SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 26 Maret 2006

MUKADDIMAH

MAJELIS SINERJI KALAM
(MASIKA)
ICMI ORWIL SULSEL
[Islam dalam Multiperspektif]
(Makassar, April 2006)

MUKADDIMAH

Bangsa Indonesia sering berhadapan dengan isu atau permasalahan keislaman yang selalu hanya memberikan satu pilihan cara berpikir. Praktik keagamaan dalam berpolitik, berilmu pengetahuan, beribadah, berbangsa dan bermasyarakat—bahkan hingga cara kita menghayati keislaman itu sendiri, seringkali hanya “boleh” ditinjau melalui satu cara berpikir. Sementara, satu model tunggal cara berpikir itu, terus berupaya menyendiri dan membenci.

Keislaman juga umumnya diperagakan secara dogmatis dengan asumsi fundamental bahwa ijtihad atau Ijma terhadap ayat-ayat Ilahi telah final. Kalau pun ijtihad dan Ijma masih terkuak sedikit pada suatu ketika, ia tetap pasif. Ijtihat dalam hal ini bukanlah instrumen intelektual yang mampu memahami, melainkan sesuatu yang diam dan suci menunggu untuk dipahami. Citra realitas keislaman lantas di-setting agar dogma-dogmanya yang pasif itu tetap dapat ditakhtakan. Dengan demikiam, Islam sebagai realitas menjadi tunggal sekligus vacum.

Pengetahuan keislaman akhirnya menjadi sebuah rezim yang mengawal sebuah faham tentang Islam. Ia bukan sebuah rezim berpikir yang mengawal Islam itu sendiri. Rezim itu tidak hanya tampil positivistis, tetapi juga mendoktrinkan dirinya sendiri. Lembaga berpikir yang mempatenkan hanya satu jenis tradisi berpikir yang dikenal dengan nama dunia akademik, tidak lebih dari sebuah mekanisme birokrasi rezim. Birokrasi rezim inilah yang secara berkesinambungan memproduksi legitimasi terhadap pengetahuan keislaman agar kian menjauh dari realitas sosial dan kultural. Juga, terus menerus mereproduksi fatwa pemikiran Islam yang monoton dan ekslusif. Yang tersaji di dalam ruang publik kemudian hanyalah realitas keislaman yang dicitrakan, sebuah konstruksi realitas yang didiktekan sambil menolak real reality.


Dalam perjalanan itu, tokoh-tokoh muslim berdiri kokoh menjadi pengawet rezim. Jauh dari kesan kecendekiaan. Mereka memuja dan lebih patuh pada perspektifnya sendiri ketimbang terhadap semangat Islam itu sendiri. Tak ada pencerahan karena tak ada dialog. Dialog adalah kutub yang bersilangan secara diagonal dengan ekslusifisme mereka. Mereka bekerja sebagai aparat perspektif yang rela melawan dunia multiperspektif. Padahal, Islam sendiri menawarkan banyak perspektif. Ketika Islam hanya ditinjau dari perspektif tunggal, sesungguhnya kita telah dengan sengaja membangun realitas-realitas paradoks dan ambigu bagi Islam itu sendiri yang—padahal—oleh Rasulullah SAW telah disempurnakan.

Tidak sedikit komunitas muslim di Indonesia melancarkan “perang jihad” untuk membela perspektifnya, bukan membela agama Allah SWT. Mereka bukan menegakkan syariat Islam, tapi menegakkan perspektifnya tentang Syariat Islam. Mereka adalah pembela mazhab yang telah dengan sempurna menutup cahaya Allah SWT untuk memikirkan perspektif lain. Sementara, kita semakin sulit berpaling dari fakta bahwa perspektif kultural bangsa Arab dalam ber-Islam memang berlainan bentuk dengan perspektif kultural bangsa Indonesia. Demikian juga antara Bangsa Tionghoa dengan Bangsa India, dan seterusnya.

Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama bangsa Arab, misalnya, adalah bagian dari dinamika kultur yang sedang berlangsung. Ada banyak jenis perspektif yang dipisahkan oleh jarak dan teritori wilayah kultural. Contoh yang amat sederhana adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme bagi Umat Islam. Tetapi, fatwa itu tidak valid (out of order) bagi umat Islam di Pakistan atau di Maroko atau di London. Contoh ini cukup praktis dan jelas memberitahukan bahwa “bahasa” kultural yang dipakai dalam berikrar menegakkan Al-Qur’an dan Hadits sebenarnya tidaklah semurni ayat-ayat Tuhan. Ini hanya satu dari jutaan perkara akibat perbedaan perspektif dalam ber-Islam.

Pertanyaan monumental yang kemudian mengusik adalah, betulkah dimensi-dimensi keislaman yang diperjuangkan hingga saat ini, entah itu dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya, bukan merupakan konstruksi dari suatu perspektif, yakni perspektif rezim yang dominan dan hegemonik, yang mengendalikan relasi kuasa dalam komunitas bangsa Indonesia? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa Islam yang diaktualkan adalah Islam yang wacananya sudah diproteksi dan dipatenkan oleh institusi-institusi dominan dan hegemonik? Apakah Islam yang diwacanakan ke publik sekarang ini bukan merupakan dalil-dalil yang personal dan parsial? Mengapa wacana-wacana mainstream selalu dicegah untuk “bergaul” dengan perspektif-perspektif lain? Kenapa Islam sangat tergantung pada relasi kuasa untuk mengesahkan eksistensinya ketimbang menjadikan eksistensinya sebagai varian terhadap relasi kuasa itu?

Bukankah dunia Islam di Indonesia umumnya tampak kering karena mutu ruang publik bagi wacana perkara-perkara Islam telah sangat rendah. Tidak ada ruang publik yang terhampar dengan lapang dan fair bagi semua perspektif untuk bebas, setara, dan rasional. Sebuah lapangan yang di dalamnya ada perdebatan yang membebaskan bukan hanya Islam itu sendiri dari sifat personal dan parsialnya, tetapi juga membebaskan Islam itu sendiri untuk menjadi sumber pengetahuan yang tak akan pernah kering (unlimited). Sebuah ruang publik yang bukannya menampilkan Islam sebagai sesuatu yang beku tanpa pengertian, tetapi menghadirkan Islam sebagai sebuah agama yang jeli memahami sehingga mencerdaskan, mencerahkan, membebaskan.

Keadaan di atas merekomendasikan sebuah gugatan terhadap ruang publik yang ada bagi pengetahuan keislaman. Menuntut agar ruang publik berangsur-angsur steril dan rasional. Membuka ruang publik selebar mungkin agar tidak hanya dihuni oleh gerombolan ulama atau kiyai untuk memonopolikan perspektifnya tentang Islam. Menginsyafkan para intelektual perguruan tinggi agar berhenti menjadi polisi yang bertugas memelihara kestabilan dan keamanan imperium positivisme dalam memahami Agama Islam dan permasalahan-permasalahannya. Mengajak para orator mimbar agar bersedia berdialog ketimbang mendoktrinkan pengetahuan-pengetahuan tentang Islam.

Akhirnya, tidak akan pernah ada forum diskusi atau dialog dalam Islam bila hanya ada satu cara memahami, hanya satu perspektif. Dialog antar perpektif tidak akan pernah menghasilkan pemenang dan pecundang, tetapi perspektif yang dibangun atas dasar relasi kuasa lebih memilih “perang” dari pada dialog untuk menghasilkan kemenangan. Tentu saja, perang hanya untuk menghacurkan yang lain. Di arena itulah, senjata tajam terhunus melawan kalimat, kata-kata, atau ucapan—sekaligus pemiliknya. Tuhan melalui Al-Qur’an pertama-tama menyerukan, “Bacalah!”. Bukannya, “Perangilah!”.

Visi: “Islam Multiperspektif”



Misi MASIKA ICMI Orwil Sulsel:
  • Mengeksplorasi Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk mencerahkan peradaban manusia;
  • Menggerakkan pemikiran-pemikiran di luar arus pemikiran mainstream (utama) mengenai Islam sehingga tercipta ruang dialog yang sehat, setara dan rasional;
  • Menghadirkan variasi-variasi perspektif pengetahuan tentang Islam; dan
  • Memberi apresiasi tinggi bagi toleransi dan pluralisme dalam pemikiran Islam.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim