SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG
Terus Bergerak

Minggu, 05 Maret 2006

UU no 40/1999, Ulasan Implementasi Sejak 1999 hingga 2005

(Praktek dan Kode Etik)
-----------------------------
Oleh: Maqbul Halim


Suatu larut malam, 18 Februari 2006 pukul 21.30, komandan Tim Buser kepolisian setempat memberitahukan lewat SMS kepada jurnalis supaya bertemu di Hotel Tyquali, sebuah kawasan wisata elit di pinggiran kota pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Setengah jam kemudian, wartawan dan tim buser dari kepolisian berkumpul di base-men sebelum lamat-lamat merayap ke lantai enam hotel itu. Para kameramen stasiun TV berita mengarahkan sinar “lighting”-nya mengejar polisi yang bergerak nyaris tanpa bunyi menyisir tangga darurat. Tak ada percakapan sepanjang pergerakan itu. Sosok tubuh kekar dan tinggi di baris paling depan terus memperbaharui informasi terbaru pada pasukannya di belakang dengan bahasa isyarat yang menggunakan pergerakan tangan. Langkahnya agak terburu-buru namun tetap terampil meredam dentang sol sepatunya yang mendebam di atas lantai karpet.

“Gemuruh” mereka terhenti ketika tepat di depan salah satu kamar di lantai enam. Sebuah kamar yang tergolong VIP dan jendelanya menghadap ke laut (sea view room) sedang diketuk-ketuk. Tamu hotel yang lain, wartawan, kameramen, fotografer, dan yang lainnya yang menyerta telihat sedang dalam diam-senyap menanti respon dari pemilik kamar yang pintunya sedang digedor itu. Di gagang pintu kamar itu, tergangtung kartu laminating memberi perhatian, “Jangan Diganggu” / ”Don’t Disturb”. Ketukan pertama tidak direspon. Ketuka kedua juga tidak direspon. Ketukan ketiga yang lebih keras tidak direspon. Ketukan keempat yang jauh lebih keras lagi tidak direspon.

Sosok tubuh kekar yang mengomandoi operasi ini pun menghentakkan suara lantangnya, “Siapapun anda di dalam kamar ini, segera buka pintunya!” Hingga kali ini, pun tidak suara atau respon apapun dari dalam kamar itu. Sosok tubuh kekar itu pun mencoba membenturkan tubuhnya ke sisi pintu yang masih kaku menutup kusen pintu kamar itu. Rupaya benturan tidak ada gunanya. Namun demikian, geletuk suara mulai terdengar dari balik pintu. Baru ketahuan ada sebuah kegiatan di balik pintu kamar itu. Gemericik grendel daun pintu terdengar, sebuah logam sedang beradu dengan logam yang lain dan mengenggetar ke sekujur sisi pintu yang masih tertutup itu.

“Anda begitu berani dan lancang. Tidakkah anda membaca pesan yang tergantung di gagang pintu ini. Kami yakin, anda tidak punya urusan di sini. Atau anda akan menyesal.” Begitulah ucapan yang terlontar dari seseorang yang tidak menampakkan sosok tubuhnya di balik pintu yang baru terkuak sekitar 15 senti itu. Pintu itu memang tidak bisa dikuak lebar karena masih terjaring rangai grendel pintu. Usai memberitahukan, orang itu pun menutup kembali pintu. Sosok tubuh kekar yang memang sudah sigap, dengan ayunan kaki panjangnya, kaki lebih cepat menghantam sisi pintu, tepat di mana rangka grendel menempel. Upaya penghuni kamar tadi menutup pintu terlambat. Grendel pintu terburai dan gagang pintu bagian dalam dan luar terlempar beberapa meter ke dalam kamar. Salah satunya membentur kepala seseorang penghuni kamar itu yang sedang merapikan sebuah jas yang kelihatannya baru saja ia kenakan.

Setelah pintu itu terkuak, sosok tubuh kekar itu pun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk segera menyeruduk masuk menggeleda kamar itu. Lima orang di dalam kamar itu duduk terkulai lemas di tepian dua tempat ditidur sembari melindungi wajahnya dari sorotan lighting kameramen dan fotografer dengan menggunakan jas yang ia kenakan. Kawanan polisi ini pun berhasil menyita berbagai macam barang bukti. Selain itu, seorang polisi langsung meraih sebuah buku cetak dari sakunya dan membacakan berbagai pasal pidana isi buku itu yang berkaitan dengan barang-barang bukti yang terkumpul. Semua disampaikan dengan tegas dan cepat kepada kelima penghuni kamar itu. “Bapak-bapak berhak diam. Kalau bapak menginginkan pengacara, dengan senang hati kami bersama bapak-bapak akan menunggu pengacara itu di kantor kami sebelum pemeriksaan dimulai,” ujar polisi itu sembari menutup buku “pasal-pasal”-nya.

Penggerebekan ini hanya berlangsung selama 15 menit. Wartawan dan kameramen yang menyertai penggerebekan itu terperanga. Pasalnya, tiga dari lima orang penghuni kamar itu adalah orang-orang yang kerap mereka wawancarai selama ini. Satu di antaranya adalah seorang bupati di Sumatera Utara. Seeorang lagi Wakil Gubernur propinsi Timor-Timur. Seorang adalah bupati pada salah satu kabupaten di propinsi Banten. Dua orang lainnya adalah pengusaha masing-masing dari Jakarta, Surabaya, dan Lampung. Ketika kelima orang ini digelandang masuk ke mobil super kijang yang dikawal-kepung brimob bersejata, masyarakat disekitar hotel itu tidak ingin ketinggalan. Meskipun akhirnya masyarakat itu pasrah karena tidak bisa mengetahui secuil identitas kelimat orang yang kepalanya sedang ditutup kain hitam itu.

Bukan berarti masyarakat sekitar hotel itu telah kehabisan kesempatan untuk mengetahui kelima orang yang digelandang itu. Mereka menyaksikan rombongan yang keluar dari mulut pintu hotel itu juga disertai oleh puluhan wartawan surat kabar, radio, dan televisi. Mereka yakin bahwa pada keesokan harinya di pagi buka, mereka akan mengetahui semua itu melalui saluran-saluran televisi dan radio serta lembaran halaman muka surat kabar. Hari esok itu pun telah tiba. Keesokan harinya lagi pun juga sudah tiba. Dan hingga seminggu kemudian, tak satu pun saluran televisi, radio dan surat kabar yang memberitahukan mengenai penggerebekan seminggu sebelumnya itu. Yang ada hanya berita tentang faksinasi folio, virus antraks, flu burung, ulang tahun partai anu, peresmian ini, dan seterusnya.

(kisah ini, termasuk tokoh, peristiwa, tempat, adalah fiktif)

***

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosienstel (Kurator Nieman Foundation for journalist dan Kritikus harian Los Angeles Times), tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk memenuhi tugas ini, maka:

Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga.
Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
Jurnalisme harus menyedian forum publik untuk kritik maupun dukungan warga.
Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.
Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Dalam pasal 7 ayat (2) UU No 40/99 tentang Pers, jurnalis diperkenankan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode Etik Wartawan Indonesia (KWI) :

  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar;
  2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi;
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat;
  4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitias korban kejahatan susila;
  5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi;
  6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan; dan
  7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Tidak ada komentar:

follow me @maqbulhalim