SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 16 Juli 2023

Majalah Dinding BOM-GER

Pendidikan 


Saya menamatkan sekolah sarjana di Departemen Komunikasi Universitas Hasanuddin tahun 1999. Saya masuk di Unhas pada tahun 1992 melalui jalur tes UMPTN. Sebelumnya, saya menempuh sekolah dasar, menengah dan atas di sekolah Muhammadiyah Kec. Belawa, Kab. Wajo. Tamat SMA tahun 1991, tamat SMP Muhammadiyah tahun 1988, tamat SD Muhammadiyah tahun 1985, tamat TK Aisyiyah Muhammadiyah tahun 1979. 






Saya menyelesaikan studi sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin, departemen Ilmu Komunikasi pada tahun 1999. Saya mengikuti wisuda Unhas gelombang ke-3 tahun itu. Wisuda waktu itu berlangsung di Auditorium Baruga A Pettarani, dimana waktu pengucapan yudisium resmi tercatat istimewa, karena tepat pukul 09:00, tanggal 9 bulan 9 tahun 1999. Keistimewaan lainnya, wisuda ini juga merupakan kegiatan "cuci gudang". Saya termasuk yang sudah lama diendapkan di gudang akademik karena masa studiku sudah menginjak tahun ke-7. Pada artikel-artikel selanjutnya, akan ada sesi tentang kenapa saya sampai tujuh tahun berstatus mahasiswa sarjana di Unhas. 


Saya menjalani studi di kampus merah Tamalanrea selama tujuh tahun, yaitu sejak Agustus 1992. Di departemen itu, ada dua pilihan konsentrasi studi, Jurnalistik dan Hubungan Masyarakat. Saya memilih Jurnalistik. Sejak masa-masa belajar di SMA, saya pernah berobsesi menjadi seorang penulis atau wartawan. Ketika lulus pada Departemen Komunikasi Unhas, saya berjumlah dengan pilhan ini. Saya menjadi antusias. 


Saya ingat, pada bilangan tahun 1989, kegiatan KKN Mahasiswa Unhas di Kecamatan Belawa menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan Jusrnalistik dengan mengundang kru redaksi Surat Kabar Kampus IDENTITAS, sebuah koran yang terbit dalam bentuk ukuran tabloid, yang dikelola oleh Mahasiswa. Saya menjadi salah satu peserta pada acara tersebut, mewakili SMA Muhammadiyah Belawa. Rusman Madjulekka, Moch. Hasymi Ibrahim, Asmadi, dan beberapa nama lainnya yang saya tidak ingat, menjadi narasumber. Nama-nama itu kini tersohor sebagai wartawan senior. 


Dari perhelatan itulah, saya mulai menyadari keberadaan dunia jurnalisme (jurnalistik). Itulah yang menjadi alasan saya memilih jurusan Ilmu Komunikasi sebegai pilihan pertama pada tes masuk perguruan tinggi UMPTN tahun 1991. Saya belum beruntung waktu itu, tidak lulus, termasuk pada jurusan Ilmu Politik sebagai pilihan kedua. Pilihan pertama di Universitas Hasanuddin Makassar dan pilihan kedua di Universitas Diponegoro Semarang. Pilihan kedua ini pada dasarnya bukan keputusan yang saya sengaja. Saya sendiri heran dan lucu. 


Setahun berikutnya, 1992, saya mendaftar UMPTN kembali. Pilihan pertama tetap sama dengan tahun sebelumnya. Pilihan kedua, saya putuskan jurusan Hubungan Internasional Unhas. Saya menjalani kegiatan tes UMPTN selama dua hari di kampus IKIP Ujungpandang, Gunung Sari, pertengahan Juli 1992. Perguruan tinggi ini sekarang berubah nama menjadi UNM (Universitas Negeri Makassar). Dua pekan setelah itu, keluarlah pengumuman hasil UMPTN. Saya dinyatakan lulus pada pilihan pertama, Jurusan Ilmu Komunikasi Unhas. 


Setelah mendaftar ulang pada awal Agustus 1992, sejak itu saya tercatat sebagai mahasiswa Unhas Angkatan 1992 Jurusan Departemen Ilmu Komunikasi. Saya bertemu dan diajar oleh beberapa guru besar dan profesor di jurusan ini yang telah saya kenal sebelum menjadi mahasiswa Unhas, diantaranya adalah Prof. Dr. H. Anwar Arifin, MA dan Prof. Dr. Andi Muis, SH. Saya membaur dengan senior-senior di departemen ini yang juga adalah pentolan jurnalis-jurnalis yang sudah punya nama populer. Sebutlah nama-nama misalnya Anil Hukmah, Andi Ajramurni, Erni, dan Farid Ma'ruf Ibrahim. Dari mereka-mereka ini, bibit "cinta" pada jurnalistik makin membuncah. Bahkan mirip-mirip fanatik. 


Pada gilirannya, rongga kampus Unhas makin terasa luas setelah bergelut pada dunia akademik jurnalistik. Lapangan praktikum perdana kemampuan jurnalistikku adalah majalah dinding (Mading) yang pajang di dinding bagian depan Gedung FIS 3 Kampus Unhas Tamalanrea. Setiap Rabu pagi sebelum kuliah pertama dimulai, teras/koridor bagian depan ujung barat gedung FIS 3 itu, sudah dipenuhi mahasiswa-mahasiswi. Mereka antri mengambil posisi berdiri untuk membaca teks dan menyimak gambar-gambar grafis pada mading tersebut. Nama majalah tersebut adalah BOM-GER. Hanya dua kru pengelola mading Bom-GER itu yang saya ingat, yaitu Ostaf Al Mustafa dan Ishaq Abdullah. Keduanya adalah mahasiswa Departemen Komunikasi juga. Alias, keduanya adalah senior saya di departemen itu. Ada juga kru lainnya yang hingga saat ini saya tidak mengingatnya lagi. 


Mading Bom-Ger menjadi santapan saya setiap pagi sebelum masuk kelas untuk mata kuliah pukul 07:30. Selama semester awal/ganjil 1992/1993, saya selalu ikut berdiri menghadap mading itu. Saya kadang antri di belakang mahasiswa yang lebih senior. Edisi baru mading Bom-Ger akan dikeluarkan setiap malam Senin dan malam Kamis. Setiap Senin pagi atau Kamis pagi, antrian panjang mahasiswa di depan mading mengular, seperti orang yang antri beli tiket kapal laut di Pelni tahun-tahun 90-an. Kalau sekarang, mungkin mirip gambaran masyarakat yang antri pagi-pagi depan toko elektronik untuk membeli gadget baru yang baru diluncurkan pada malam sebelumnya. 


Secara umum, topik naskah dan gambar Mading Bom-Ger adalah kritik dan perlawanan terhadap Orde Baru. Bom-Ger memilih menyajikan bahasa dan karikaturnya dalam bentuk jenaka, lucu-lucu, namun tidak mengurangi makna dan maksud perlawanan dalam kalimat-kalimat maupun grafis karikaturnya. Itulah sebabnya, mahasiswa kerap terlihat terkekeh-kekeh, terbahak. Wajah BomGer memang merupakan percampuran kritik, perlawanan, jenaka, satir, dan sarkas. Karena percampuran itulah, pesan-pesan yang disampaikan Bom-Ger kepada khalayak menjadi efektif. 


Represi militer terhadap kampus-kampus di Indonesia saat itu masih terbilang mendominasi. Di Kampus Unhas Tamalanrea, hal itu juga berlaku. Salah satu yang beberapa kali menjadi obyek kekerasan represi militer di kampus Unhas waktu itu adalah Mading Bom-Ger. Mahasiswa kerap menemukan kaca penutup depan Mading Bom-Ger hancur pecah berantakan pada pagi hari. Bahkan, kerap naskah dan karikatur yang baru saja dipasang, hilang di pagi hari. Menurut saya, ada mencoba mencegah agar naskah artikel dan karikatur itu tidak terbaca oleh mahasiswa. 


Ostaf telah dikenal lama di Fisip Unhas sebagai agen utama pelesetan kata-kata. Ia sebut alirannya ini dengan nama MELESETOLOGI, keterampilan mempelesetkan kata-kata. 


Contoh, Sudomo Dalang Segala Bencana disingkat SDSB. SDSB adalah akronim dari sistem kupon undian Sumbangan Dana Sosial Berhadiah yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial. Sudomo waktu itu adalah jenderal Pangkomkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Dia terkenal dengan julukan eksekutor Orde Baru. SDSB adalah permainan tebakan angka-angka yang kerap dikaitkan dengan angka-angka dalam Shio (zodiak China) untuk meramal angka-angka yang diundi. Kata Shio inilah yang dibubuhkan oleh Ostaf di depan nama Sudomo menjadi ShioDomo. 


Contoh lain adalah artikel tentang persamaan antara taman kanak-kanak dan taman makam pahlawan. Ada juga sketsa sosok H. Harmoko (menteri penerangan) menjilat pantat Soeharto. Ada pula karikatur sepatu laras yang identik dengan tentara, menginjak vas bunga simbol perdamaian yang sedang digenggam mahasiswa. 


Instansi yang paling kerap jadi korban olok-olokan Mading BomGer adalah militer. Tema militer yang berpredikat anti-demokrasi, pro pelanggaran HAM, anti Kebebasan Berpendapat, yang dituangkan dalam kalimat-kalimat sarkas, selalu menempati rating tertinggi. Peringkat kedua adalah kekuasaan pemerintahan tak terbatas oleh rezim Orde Baru. 


Saya akhirnya diberi tempat menjadi salah satu pengelola Mading BomGer. Tugas saya adalah menempel kertas karton yang sudah berisi naskah artikel, ilustrasi, atau karikatur. Sebelum langit benar-benar terang oleh matahari di pagi hari, saya sudah berkutat dengan kartas karton, lem dan cutter/gunting di depan Mading BomGer. Saya memang belum diberi tugas untuk memberi ide, menggagas, apalagi menulis. Tapi ini sudah menjadi pintu emas bagiku untuk melangkah melebarkan aktivitas jurnalistikku. Berkat ini pula, saya mulai kenal aksi kampus yang paling saya sukai, yaitu mimbas bebas, wadah untuk berorasi bebas di hadapan mahasiswa di koridor-koridor kampus, dengan perang pengeras suara Wireless dan Mic.


Makassar, 16 Juli 2023

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ini terusannya namanya Baca Baca Berdiri

follow me @maqbulhalim