SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 03 April 2001

Perempuan Imajiner Dalam Industri Media

Maqbul Halim

SEBUAH perdebatan tentang perempuan menyembul secara tiba-tiba di forum itu. Di forum itu, sejumlah manusia yang telah mendeklarasikan diri masing-masing sebagai pejuang anti korupsi—setidaknya, menurut konsideran surat undangan Anti Corruption Committee (ACC) Sulsel yang mereka terima. Sabtu,14 Mei silam di Hotel DELIA Makassar itu, pada yang disebut “forum itu” tadi, serorang peserta memprotes kepada nara sumber. Pasalnya sederhana, pemateri memaparkan list kasus korupsi pejabat berkelamin “jantan” yang berkorelasi positif dengan dukungan dan desakan sang istri—istri, terlepas ia jantan atau betina. Lelaki yang punya kepekaan dan kritis sehinga mengajukan komplen tersebut menilai bahwa si pemateri hendak menuntun audience dengan premis-premisnya hingga tiba pada suatu konklusi: perlu dicermati jejak-jejak langkah perempuan dalam keputusan bertindak korupsi oleh seorang suami.

Forum waktu itu menyadari bahwa masalah tersebut sangat penting. Pasalnya berbias jender. Dan, tentu saja bila kategori pentng itu dituruti, tentu saja topik orisinil orisinil forum terbengkalai. Tetapi, beberapa peserta kemudian menyusulkan semangatnya untuk melancarkan protes kepada pemateri ketika tiba coffee break. Dari perdebatan kusir itu, rupanya konklusi itu sudah lama merangsek menjadi generalisasi dengan starting point pada list pejabat tadi. Ketika diasumsikan, maka ada serupa rekomendasi yang ikut merumuskan asumsi-asumsi baru yang kemudian bekembang menjadi wacana sosial kolektif bagi masyarakat. Dan, korupsi sebagai perilaku dan juga prototif dalam figuranya, telah terpermak oleh asumsi kolektif tadi. Tetapi, salah juga bila mutlak menyatakan, “gara-gara list itulah biangnya”. Katakanlah bahwa itulah realitas sosial. Tapi, realitas yang tidak memenuhi fungsi modalitasnya, seperti conscientizacao, mencuri istilah Paulo Freire, tentu tidak akan pernah berbicara tentang subtansi dari masalah perempuan yang sesungguhnya. Terutama juga karena modalitasnya—dalam bahasa filsafat—tidak memenuhi elemennya sehingga sukar dijelaskan secara epistemologi.

Mereka, peserta itu yakin bahwa tindakan pejabat laki-laki untuk korupsi atau tidak adalah keputusan bersangkutan, kecuali yang kualitasnya kasuistis. Istri, sebagaimana seorang pemberi saran dan pertimbangan, bukan pengambil keputusan. Namun, meski peserta itu juga benar, penjelasan seperti itu hanya sekadar obat mujarab yang berfungsi tambal sulam. Kalau sekadar tambal sulam, kita memahami masalahnya. Tetapi pertanyaannya kemudian, bagaimana hubungan “materi” antara peluang dan dorongan untuk korupsi bagi pejabat dengan seorang perempuan sebagai istri, utamanya secara genetik? Ilmu anatomi tubuh dalam biologi misalnya, tidaklah jelas. Apalagi bila biologi itu dapat menjelaskan bahwa ada sebentuk susunan gen pada tubuh manusia berjenis kelamin perempuan yang memungkinkannya untuk konsumtif, misalnya. Seterusnya dalam realitas sosial, dapat juga disebut sebagai biang penggagas keputusan dan tindakan korupsi. Hal ini sangatlah tidak bertangung jawab dan amat menyesatkan, alias (mungkin?) berbias jender.

Intermezzo di atas hanyalah sebuah metafor namun telah amat ter-diaspora dalam persepektif kolektif secara sosiologis, yang akhirnya membingkai persepsi sosial dan kultural masyarakat sendiri. Selanjutnya secara dialektis, persepsi itu bermetamorfosis terus secara berkesinambungan sehingga terus terpeliharalah sebuah dunia sosial yang memilihkan tempat bagi perempuan pada posisi yang periferal dan sangat tidak menguntungkan dari aspek keadilan hidup. Hal tersebut dapat dengan mudah diamati pada jejak historis yang lebih banyak mengeksploitasi mahluk yang tidak ada bedanya dengan laki-laki itu—kecuali untuk perbedaan secara bilogis yang semi-mutlak adanya—karena dipersepsi hanya sebagai hal yang instrumen, bukan persoalan humanis. Setidaknya, begitulah cara yang kita melegalisirnya dan terus memodifikasinya dengan epistemologi modern sehingga sejarah dunia dapat terus dipertahankan ketidakadilannya. Itupun sudah sangat banal.

Sebaiknya, kita pun tidak terus menghardik variabel sejarah yang membuat keliru paradigma dan persepsi kolektif sosial tentang perempuan itu. Mari kita mendongakkan wajah ke atas; memutus mata rantai konstruksi sosial tentang predikat perempuan yang terlanjur banal dan merugikan itu. Institusi yang paling gencar mereproduksi dan mengkonstruksi realitas sosial adalah media massa—karena hanya media (baca: fasilitas tulis-dengar-baca) yang abadi membuat dunia verbal menjadi kekal. Merajut ide perempuan menjadi sebuah gagasan, sebab bagi penulis: ide beda dengan gagasan karena gagasan lebih operatif, tentulah menghasilkan barang komoditi yang sangat produktif, terutama karena subjek perempuan dapat memediasi ide menjadi gagasan, dan selanjutnya gagasan menjadi dolar.

Media massa adalah mesin dolar yang tak pernah berhenti menjual gagasan, mereproduksi makna sejarah dan agenda sejarah. Media massa menawarkan dua rana bagi perempuan, ranah jurnalistik dan hiburan (Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan, LP3Y: Desember 2000). Masing-masing ranah ini mengelola efeknya; realitas sosial adalah sekuen dari ranah jurnalisme. Sedangkan ranah hiburan lebih banyak menggarap efek psikologi yang bersifat personal. Rana hiburan sudah lama menjadi penyakit dunia sosial di hadapan media massa dan terus mandapatkan perlawanan yang tidak efektif, entah dari gerakan pembebasan perempuan, gereakan peminisme, atau soal jender. Sedangkan ranah jurnalisme semakin memperkaya khazanah intelektual dengan wacana perempuan yang tidak lebih dari sebuah ekstraksi imajiner. Beberapa bagiannya selalu hendak difiksionalisasi. Hingga kini, wacana perempuan di media massa terus memendarkan dua rana ini yang nyaris tanpa ampun.

Setidaknya, pemberitaan media di Indonesia telah menunjukkan bahwa korupsi adalah bagian lain dari asumsi kolektif masyarakat yang sering merendahkan martabat perempuan. Tetapi di sini pun ada kelemahan mendasar wacana jender dalam pemberitaan media: jurnalis seringkali menjadi pemburu peristiwa yang sama, bukannya pencari peristiwa yang kira-kira itu adalah embrio suatu eksplosi, yang kemudian akan menjadi incaran pemburu berita. Konsumerisme—atau sikap pasif dan lemah untuk menyebutkan persosokan lain selain dari konsumerisme—yang sering disematkan sebagai predikat perempuan merupakan eksplosi yang tidak bermusim, tanpa jedah. Karya-karya jurnalistik selalu berangkat dari eksplosi tersebut untuk mengeksplorasi realitas soal perempuan sebagai beberapa kepingan realitas sosial-buruk lainnya. Baik konsumen karya-karya jurnalistik maupun penulis yang mengerakkan makna demi makna dalam “kata-kata”-nya, sangat jauh terletak dari wilayah sejarah konstruksi dan reproduksi makna dan simbol subjek dan predikat perempuan itu. Jadi, ada watak ideologis yang bekerja di balik performance media.Maka, sajian hidangan media yang eksplosif itu kita cicipi dengan kepanikan tapi nikmat dan lezat, senikmat dan selezat animasi tubuh erotis perempuan, kata Ruper Murdoch.

Hingga kini, perempuan sebagai obyek dalam dinamika industri media seringkali ditemukan di belantara garis-garis perdebatan tanpa jelas akar masalah dan harapan-harapannya. Tetapi bukankah perempuan sebagai obyek dalam media adalah materi yang manifest sifatnya. Dan pula, tidak merepresentasekan masalah perempuan pada intinya. Ketika seseorang berang terhadap “teks” perempuan di layar perak yang berbias jender, ketika itu pula melempari panggung, membidik sosoknya, menyorotkan cahaya senter kepada bayang-bayangnya. Padahal, “Pesinden memang termasuk bagian penting dari orang di balik layar, tetapi dia tatap bukan dalang,” H. Sujiwo Tejo di TEMPO edisi 3 Juni 2001 bercerita tentang laten dan manifest dalam formula pesinden – dalang. Akibatnya, “teks” perempuan terlalu besar, sementara “konteks”-nya, yang sarat dengan karakter ideologi dan konstruksi dan reproduksi realitas sosial (baca: laten—pen), tak tersibak.

Begitu ada kesadaran tentang dimensi manifest masalah perempuan pada industri media yang menyembunyikan dimensi laten, gerakan yang bermerek pembebasan perempuan pun mulai berhembus masuk ke “ruang” dapur redaksi dan Production House (PH). Lebih dari itu, dapur eksekutif dan dan legislatif dalam institusi negara juga disatroni. Komunitas progresif dan kritis perempuan pun terus mendentangkan lonceng pidatonya. Mereka berteriak tentang rasio perbandingan perempuan dan laki-laki di dapur redaksi; perempuan yang diserahi kewenangan mengambil keputusan redaksi; inisiatif perempuan menggagas materi entertainment (seperti iklan). Perspektif kolektif—utamanya masalah perempuan—telah menginjak ke bentuknya yang lain. Maka, persepsi yang melengkapinya pun semakin operatif, bahkan sangat hingar-bingar.

Namun, ada kelemahan terbesar mempersepsi masalah perempuan. Yakni dalam instrumen sosial. Seperti soal karir dan pengambilan keputusan, selalu ditinjau dari aspek kuantitatif. Padahal itu merupakan perangkap atau jebakan ‘lipstik’ statistik. Seorang semisal Cut Nyak Din, tentu sangat naif jika memandangnya sebagai sekumpulan jumlah unit-unit keperempuanan, sebagai hasil perhitungan atau penambahan. Dan, oleh karena itu, maka sebuah kekuataan telah tersaji di hadapan kita untuk disegani bersama. Yang ada hanyalah keseganan terhadap jumlah, kuantitas. Kita sesungguhnya yakin bahwa soal demokratis bukan terletak pada jumlah: mayoritas atau minoritas, tetapi ada juga keyakinan demokrasi kita sangat kuat bahwa keadilan dan kearifan seringkali jauh lebih menjanjikan masa depan lebih baik ketimbang demokrasi itu sendiri. Maka, seperti yang dilakukan seorang pemerhati perempuan semacam Naomi Wolff pada tahun 1992 ketika hendak mengabstraksi tingkat apresiasi lembaga penyiaran BBC World Service London dalam konsistensi pejuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, juga masih harus kita telusuri signifikansinya, yang garisnya akan berakhir pada suatu titik: conscientizacao, dalam istilah Paulo Freire.

Selain jebakan statistik itu, terdapat pula banyak pengalaman penelitian yang difokuskan pada persoalan peran perempuan yang menyebabkan dapat leluasanya sang perempuan mengambil keputusan, minimal tentang upaya pemutusan mata rantai konstruksi dan reproduksi realitas perempuan yang terus berlanjut tadi itu. Itu juga dilakukan oleh Naomi Wolff, masih di BBC World Service. Sejumlah organisasi non pemerintah (Ornop) di Indonesia atas bantuan funding international juga melakukan tiruan serupa dengan penelitian Naomi Wolff itu. Bahwa, posisi pengambil keputusan adalah target yang sangat strategis dan subtansial bagi perempuan. Argumenya pun jelas, bahwa jumlah dalam rasio dominan pada sebuah limit ruang—katakan ruang sosial-kemasyarakatan—belum cukup untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan itu sendiri untuk optimal berperan dalam penentuan dan pengambilan keputusan terhadap peningkatan dan penghormatan terhadap hak dan martabat perempuan sendiri.

Dalam formasi politik pun, peran perempuan dalam pengambilan keputusan, minimal terhadap soal penghargaan dan peningkatan harkat dan martabatnya, dibuatkan agenda khusus dalam Usulan Rancangan Undang-undang Politik di Indonesia yang tawarkan oleh Koalisi Ornop: “Keterwakilan Politik Perempuan”. Goal attainment-nya, agar perempuan dapat memaksimalkan perannya dalam pengambilan keputusan publik, termasuk juga khususnya soal perempuan, karena rasio pemilih perempuan di Indonesia adalah separuh dari keseluruhan pemilih. ‘Tetapi’, baik kita coba me-review soal peran dan posisi strategis perempuan dalam panggung politik. Sejarah telah berkisah tentang kesuksesan perempuan dalam meraih kursi puncak manajemen (termasuk eksekutif) yang (bahkan) mendapatkan dukungan dari kaum laki-laki, meskipun kaum antagonis perempuan ini selalu mayoritas di dewan legislatif. Sebutlah mereka itu antara lain: si “Wanita Besi” Margaret Thatcher, “Kuda Hitam” Qorazon Aquino, “Si Cantik Molek” Benazir Bhutto, “Si Cerdas” Golda Meir, “Pencetak Bola Muntah” Gloria Macapagal Arroyo, dan seterusnya. Tetapi dengan posisi peran kunci demikian, adakah perempuan jadi lebih beradab di hadapan dunia verbal dan tekstual yang didominasi laki-laki? Adakah eksploitasi perempuan melalui reklame / iklan (entertainment) pada industri media menjadi kurang atau tidak sensual dan ganas lagi? Nah, mungkin kita akan bertanya kepada salah satu risalah perempuan yang pernah berkuasa tadi itu!

Di hadapan anggota perlemen, beberapa bulan setelah Thatcher dikukuhkan sebagai Perdana Menteri Inggris, ia berujar, “Everyone want to, I have to ‘U’ turn. Please turn, if you want to. But the lady, not for turning!” Kita belum tahu, apalagi mengerti kalimat “but the lady” yang terlontar dari mulut Thatcher itu. Dewan, kala itu, nyatanya didominasi kaum laki-laki. Dari kalimat “but the lady”, kesannya sangat kuat bahwa Thatcher “ngotot” membedakan perempuan dan laki-laki soal prinsip. Kebijakan Thatcher yang membekukan tunjangan anak, misalnya, ditentang oleh bukan saja kalangan Partai Buruh, tetapi juga partainya sendiri, Partai Konservatif.

Ia didesak untuk memutar haluan (mengubah kebijakan politiknya), berputar kemudian berbalik, sebagaimana model aksara “U”. Namun, seyakin Soekarno manakala mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959—“ ... dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya (Dekrit—pen) jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!”—Thatcher terus melangkah. Itulah awalnya, Thatcher kemudian digelari “Wanita Besi”. Bahkan kursi perdana menterinya tak tergoyahkan hingga hampir 10 tahun. Lantas, berdayakah perempuan di Inggris (katakanlah di dunia) dengan ucapan Thatcher, “but the lady” itu? Thatcher ternyata malah membersihkan pos-pos jabatan eselon pemerintahannya dari perempuan yang cakap. Cecil Parkinson, ketua Partai Konservatif—partai Thatcher sendiri, dibiarkannya terpental dari gelanggang politik. Padahal dia diunggulkan sebagai Sekretaris Urusan Luar Negeri pemerintahan Kabinet Thatcher. Alasan Thatcher: “itu bukan karena Parkinson berselingkuh dengan sekretarisnya, Sara Keays (pelecehan seksual—pen), melainkan lebih sebagai pelecehan terhadap kehormatan partai.” Hingga puncaknya, Thatcher melakukan ‘penyerangan terbuka’: “Saya tidak berhutang apa-apa kepada gerakan pembebasan perempuan.” Kebijakan politiknya sama sekali tidak mengarah ke agenda Gerakan Pembebasan Perempuan. Hal itu lebih banyak menyangkut bagaimana mematahkan langkah demi langkah terobosan Partai Buruh.

Maka, katakanlah juga bahwa jumlah perempuan yang menduduki jabatan wartawan dan editor di media massa pers, atau juga disainer (juru kreatif) pada biro iklan, atau jumlah mereka yang perempuan di kursi legislatif secara representatif, ternyata lebih berimbang. Adakah dengan sendirinya pula mampu memproduksi kebijakan pemberitaan media tentang perempuan lebih beradab? Atau reklame dan teknik-teknik animasi iklan di layar televisi menjadi kurang seronok dan senonoh, terutama karena hanya mengumbar aspek biologis perempuan ketimbang aspek intelektual, kerampilan atau profesionalitasnya? Atau kebijakan politik tentang pembaruan dan perbaikan layanan kesehatan dan peningkatan taraf hidup perempuan pesisir menjadi lebih baik?

Rupanya, jumlah rasio dominan perempuan dalam limit ruang tertentu dan pencapaian posisi kunci pengambilan keputusan dalam berbagai lini kehidupan bukan garansi bahwa kehidupan dunia sudah menginjak pintu gerbang di mana cita-cita luhur dan adil dalam wacana pembebasan perempuan telah nampak seperti hamparan hijau lembah perbukitan yang menawarkan keindahan dan menjajikan kebahagiaan. Perencanaan publik tentang peningkatan martabat perempuan masih sulit untuk keluar dari lorong-lorong imanjinasi. Perempuan miskin tetap menjadi komoditi yang selalu salah urus.

Meskipun diakui bahwa pekik perempuan melalui “megafon” Gerakan Pembebasan Perempuan telah memberi arti bagi pembuatan program perbaikan kondisi kerja perempuan di se antero dunia. Namun, mereka tetap menjadi korban sasaran pembantaian ganasnya program-program entertainmen dan komersialisasi tubuh sensual perempuan. Jalan memberdayakan perempuan dari gempuran eksploitasi industri media dengan program penyadaran (public awarness) dan pemberdayaan (empowerment), terlalu dini bila hendak dikadaluarsakan. Di sinilah (mungkin?) Paulo Freire, ahli pendidikan Brazil, benar. Perempuan harus hadir dalam realias sosial sebagai hasil dari conscientizacao. Conscientizacao adalah istilah yang digunakan Freire untuk menunjuk suatu proses belajar mengenali kontradiksi sosial, politik dan ekonomi dan untuk bertindak melawan unsur-unsur penindasan realitas.

Biasanya, hal-hal yang selalu menghambat kemajuan perempuan adalah fatalisme, merendahkan diri, kerawanan dan kecemasan, yang kesemuanya berasal dari realitas. Freire pun mencoba mengidentifikasi masalah keterhambatan perempuan untuk mengalami kemajuan: perempuan selama ini diajar bagaimana membaca dan menulis dalam sebuah lingkungan di mana mereka tidak mempunyai sesuatu untuk dibaca, dan tidak mempunyai alasan untuk menulis. Bila perempuan, khususnya yang bergelut di dapur redaksi dan PH—termasuk di dapur perlemen, nyata-nyata mengalami proses belajar conscientizacao itu, industri media boleh jadi akan memiliki kesadaran sendiri tentang issu perempuan dan jender.

Di sana, hal conscientizacao itu, kita dapat menemukan harapan pergerakan kaum feminisme Lana F. Rakow: “... upaya memahami bagaimana cara supaya fungsi-fungsi sistem sosial, politik dan ekonomi yang ada, bisa diubah hingga sekurang-kurangnya menjadi lebih egaliter, kooperatif, dan tidak bersikap eksploitatif terhadap kaum wanita (Lana Rakow: 1991)”. Kepentingan jumlah dan kedudukan perempuan, sekali lagi untuk terakhir, hanyalah bagian kecil dari tema PEREMPUAN.

Penulis: Staff Program dan Koordintor Divisi HAM, Demokratisasi dan Anti Korupsi ëLSIM Makassar
Dimuat pada Majalah MediaWatch eLSIM Makassar, Edisi 08/2001

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim