SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Jumat, 30 Maret 2018

Opini: DIA Yang Namanya Tak Boleh Disebut



"TAPI jangan salah, jabatan lebih mengubah banyak hal. Terkadang membuat sebagian orang lupa siapa orang yang menjadikannya seperti saat ini".

****

Di langit, di atas balai bambu beratap rumbia, Voldemort melancarkan pesan di atas. Pesan itu lalu menggema keluar dari pesantrennya Kemenkumham, hingga menyelinap di rongga telinga Danny Pomanto setiap berpidato di lorong-lorong kota yang sempit dan terang.

Waktu itu, petang baru saja bermula. Langit merah saga berangsur pekat di ufuk barat, melatar siluet kubah Mal Ratu Indah. Mengenakan sarung tenun Pelekat khas Lombok, Danny muncul dengan senyum yang lapang, tapi tatapan matanya berat.

–Saya yakin, Danny Pomanto ingin bercerita, tentang sesuatu yang mengobati.

“Pak Maqbul, adakah tanda-tanda pengkhianat di wajahku ini?”

Malam itu, saya terlanjur tidak bergairah untuk bicara, apalagi menjawab. Menghadapi Danny Pomanto malam itu, seperti menelisik sebuah buku diari, yang proaktif dan terus bertutur.

Danny seakan meletakkan saya di sampingnya pada setiap momen-momen dalam buku diari itu, sehingga saya diantar merasakan, dimana saya dan dirinya adalah bersama-sama sebagai subyek, sebagai aktor dalam lakon cerita pengkhianatan itu.

Saya mendengarkan bunyi depap, yang membuat meja dan gelas di atas meja seperti meloncat di tempatnya dalam suatu kamar di hotel itu. Ada juga bunyi gelobok air sedang mengucur di wastafel kamar. Saya juga merasakan ada kemarahan yang tertahan, terkepung dinding kamar. Saya seperti sedang menyaksikan semuanya di kamar itu.

Dan kepada saya, buku itu terus bertutur menerobos tentang banyak ikhwal yang silam. Saya membaca, saya mendengarkan, baik ketika saya duduk maupun ketika berdiri bertelekan satu kaki. Sesekali juga saya setengah baring di sofa dengan kaki berselonjor.

ZIKIR WAJIB “Danny Pengkhianat” makin sering dilantunkan para Pomanto’s Haters, anytime and anywhere sepanjang tahapan Pilkada Kota Makassar 2018 bergulir. Danny Pomanto telah mengkhianati “dia yang namanya tidak boleh disebut” yang kemudian menjadi murka.

Simpul dari segalanya adalah, Danny Pomanto jadi walikota bukan karena usahanya sendiri. “dia yang namanya tidak boleh disebut”-lah yang mengaku berjasa me-Walikota-kan Danny.

Kala masa di kemudian hari, Danny betul-betul bertindak sebagai walikota sebagaimana mestinya. Itulah tonggak dimana Danny Pomanto dilafazkan sebagai pengkhianat (dalam huruf besar), diucapkan dalam suara lirih 33 kali setiap kali ingat, lihat, dan baca nama atau gambar Danny Pomanto.

Ujaran-ujaran ritual oleh “dia yang namanya tidak boleh disebut” seperti ‘Danny Pomanto tidak Tahu Balas Budi’, ‘Danny tidak Tahu Diuntung’, ‘Danny tidak Tahu Berterima-kasih’, ‘Danny tidak Tahu Diri’ dapat dengan mudah ditemukan di lorong-lorong sosial media dan di permukaan meja warung kopi. Jika itu ujaran ritual majikannya, itu pula yang menjadi ujaran kawanan loyalisnya.

Awal pengkhianatan di atas berkelindan saat Danny Pomanto mengajukan proposal adendum kepada “dia yang namanya tidak boleh disebut”. Danny mengusulkan agar dirinya diberi kesempatan menggunakan jabatannya sebagai walikota, sekalipun hanya setahun (1 tahun). Betul, tidak lebih dari satu tahun, tidak sampai lima tahun.

Malangnya, “dia yang namanya tidak boleh disebut” menolak. “Konstitusi” tidak berubah: Danny tetap Walikota, sementara kota beserta fasum-fasosnya tetap dikuasai dan ditambang oleh “dia yang namanya tidak boleh disebut”, termasuk kawanan loyalisnya.

Danny Pomanto pun berjuluk Pengkhianat. Malapetaka tak dapat ditolak. Danny Pomanto memutuskan ingin jadi walikota hingga Mei 2019. Danny benar-benar menjadi walikota, bukan walikota pajangan.

Danny Pomanto memutuskan keluar dari zona penindasan itu, penjajahan itu. Dalam zona ini, Danny Pomanto hanyalah mesin penghasil uang bagi “dia yang namanya tidak boleh disebut”. Selain dari itu, Danny tidak lebih dari sekadar petugas teller di bank: menghitung, membungkus, dan lalu menyerahkan uang-uang yang bukan uangnya.

Danny hanya bertugas tanda-tangani kuitansi/nota kosong saja, atau tanda-tangani blangko kosong Cek Bank saja. Danny hanya tanda-tangani bukti pembayaran, tapi yang terima uang pembayaran adalah “dia yang namanya tidak boleh disebut”.

Karena proposal adendum itu ditolak, maka Danny Pomanto pun memutuskan untuk kembali ke Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Danny Pomanto memilih jadi pengkhianat karena baginya, Republik Indonesia lebih penting dari pada “dia yang namanya tidak boleh disebut”.

Pupuslah sudah usaha “dia yang namanya tidak boleh disebut” untuk menjadi Walikota lebih dari 2 (dua) periode, sampai 15 tahun. Periode ketiga batal. Tuhan berkehendak lain dan Danny Pomanto hanya pasrah mengikuti. Danny Pomanto mengkudeta jabatannya sendiri dengan sepenggal kalimat: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan….”.

Danny Pomanto lebih memilih disebut pengkhianat dari pada menjadi patung walikota Makassar. Suatu gelar yang sangat negatif dan lebih banyak hitamnya. Namun gelar ini, sebagai pengkhianat, memberi nilai kehormatan dan wibawa yang sangat tinggi. Inilah pengkhianatan yang jika ditilik dari balik bilik, sesungguhnya adalah kemerdekaan bagi Danny Pomanto. Dengan kata lain, Danny Pomanto mengkhianati penjajah, selain dan sekaligus mengkhianati Voldemort.

TAPI SEBENARNYA, pengkhianatan Danny Pomanto bukanlah ikhwal yang diam dalam titik waktu yang berhenti. Kemerdekaan Danny Pomanto (Pengkhianatan Danny Pomanto) ini berasal dari sebuah kisah yang dimulai di 6 September 2013 silam. Dan sebelum kisah itu bermula, “dia yang namanya tidak boleh disebut” sudah kerap bergulat dengan penyakit asam-urat, dan juga sedang dalam masa redup.

Dalam keadaan “dia yang namanya tidak boleh disebut” yang di atas sudah mulai kehilangan daya, mulai melemah, dan keberadaannya menjadi beban, datanglah lokomotif Danny Pomanto bergerak memasuki stasiun kereta (Peron/Platform 9 3/4, Stasiun Pilkada September 2013). Danny Pomanto membuka lokomotifnya untuk digandengi gerbong-gerbong-nya “dia yang namanya tidak boleh disebut”, meski tanpa meminta izin.

Hidup (kehidupan) “dia yang namanya tidak boleh disebut” kembali berdenyut. He, Who Must Not Be Named, slowly back ALIVE. Segala yang indah di depan, tersaji tanpa cacat. Kebersamaan yang indah seperti tersaji di atas waktu yang diam tidak bergerak. “dia yang namanya tidak boleh disebut” berhasil menggandengkan gerbongnya di lokomotif Danny Pomanto.

Tetapi kemudian keadaan berbalik menjadi brutal. Seperti Musang Berbulu-tangkis, seperti pagar menjual tanaman, “dia yang namanya tidak boleh disebut” menguasai dan mengendalikan lokomotif Danny Pomanto. Adegan brutal ini berlangsung terang dan terang; tidak pakai topeng, kacamata hitam, masker dan sarung tangan. Sementara Danny Pomanto digeser menjadi masinis, kerap juga kondektur.

Para loyalis di gerbong “dia yang namanya tidak boleh disebut” pun ikut makan dan minum gratis. Ada juga yang membungkus pulang untuk keluarga dan tetangganya di rumah. Sebagian besar lagi kawanan itu memungut biaya tambahan di luar tiket kereta dari para penumpang gerbong Danny Pomanto. Ada juga loyalis yang menyewakan toilet dan kursi gerbong. Ada pula yang dengan kalem mengklepto bohlam lampu gerbong, piring dan sendok makan di gerbong kantin.

Tapi, akhir pun tiba. Ujung yang tak ditunggu itu pun datang. Danny Pomanto mengkudeta lokomotifnya sendiri secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sementara, “dia yang namanya tidak boleh disebut” lalu ditangkap dan dipenjara oleh KPK (Komite Petugas Kereta) di stasiun pemberhentian berikutnya, lalu dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan). Kawanan loyalisnya berantakan di stasiun menyelematkan diri masing-masing dari kejaran KPK.

Loyalisnya tidak bisa lagi MENJARAH, sementara “dia yang namanya tidak boleh disebut” di-PENJARA. Badai brutal itu berlalu. Puing-puing dibersihkan. Fasum-Fasos yang dijarah, dipungut satu persatu. Yang bisa tidak bisa dipungut, dirampas oleh Satpol PP. Mobil Dottoro’ta bergerak keliling kota memulihkan warga dari trauma penjarahan.

Kereta pun kembali meluncur normal. Penumpangnya bahagia dan ceria tanpa perlu takut dijarah. Awak kereta membagikan makanan dan handuk-basah yang hangat. Lagipula, kementerian HAM dan Hukum menjamin bahwa “dia yang namanya tidak boleh disebut” mustahil mengambil-alih lokomotif dan gerbong kereta Danny Pomanto dari balik jeruji.

Tapi, tak ada rel kereta yang tak melintasi stasiun. Penumpang dan kru kereta Danny Pomanto, warga kota, kembali diliputi awan kecemasan. Pasalnya, stasiun Pilkada Serentak 2018 menunggu lokomotif Danny Pomanto tiba. “dia yang namanya tidak boleh disebut” tidak tenang menunggu di stasiun ini dengan golok dingin dan slip setoran bank.

DI LEMBAH doyan miskin yang jauh, “dia yang namanya tidak boleh disebut” beserta kawanan loyalisnya, bersama tentara NICA, kembali melancarkan agresi non-militer terhadap bekas jajahannya, Danny Pomanto. Kali ini, bukan langsung berhadapan dengan Republik Indonesia, melainkan membonceng pada Sekutu, VOC dan NICA di Pilkada Serentak 2018.

Dengan menggunakan cara lama sebagaimana di lokomotif Danny Pomanto dulu, “dia yang namanya tidak boleh disebut” kembali menggandengkan lagi gerbong keretanya di lokomotif kereta Argo Mulia (AM). AM adalah lokomotif kereta yang memimpin tiga gerbong, Bogor, Soreang, dan Waingapu. Setidaknya bagi mereka, ada tempat sementara menumpang sarapan atau makan siang dengan cuma-cuma.

“Pak Maqbul, apa salahku? Jabatanku sendiri ji kuambil kembali!” keluh Danny Pomanto dengan suara lamat-lamat penuh hati-hati kepadaku, sebelum saya tutup tulisan ini dengan tanda baca “titik”, yang sejam kemudian azan subuh sudah bertalun.

Oleh: Maqbul Halim

Makassar 25 Februari 2018

****) Artikel ini telah dimuat di RakyatkuCOM 6 Maret 2018

 https://rakyatku.com/read/90829/dia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim