingan penegakan hukum (law enforcement). Gerakan ini juga harus secara tegas mengakui (to be present) klasifikasi basis komunitas sosial tiap-tiap otoritas. Bila hal itu tidak mendapatkan pengakuan, yang terjadi kemudian adalah pengingkaran-pengingkaran yang tidak begitu penting dan merugikan, seperti perspektif otoritas ekonomi yang tidak mengakui urgensi otoritas ekologi, yang keduanya berkepentingan terhadap planet Bumi.

Penataan Ekonomi Internal
Lebih dari sekedar masalah kontemporer korupsi, momentum baru praktek korupsi telah beringsut secara sentripetal (menyebar) ke wilayah-wilayah yang terpisah. Sampai pada tahun keempat usia reformasi, kewenangan daerah ternyata belum terdefinisikan secara tegas, minimal dari sikap elegan pemerintah pusat. Peluang korupsi telah di-floor secara pelan-pelan. Tentu saja ini merupakan rekomendasi bagi gerakan anti korupsi. Gerakan anti korupsi harus menyiapkan energi dan stamina yang lebih bagus dari yang pernah dikeluarkan untuk membasmi dan memberantas korupsi yang diterpusat di jantung pemerintahan. Kesulitannya memang agaknya lebih pada tetap haramnya mengontrol korupsi cemeti kewenangan kekuasaan yang terpusat.

Belum lagi Indonesia keluar dari krisis ekonomi dan politik, tiba-tiba bangsa Indonesia dikejutkan oleh laporan dari salah lembaga audit internasional yang menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-2 negara terkorup di Dunia. Tentu saja hal ini sangat kontradiktif dengan komitmen dan keseriusan bangsa Indonesia yang tengah mereformasi diri hampir pada semua sendi kehidupannya dalam berbangsa dan bermasyarakat.

Sembari menunggu Indonesia pulih dari krisis multidimensi seperti sekarang ini, roda pemberantasan korupsi akan terus berputar di luar jalur legal-formal. Salah satu dari jalur jenis tersebut adalah publikasi mozaik dan ikhwal korupsi di Indonesia. Peran pers dalam hal itu telah memberi kontribusi yang sangat besar selama ini. Meskipun demikian, ketersediaan informasi tentang korupsi, baik yang sifatnya “siap hidang” maupun yang “konon”, selalu dibutuhkan dalam akses yang mudah dan praktis.

Kita juga tidak selamnya asyik menyembunyikan kekecewaan resep law enforcement men-“jampi-jampi” realitas kebangsaan Indonesia untuk efektif mengusir “roh jahat” korupsi itu dari mental-mental masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Permakluman terhadap kelemahan jalur legal-formal itu dari kacamata epistemologi positivisme tidak akan membuat kita mengatur langkah mundur dan kemudian berbaring di atas tikar kepasrahan. Itulah sebabnya, mengapa kreativitas berpikir sangat strategis di tengah krisis berpikir para decision maker dalam menyusun langkah maju.

Kebutuhan mendesak yang mesti berjalan beriringan dengan prioritas urgen yang lain adalah penataan internal orde ekonomi baru. Tiga teori ekonomi, teori ekonomi ketergantungan (dependency theorists), teori ekonomi marxist, dan teori ekonomi kapitalis ortodoks, ketiganya gagal menelusuri sejarah dengan baju putih “keselamatan bersama”. Muncullah kemudian teori ekonomi pembangunan (developmentalism) yang dianut lebih separuh negara dunia ketiga di Asia dan Afrika (seperti dijelaskan sebelumnya).

Merasa bahwa tekanan internal untuk merealisasikan azas “tricle down effect”-nya developmentalism semakin berat dan gencar--lihat status quo rezim otoriter, maka penguasa otoriter di negara berkembang pun mengarahkan moncong “meriam”-nya ke Utara. Mereka menuntut dibentuknya orde ekonomi internasional baru. James H. Weaver dan Marguerite Berger berpendapat bahwa tuntutan orde ekonomi internasional baru yang disuarakan pemimpin dunia ketiga merupakan kepalsuan dan penipuan yang dibuat untuk mengalihkan perhatian rakyatnya dari struktur internal yang menghambat pembangunan, membuat rakyat tetap miskin, dan melestarikan kelaparan, penyakit dan buta huruf.

Bila James H. Weaver dan Marguerite Berger benar, daftar pekerjaan rumah bagi negara yang bernama Indonesia menjadi lebih panjang lagi. Salah satu isi daftar itu adalah tuntutan rakyat kepada decision maker untuk segera dibentuknya tata ekonomi internal baru. Salah prasyarat bagi mengejewantahkan tuntutan tuntutan tersebut, secara terpisah dijawab oleh Anthony Giddens dalam “The Third Way” (1999), bahwa negara harus memperluas peran ruang publik yang berarti reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, serta pengenalan sarana perlindungan baru terhadap korupsi.

Jadi, tata ekonomi internal baru ini lebih menyangkut yang terakhir di atas. Sebab, manajemen pemerintahan di Indonesia memang lebih banyak bergantung pada perjanjian (transaksi) di bawah meja. Cara-cara melakukan segala sesuatunya tidak diperiksa dengan cermat dengan efek yang amat brutal dalam wilayah kepentingan publik. Contoh, proses penyusunan Perda RAPBD pemerintah kabupaten atau propinsi di Indonesia betul-betul berlansung seperti menarik benang dari tepung dan tepunnya tidak berantakan. Oleh karena itu, Anthony Giddens benar, reformasi konstitusional dalam membentuk tata ekonomi baru internal harus disertakan dengan pengenalan saran perlindungan baru terhadap korupsi.

Pernah dimuat di Harian Fajar pada 2001
Penulis : Koord. Divisi Penerbitan dan Informasi Yayasan Kantata Bangsa (YKB) DPC Makassar.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim