SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 07 Januari 2007

Masjid (dan) Orang Miskin

Oleh Maqbul Halim

Suwarno, sebagian sangat kecil orang mengenalnya sebagai aktivis KNPI Sulsel. Orang-orang mungkin menduga lelaki setengah baya ini lebih banyak membelanjakan waktunya di warung kopi. Tetapi ucapannya mengejutkan masjid-masjid, rumah ibadah umat Islam yang oleh Al-Qur'an diklaim sebagai rumah Tuhan. Ucapannya adalah sebuah pernyataan yang berhak ditakzimkan pencinta dan pemilik rumah Tuhan.

Padahal, jarak antara Suwarno dan masjid-masjid memang sulit ditaksir ke dalam suatu derajat. Rumah Suwarno, warung kopi itu, adalah petunjuk yang bisa memberitahu. Tak ada warung kopi yang rela berdampingan dengan masjid. Juga, tak ada masjid yang berusaha beringsut mendekat ke warung kopi. Di atas jarak ini, Suwarno membiarkan dirinya menggumam tentang perilaku jumawa sebagian besar masjid.

Menurutnya, dimana-mana Rumah Tuhan yang mewah nan agung itu dikepung oleh bedeng-bedeng kumuh yang mewakili kemiskinan dan kemelaratan, zuhud dan papa. Rumah bedeng yang kumuh berlatai tanah, becek di musim hujan dan lembab-pengap di musim kemarau, memuat muslimin dan muslimat untuk menggelar tidur dan istirahat. Di masjid yang sejuk, adem, berkarpet, berdinding pualam, bermandikan cahaya, dengan kuba dan menara keemasan, Tuhan "ditempatkan" karena masjid memang Rumah-Nya Tuhan.

Pernyataan satiris di atas memang menggangu perasaan suci kita tentang masjid dan Tuhan. Umat Islam, tentu saja-entahlah, apakah memang mesti demikian-rela berkalang kemiskinan ketika berhadapan dengan sebuah kekhawatiran. Mereka khawatir bila Tuhan memendam perasaan uncomfortable atau tidak at home di Rumah-Nya.

Di rumah Tuhan pula, sebagian besar hamba-Nya mempertontonkan keimanan dan ketaqwaan verbalnya. Keimanan dan ketaqwaan seseorang menjadi kasat mata di kastil yang tambun ini. Di rumah Tuhan ini, iman dan taqwa kepada Tuhan bisa dalam bentuk tegel, semen, batu merah, marmer, dan lain-lain. Karena itu di kemudian hari di masjid itu, shaf terdepan di masjid akan selalu dikosongkan untuk para penyumbang kakap dan keluarganya.

Bisa jadi, masjid-masjid telah berhasil menjauhkan orang-orang ber-Punya dari orang-orang miskin, anak terlantar dan yatim-piatu. Di pelataran luar pagar sebuah masjid yang megah, perkasa, dan jangkung di bilangan Manggarai Jakarta, misalnya, mungkin saja pemulung seperti Supriyono (38) pernah singgah berteduh sebelum terus menggendong mayat anaknya Nur Khaerunisa (3) ke Bogor. Anak balita itu meninggal di paruh awal 2005 silam di bilangan Manggarai akibat kemiskinannya.

Dimanakah sebenarnya masjid tegak gagah sekaligus memberi keyakinan bahwa yang tegak itu adalah tugu pembebasan dan membela umat? Seringkah ada letupan emansipasi yang meledak dari sebuah masjid "kaya"? Dimanakah para pahlawan penyumbang atau pembangun masjid itu memprimerkan orang-orang miskin, terlantar atau yatim-piatu dan mensekunderkan masjid?

Setiap sebelum dan usai perhelatan Jumat, masjid selalu tampil kaku dan bebal mengambil jarak terhadap pengemis dan gelandangan yang meradang menunggu derma jamaah di pintu gerbang. Tamu-tamu Tuhan yang datang bersujud di rumah Tuhan itu selalu memberi jauh lebih banyak kepada celengan masjid ketimbang kepada pengemis dan gelandangan itu. Jadi, kita tidak perlu sakit hati bila orang-orang miskin dan terlantar selalu kalah oleh Tuhan di hadapan jamaat Jumat yang berkantong tebal.

Bangun Masjid

Para orang ber-Punya berlomba-lomba membangun masjid dan kemudian mempersilakan Tuhan menghuninya. Mereka melindungi Tuhan dengan meletakkan-Nya di sebuah tempat berpendar bernama masjid itu. Semangat itu menggelora di atas derita orang-orang miskin, terlantar, yatim-piatu yang mengerumun bagai laron di sekitar rumah mereka atau disekitar kompleks perumahan mereka. Masjid yang demikian, tentu saja menyajikan diri bagi orang ber-Punya menyapa Tuhan tentang keimanan dan ketaqwaan mereka yang telah dititip di Rumah-Nya.

Satu-satunya jadwal yang disediakan masjid bagi orang-orang miskin dan terlantar untuk mendapatkan sapaan hampa dari orang ber-Punya adalah di penghujung Ramadhan Hijriyah. Paket sapaan itu disebut Zakat Fitrah. Setelah musim itu berlalu, masjid kembali bisu, sekalipun memekik lima kali sehari-semalam. Pengemis dan gelandangan kembali ke barisannya semula, di sisi luar pagar perkarangan masjid. Setelah itu, masjid hanya kembali membuka diri sekejap bagi orang-orang miskin dan terlantar menada dua setengah kilo daging kurban pada Idul Adha.

Bisakah Tuhan membedakan ketulusan doa hamba-Nya berdasarkan kualitas fisik bangunan masjid? Umat umumnya melancarkan doa sebagai harapan-harapan yang sepenuhnya dibebankan pada Tuhan dari sebuah masjid. Tetapi di dunia yang bersetting dramaturgis seperti sekarang, masjid menjadi penanda yang dikabarkan. Dengan masjid, seseorang berusaha meyakinkan para penyaksi tentang kedekatannya dengan Tuhan. Semakin megah dan glamour sebuah masjid, maka semakin dekat pula para penyumbangnya kepada Tuhan. Dan, panitia akan selalu menyebut nama-nama penyumbang itu kepada setiap tamu Tuhan yang datang.

Orang yang ber-Punya di Pondok Indah Jakarta, misalnya, biasanya tanpa segan dan canggung menghonor seorang Imam masjid di sebuah pelosok pedalaman Sulawesi Tenggara untuk memimpin Shalat berjamaah lima kali sehari semalam. Padahal, selama ia bermukim di Pondok Indah, ia tidak pernah tahu kemana ia melangkahkan kaki ketika hendak ber-Sholat Jumat di dekat rumahnya itu. Ia tidak pernah tahu dari masjid mana gerangan suara azan dikumandangkan.

Orang-orang ber-Punya pun berdeklarasi: "Jangan tanya apakah saya selalu sholat di masjid, tapi tanyalah apa yang Rumah Tuhan itu telah terima dari saya!" Atau mereka akan menjawab: "Seseorang di sebuah masjid pelosok pedalaman Sulawesi Tenggara telah mewakili saya sholat di masjid lima kali sehari semalam." Pada situasi ekstrim, masjid tergiring menjadi semacam tirai pelindung atas dosa-dosa yang ber-Punya agar persepsi sosial terhadap dirinya tetap sehat dan normal. Bukan pencegah.

Monumen

Kalau anda berpikir masjid dan Soekarno, mungkin anda menyebut Masjid Istiqlal. Banyak Rumah Tuhan yang demikian lahir dari keinginan orang-orang ber-Punya agar diketahui orang banyak bahwa dirinya dekat dengan Tuhan. Bangunan ini bertugas meyakinkan publik bahwa si Anu dengan kepada Tuhan tak terpisahkan atau berguna bagi Agama. Karena itu, orang-orang lebih memilih dekat kepada Tuhan dari pada orang-orang miskin. Mereka memilih bersahabat dengan agama ketimbang dengan orang-orang miskin.

Menurut Tuhan, para pendusta agama itu adalah orang-orang yang menterlantarkan orang-orang miskin dan yatim piatu. Bukan orang-orang yang menterlantarkan masjid hingga lapuk diserang rayap. Menurut Tuhan, selamatkan dirimu dan keluargamu dari api neraka. Bukan selamatkan masjidmu dari api neraka. Menurut Tuhan, doa orang-orang miskin dan teraniaya besar peluangnya diterima. Bukan doa ustad-ustad yang piawai berkastone (melawak). Menurut Tuhan, Shalat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Bukan donasi jorjoran ke masjid mencegah seseorang perbuatan keji dan mungkar seperti korupsi.

Tetapi masjid dan orang miskin adalah dua dunia yang saling menjauhi, juga berbeda. Mungkin juga, masjid, orang ber-Punya, dan orang miskin tidak kategorikal dalam suatu urutan peringkat. Alias, rumah Tuhan dan orang miskin adalah pilihan, sementara Tuhan selalu jadi pemenang yang divaforitkan para donatur masjid. Pilihan kepada Masjid bukanlah tanggung jawab, tapi mungkin sebuah pilihan tanpa perlu keimanan.

Dalam Islam, menyumbang masjid hanyalah proses “menuju”, seperti halnya sholat, puasa Senin dan Kamis, dan lain-lain. Ia bukan “pencapaian” yang dengan sendirinya proses berhenti di situ. Masjid bukanlah titik akhir dimana persoalan manusia dan Tuhan tuntas. Ketika proses berhenti di masjid, maka ia hanyalah sebuah maklumat. Mirip sebuah papan pengumuman yang memuat nama-nama penyumbang. Karenanya pula, tak diperlukan daftar jamaah.

Akhirnya, masjid tidak mewakili situasi sosial apa pun. Lagi pula, kita tidak mau menyebut bahwa Tuhan hanya bermukim di sana karena Ia ada di mana-mana. Bukankah juga, meski masjid dihuni Tuhan, peralatan masjid tetap raib di tangan maling. Orang-orang memang tetap ke dan menyumbang di masjid, tapi perbuatan tidak adil adalah cerita lain seperti orang tamak bergelar Hajji/Hajjah. Apalagi, sebagian besar rumah tinggal umat Islam jauh lebih buruk ketimbang masjid yang mereka sumbang dengan separuh nyawa.

"Jangan tanya apakah saya selalu sholat di masjid, tapi tanyalah apa yang Rumah Tuhan itu telah terima dari saya!"

Penulis: Ketua Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) ICMI Orwil Sulsel.

Dimuat di harian Tribun Timur edisi Jumat, 28 Desember 2006

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim