SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Selasa, 13 September 2011

Politik Badut Jalan Pinggir

Oleh Ostaf Al Mustafa

Kota Baliho Kiri Kanan

Seluruh hamparan kota di negeri ini memamerkan banyak foto para pembual di pinggir jalan, dalam bentuk baliho. Tak ada kota yang pernah sepi dari baliho politisi, logo partai, sloganitas dan sepenggal omong kosong yang tertata rapi. Puisi berjudul “Badut” yang ditulis oleh Muhary Wahyu Nurba mengingatkan kita tentang ulah politisi badut yang menjajakan wajah di pinggir jalan, yakni : Udara di tengah kota seperti ditumpahi sebotol cuka/tepat ketika ia berpidato di hadapan mereka/ia, si pengkhianat itu, tersenyum lantas membual,“kalian lihat, aku telah mengerjakan banyak hal untuk kota ini yang tak pernah luput dari nasib sial.

Muhary seorang penyair, yang telah mematri kalimat-kalimat puitisnya dalam dua belas buku itu, pernah membacakan puisi tersebut di depan Aliansi Jurnalis Indonesia, Makassar. Sang Penyair yang pernah menjadi semi-finalis pada ”North America Open Poetry Contest” (2000) membuka bualan yang terpampang di setiap baliho. Bualan itu bukan cuma satu, tapi ada dua lagi orasi kedustaan sang badut berupa, “Percayalah, aku akan tetap bersama kalian/ aku akan membangun jembatan yang kalian idamkan/ yang menghubungkan kerakusan dengan kehancuran,” dan “Aku hanya sekadar butuh dukungan/ selebihnya, kuyakinkan kalian bahwa aku akan menjadi mimpi burukmu yang paling menyeramkan.”

Badut politik adalah keseraman yang dibuat tersenyum hanya di polesan bibir. Pemilu atau pemilukada adalah kesialan yang berkelanjutan. Kesialan yang diperlihara oleh politisi yang percaya bahwa demokrasi sebagai cara memperhambakan orang dengan gratis. Kesialan yang kecut di udara yang menggerahkan memenuhi awan di langit buram. Penghambaan yang sedikit kurang berharga di bawah nilai permen sebiji. Mereka yang menjadi hamba harus setuju menerima nasib sial itu setiap lima tahun sekali. Lima tahun adalah masa kadaluarsa untuk berjanji apa saja. Lalu bisa bersambung lagi ke lima tahun berikutnya, untuk menyatakan bahwa janji kami masih banyak di kantor partai. Rentetan janji demi janji tumpah ruah di pinggir jalan. Janji-janji tambahan para politisi bersanding mesra dengan berbagai produk konsumtifisme yang tak pernah mati menawarkan hasrat baru. Baliho politik dan produk yang diiklankan adalah jembatan impian yang menyambung ketamakan dan kebobrokan. Namun di setiap baliho selalu disamarkan ketamakan dan kebobrokan itu, pada wajah jahannam yang dilapisi muka badut.

Badut hanyalah karakter komik dalam sebuah alur politik. Namun sekarang politisi telah menjadi badut, yang menutupi wajah mereka dengan senyum kosmetik. Senyum yang dibuat untuk mengiklankan kalimat yang tak jelas, tanpa produk sama sekali dan juga harapan yang ringkih. “The Tragical History of Doctor Faustus” (1588) yang ditulis dramawan Inggris, Christopher Marlowe (1564-1593), menunjukkan pengaruh badut dalam area politik keserakahan. Christopher Marlowe merupakan dramawan kenamaan sebelum William Shakespeare (1564-1616). Memang badut terlihat tidak kuat, dalam gerak tubuh yang lamban. Meski demikian, ada kekuatan yang melengkung di kedua bibirnya yakni senyum atau ketawa yang tak berkarakter. Politisi juga terlatih untuk melengkungkan bibirnya ke atas, bila berada di panggung kampanye atau di depan konstituennya.

Robin dan Dick adalah dua badut yang berada di antara sosok Doktor Faustus, Lucifer (Pangeran Kegelapan), Mephistophilis atau Mephistopheles (setan) dan Chorus. Dikisahkan tentang Robin yang membuat perjanjian dengan setan atas suruhan Wagner, pesuruh dan murid Faustus. Perjanjian itu berupa penghambaan diri terhadap Lucifer dan Mephistophilis. Faustus berkolaborasi dengan Lucifer untuk mendapatkan kekuasaan abadi maupun umur yang panjang. Inilah kehendak politik dari hasrat rendah manusia yang pada masa itu belum terbentuk dalam suatu partai. Seandainya Lucifer dan Mephistophilis tak ada pada masa itu, Faustus pasti memilih menjadi anggota sebuah partai politik. Hasrat kuasa dan ambisi duniawinya bisa terlampiaskan dalam partai, sama seperti yang diterimanya dari Lucifer dan Mephistophilis.

Dua badut itu sukses melaksanakan perjanjian dengan Lucifer, karena mereka tak memiliki beban etis dan muatan moralitas untuk melakukannya. Sebenarnya badut terbesar dalam drama tersebut adalah Doktor Faustus, karena ia bersekutu dengan Lucifer dan menjadi budak setianya. Ia menggadaikan jiwanya demi kekuasaan dan kesenangan yang diinginkannya. Hal itu tak berbeda dengan mayoritas warga yang menggadaikan nuraninya dan menjual suaranya dalam politik. Itulah politik, menjadikan mayoritas politisi menjadi badut dalam kekuasaan yang justru mencekik leher para pemberi suara.

Chorus, Paduan Suara Lucifer Demokrasi
Sekarang ini, dalam dunia politik, selalu ada Chorus. Mereka menjadi paduan suara untuk memerdukan kata kedustaan semanis-manisnya. Chorus itu bisa berupa akademisi, intelektual, tokoh agama, budayawan, seniman, aktivis dan penulis, yang bersekutu dengan kehendak sebuah partai. Chorus itu akan menulis dan mengatakan sesuai kehendak politisi, meski melacurkan nilai keintelektualannya mempersundalkan bobot keakademikannya.

Lucifer dan Mephistophilis bisa diperankan oleh siapapun, termasuk politisi yang korup lahir batin. Bisa juga keduanya melakonkan diri dalam sosok apa saja di antara foto-foto di baliho, yang terpajang di seluruh lingkar kota. Keduanya bisa tampil di baliho dengan pose hiper-alim melebihi kesalehan seluruh warga kota. Mayoritas warga kota memang selalu suka dengan tipuan semacam itu. Tipuan yang menjadi penghiburan yang gratis pada setiap bulan suci, hingga menuju rutinitas acara halal bihalal. Penghiburan yang makin besar momentumnya, ketika jabatan pemerintahan harus dipermak ulang di setiap lima tahunan.

Chorus akan menerjemahkan kepada siapapun, betapa Lucifer dan Mephistophilis juga melakukan hal-hal baik, seindah yang dikehendaki para pemujanya. Chorus juga bisa menyatakan bahwa Faustus bisa tetap mendapatkan kebaikan bila bersekutu dengan Lucifer dan Mephistophilis. Persekutuan keiblisan dan perkumpulan kesetanan demi kemakmuran rakyat. Chorus dapat berwujud sebagai sebuah atau beberapa media, yang selalu menulis kebaikan dari seorang politisi. Tak peduli apakah sang politisi serba korup dan mencuri uang negara. Realitas korup ditulis senyaman mungkin, demi iklan yang dibayar sang politisi di satu halaman advetorial. Posisi media sebagai Chorus ini, diantaranya mengubah kisah seorang koruptor, menjadi warita romantis. Warita dalam episode surat menyurat tentang bagaimana caranya ia melindungi istrinya dari para pengganggu. Chorus dalam media, sangat berperan dalam pelarian dan tertangkapnya Nazaruddin. Ialah sang demokrat sejati, mesin uang yang terhukum oleh lingkar dalam internal partainya. Badut yang kini sudut bibirnya melengkung ke bawah.

Fiksi Demokrasi pada Janji Angin Sorga
Sosok Doktor Faustus, juga ditulis dalam sebuah novel oleh Thomas Mann (1875-1955), novelis Jerman yang sangat berpengaruh pada penulis-penulis Eropa abad 20. Sebelumnya, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), membuat drama tentang Faustus. Faustus (1835) dijadikan sebagai epik oleh Nikolaus Lenau (1802-1850), lalu ditulis dalam balada oleh Heinrich Heine (1797-1856). Faustus sedemikian terkenal dalam arena ketamakan di berbagai varian penulisan. Sebuah keterkenalan yang telah dicapainya karena mengasuransikan jiwanya pada Lucifer dan Mephistophilis.

Sosok ini bukan hanya legenda fiksi, namun memang pernah terlahir dan meninggal di suatu tempat di Jerman. Faust (Latin Faustus) (1480-1540) menghendaki suatu kenyamanan hasrat dan kekuasaan nafsu selama 24 tahun. Untuk mencapainya ia menghamba dan memperbudak diri pada Lucifer. Sebagai tumbal, ia menyerahkan jiwanya sebagai jaminan ke neraka. Apa yang dilakukan Faustus, si budak hasrat itu masih melebihi nafsu mayoritas warga negara dalam urusan demokrasi. Faustus sudah pasti ke neraka, setelah hidup mewah selama 24 tahun. Sebaliknya para pemilih di negeri ini, cuma mendapat angin sorga. Angin khayali, yang tiupannya disampaikan hanya dari panggung kampanye selama beberapa menit saja. Selebihnya dalam beberapa jam berikutnya, pemilih cuma menerima buaian semirik lagu dangdut belaka.

Mereka menggadaikan suaranya demi mendapatkan kesenangan kecil dalam kampanye. Suara mereka tercekik di tangan beberapa orang setiap lima tahun sekali. Suara-suara tercekik itu lalu tersimpan di sebuah kotak kecil. Kotak kecil yang menjadi asuransi jiwa mereka, untuk orang yang akan menjadi penguasa dari segalanya. Kenaifan telah dijalani dengan semua kebodohan yang digelar dalam hasrat demokrasi. Nyawa dan suara telah diserahkan kepada segelintir orang, yang justru semakin hidup penuh kegurihan selama lima tahun.

Ketika para pemilih berkumpul dalam satu lapangan besar, otomatis menjadi Chorus untuk memenangkan beberapa orang. Tanpa kontrak apapun dan tiada asuransi kesejahteraan, yang pasti mereka akan terima. Para pemilih akan tetap tenggelam dalam ilusi buram, demi mengapungkan seorang atau beberapa wakil di parlemen. Chorus menggunakan semua suara mereka untuk memihak sang calon pemenang. Suara yang sama kelak akan dibungkam, bila menuntut kejujuran dan ketegasan dari para wakil partai di parlemen. Mereka menjadi budak yang lemah, dibawah arahan ekor merah Lucifer maupun Mephistophilis. Paduan suara itu seperti sekumpulan anak domba yang digiring srigala berkomplot dengan penggembala yang berkhianat. Gembala pendosa sekaligus badut penuh senyum, yang selalu menjadi bintang baliho di pinggir jalan.

Asuransi Syahwat dalam Kuasa Baliho
”Ia, si pengkhianat itu, yang selalu yakin kota akan digenggamnya/setelah memasang ribuan wajahnya lewat baliho-baliho raksasa/terbahak-bahak ke arah mereka.” Puisi Muhary Wahyu Nurba, memijarkan kembali sebuah kesadaran yang tersapu bersih oleh ribuan wajah Faustus di tempelan muka baliho. Kemanakah perginya kesadaran itu, ketika para Faustus mulai menyebar sirep orasi dari mulut Chorus yang menjadi jurkam. Tak pernah ada badut yang berkumis, bercambang dan berjenggot dalam bisnis pertunjukan. Namun di baliho-baliho raksasa tersebut, para Faustus melengkapi wajah dengan aneka tumbuh rambut dan bulu-bulu. Faustus adalah badut yang menganimasikan diri dalam berbagai pose. Para pemilih telah menjadi sosok-sosok karikatural yang nasibnya telah semakin lucu untuk ditertawakan oleh setiap politisi.

Badut adalah sosok yang berada di tengah malaikat dan setan. Dalam konteks ini, badut politik ala Faustus lebih senang mendekatkan diri pada setan. Friedrich Nietzsche (1844-1900), filsuf Jerman, menyebut keberadaan badut dalam, “Beyond Good and Evil”. Ia menyatakan, “Sinisme adalah satu-satunya bentuk, dimana jiwa dasar melakukan pendekatan terhadap apa yang disebut kejujuran. Orang yang berjiwa lebih agung, harus membuka telinganya untuk semua sinisme kasar atau halus. Ia harus memberikan selamat untuk dirinya ketika badut menjadi tak tahu malu, tepat sebelum dirinya dan satir ilmiah berbicara.”

Puisi Muhary Wahyu Nurba adalah sinisme yang jujur terhadap prilaku badut-badut yang seringkali tak tahu malu itu atau kadang-kadang tahu malu tapi untuk apa? Orasi telah disebar dalam ribuan kosakata. Lalu foto-foto demi tertempel di setiap penglihatan warga kota. Syahwat kuasa telah menjadi asuransi jiwa di setiap baliho, yang seakan menjadi penjamin semua kemakmuran yang tertempel di pundi-pundi kosong. Jiwa manapun dalam area politik, mudah dikooptasi sebagaimana tubuh para pemilih yang mudah digiring ke kotak suara. Untuk mereka yang masih punya sedikit kesadaran, Muhary Wahyu Nurba kembali mengingatkan dalam akhir puisi itu yakni: “udara di tengah kota seperti ditumpahi sebotol cuka/ tepat ketika ia, si pengkhianat itu, menghisapi dengan seksama/ mimpi dan harapan mereka.”

Badut-badut itu akan tersenyum di lima tahun berikutnya. Mereka telah merebut mimpi dan harapan seluruh warga kota untuk dikunci dalam kotak pandora Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terkunci hingga menuju pemilu dan pemilukada selanjutnya. Kotak pandora itu juga berisi seluruh kota, yang dipenuhi baliho badut-badut yang tak ikhlas melengkungkan sudut bibirnya ke arah atas. Bibir yang seringkali tak jujur di pinggir jalan dalam tikungan manapun. Para badut akan meminggirkan semua yang tak memuja berhala kebadutan di seluruh hamparan kota negeri ini....(*)

(*) Ostaf Al Mustafa adalah agen asuransi berlisensi.

*)Tulisan ini pernah dimuat di Harian Ibukota Cakrawala, Makassar, edisi 12 September 2011

1 komentar:

tugiez mengatakan...

hehe...bagus bang...
semoga yang jadi badut cuma para politisi yang gak pede kalo jasa-jasanya gak dicetak pada spanduk-spanduk dan dipampangkan di jalan. kata Emha Ainun Najib : "mereka itu gak pede bahwa dirinya itu ada di dunia ini, makanya nempelin fotonya di jalan-jalan biar kalo berangkat kerja dia pede bahwa dirinya ada"

Dan semoga para mahasiswa gak meniru gaya mereka. misalnya meniru gaya Muhary Wahyu Nurba di atas :
"kalian lihat, aku telah berunjukrasa tentang banyak hal untuk kebaikan kota ini yang tak pernah luput dari nasib sial. kalian percayalah, inilah aku, mahasiswa, agen perubahan yang banyak menuntut pemerintah agar tak korup, tapi lupa untuk menuntut diri juga agar tak korup waktu saat kuliah, korup nilai saat ujian semester, korup jalan raya yang seakan milik sendiri saat unjuk rasa, dan korup-korup kecil lainnya."

follow me @maqbulhalim